Mendefinisikan Kembali Kata Cukup

Mahasiswa PBSI UNJ 2022
Mendefinisikan Kembali Kata Cukup 04/02/2025 12 view Budaya pixabay.com

Belakangan ini, aku tertarik oleh tulisan refleksi Nadine Alexandra di website Greatmind. Dalam tulisannya yang berjudul Berjalan Penuh Kesadaran, ia mengungkapkan bahwa kini kita hidup, di mana seseorang yang dinilai produktif adalah orang yang sibuk.

Tapi, sayangnya banyak orang yang terjebak mengisi kesibukannya bukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Ya, hanya semata-mata memenuhi ekspektasi orang banyak. Ini akhirnya mendoktrin kita bahwa untuk menghasilkan yang terbaik itu harus melalui usaha penuh penderitaan.

Dan, tanpa sadar kita telah mewajarkan itu, lalu kita berharap di masa depan akan mendapatkan kebahagiaan. Oleh karena itu, banyak dari kita yang akhirnya malah terjebak dalam toxic productivity.

Toxic productivity adalah aktivitas kerja yang berlebihan dan tidak sehat bagi fisik dan mental kita. Dan, toxic productivity ini berpeluang membawa kita dalam kondisi burnout. Kondisi burnout sendiri merupakan kelelahan kronis yang menyebabkan penurunan produktivitas dan kesejahteraan kita.

Memang tidak mudah hidup di zaman yang serba cepat. Di mana hustle culture atau budaya yang beranggapan bahwa untuk sukses kita harus bekerja tanpa kenal lelah. Kalau kita berhenti sejenak; kita bisa tertinggal dengan pencapaian teman-teman kita yang lain. Dan, parahnya hustle culture ini sudah dianggap sebagai standar kesuksesan di usia muda.

Maka, tak heran jika banyak orang yang menyebutkan hidup itu bagaikan roller coaster. Menegangkan. Namun, pertanyaanya adalah apakah kehidupan yang sejatinya memang seperti ini?

Dalam buku Hidup Sederhana, Desi Anwar mengibaratkan kita hidup dalam arena balap tikus. Dan, kitalah tikus-tikus yang terjebak dalam lingkaran persaingan tersebut untuk mengejar sesuatu yang dinamakan kesuksesan:

“Kita harus seperti mereka. Kita harus mencapai yang telah mereka capai dan memiliki apa yang mereka miliki. Kalau tidak, hidup bisa dikatakan gagal karena kita kurang cepat mencapai apa pun seperti mereka.”

Di sisi lain, Desi juga memberikan pandangan segar kepada kita tentang bagaimana hidup sebenarnya. Menurutnya seharusnya hidup ini tidak selalu diartikan sebagai ajang persaingan. Ia menyarankan kita untuk keluar dari arena balap tikus, dan sekedar menjadi penonton.

Menjadi penonton menyadarkan kita bahwa hidup bukanlah sekedar persaingan, melainkan hanya kesimpangsiuran yang menyesatkan. Bagaimanapun, tak ada yang lebih nikmat daripada duduk-duduk santai, sementara orang lain sibuk lalu lalang. Iya tidak?

Bukankah dalam kesibukan sehari-hari, kita mungkin melewatkan senja yang indah atau tertawa bersama teman-teman?

Menjadi penonton bukan berarti kita menyerah. Menjadi penonton justru memberi kita kesempatan untuk melihat tujuan hidup kita dari sudut pandang yang berbeda. Kita bisa menilai apakah tujuan itu benar-benar sesuai dengan apa yang kita inginkan, atau hanya merupakan ekspektasi dari orang lain.

Sebagai penonton kita menemukan esensi hidup sebenarnya bukan terletak pada seberapa cepat kita mencapai tujuan, melainkan seberapa banyak kita menikmati setiap momen hidup ini. Jadilah penonton yang bijak, saksikan hidup mengalir, dan nikmati hidup setiap detiknya.

Serasi dengan Desi, dalam buku The Effortless Life, Leo Babauta menyarankan kita untuk menjalani hidup dengan sederhana, dan tanpa upaya yang berlebihan. Babauta memberikan perspektif bahwa sebenarnya hidup tidak sesulit yang kita pikirkan.

Baubata menyoroti bagaimana masyarakat modern sering kali menambahkan kebutuhan yang dibuat-buat dalam hidup. Menurutnya sebagai manusia kita hanya membutuhkan hal-hal dasar untuk bahagia. Kita hanya memerlukan makanan, pakaian, rumah, dan hubungan sehat dengan sesama manusia.

Sependapat dengan Babauta, penulis buku An Ordinary Age: Finding Your Way in a World That Expecting Exceptional, Rainesford Stauffer menganjurkan anak muda untuk mendefinisikan kembali tentang arti “cukup” dan hidup “biasa” saja.

Seperti kisah hidup Loretta Liu dalam artikel Kompas yang berjudul Mencari Damai dalam Hidup Biasa-biasa Saja. Sejak lulus kuliah tahun 2018 dari salah satu kampus top di China, ia bekerja di perusahaan papan atas di salah satu kota metropolis di China sebagai desainer virtual.

Namun, ia memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan tersebut. Alasannya, ia mendapatkan tekanan pekerjaan yang terlalu berat. Ia kerap kali harus bekerja lembur, dan merasa kesehatan mental dan fisiknya semakin memburuk.

Kemudian, masih di kota yang sama, ia bekerja sebagai penata rambut dan salon hewan peliharaan. Gaji yang diterima memang tidak besar pekerjaan kemarin. Secara fisik pekerjaannya lebih melelahkan karena mengharuskannya berdiri berjam-jam. Ditambah, ia juga harus mengurusi anjing-anjing yang kerap kali tidak mau menurut. Namun, Liu menyatakan lebih bahagia menjalani itu.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya