Leptospirosis: Kisah Klasik di Musim Penghujan

Leptospirosis: Kisah Klasik di Musim Penghujan 23/11/2022 380 view Lainnya klikdokter.com

Tidak terasa Indonesia sudah memasuki musim penghujan, dan ketika memasuki musim tersebut masalah yang paling sering terjadi adalah banjir. Menurut para ahli, banjir merupakan keadaan meluapnya air yang diakibatkan oleh kapasitas tampung air melebihi batasnya, dan berdampak pada kondisi kesehatan, sosial dan ekonomi. Banjir menjadi persoalan yang tidak pernah berakhir pada kehidupan manusia sejak dahulu hingga sekarang.

Banjir sering dikaitkan dengan sanitasi yang ada kurang memadai untuk menyelesaikan masalah ini. Mulai dari drainase yang tidak memadai, manajemen dari pemerintah, kurangnya daerah resapan, pembuangan sampah yang sembarangan. Sanitasi yang buruk akan berdampak juga pada lingkungan yang berdampak sangat buruk, mulai dari kesehatan, kekurangan air bersih, hingga perekonomian negara.

Good health and well-being/kesehatan yang baik dan kesejahteraan merupakan tujuan dari Sutainable Develompment Goals (SDG’s) yang dibentuk oleh negara-negara pada tahun 2015 dan target hingga 2030. Inti dari SDG’s ini adalah untuk mengakhiri kemiskinan, meningkatkan kesehatan dan pendidikan, memacu pertumbuhan ekonomi serta mengatasi perubahan iklim dan melestarikan hutan serta lautan. Tujuan ini dibuat oleh semua negara maju dan berkembang dalam kemitraan global.

Data yang dicatat oleh Badan Nasional Penaggulangan Bencana (BNPB) dari 1 Januari hingga 12 Oktober 2022 menyebutkan banjir yang terjadi di Indonesia sebanyak 1.118 kali. Penyebab dari banjir sendiri bisa terjadi secara alami dan “buatan”. Istilah buatan sendiri dikarenakan tindakan kita manusia yang tidak bertanggung jawab atas alam yang sudah secara sengaja mengeksploitasi alam.

Banjir sendiri dapat menimbulkan masalah kesehatan, seperti diare, leptosirosis, kolera dan sebagainya. Jika berbicara tentang leptosirosis, penyakit ini disebabkan oleh bakteri Leptospira sp. yang dapat tertular ke manusia melalui hewan (biasanya tikus) yang terinfeksi ataupun melalui urin dari hewan yang terinfeksi dan terkontaminasi ke lingkungan. Kenapa banjir dapat menyebabkan penyakit leptosirosis? Itu dikarenakan tikus yang terinfeksi oleh bakteri Leptosoira biasa membuang urin dengan sembarangan. Urin yang dibuang oleh tikus mengadung bakteri tersebut, sehingga jika tikus membuang urin sembarangan dapat mengkontaminasi lingkungan sekitar. Bakteri ini masuk ke manusia melalui luka atau kulit terkelupas. Sehingga ketika banjir datang, jika manusia yang mempunyai luka dan tidak menutupnya, bisa dipastikan bakteri itu masuk melalui banjir yang sudah terkontaminasi.

Leptosirosis dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal dan hati, dan bahkan jika tidak ditangani secara tepat dapat menyebabkan kematian. Gejala-gejala yang timbul jika sudah terinfeksi virus ini ialah seperti demam mendadak, menjadi lemah, mata merah, kekuningan pada kulit, sakit kepala, perdarahan, nyeri otot betis, menggigil, dan muntah. Penanganan yang dilakukan jika sudah terinfeksi bakteri ini seperti rehidrasi tubuh, minum anti biotik, dan penanganan medis lainnya.

Pada tahun 2019, 920 kasus leptospirosis dilaporkan di Indonesia dengan 122 kematian. Kasus-kasus ini dilaporkan dari sembilan provinsi (Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Maluku, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Utara). Namun, jumlah laporan kasus ini sangat kecil dibandingkan dengan kejadian leptospirosis di Indonesia, di mana morbiditas tahunan leptospirosis di populasi Indonesia baru-baru ini diperkirakan berada pada angka 39,2 per 100.000 orang.

Perlunya pengedalian yang tepat dan cepat untuk menanggulangi angka kesakitan ini. Walaupun ini merupakan penyakit musiman perlu disadari bahwa pencegahan lebih baik daripada harus terkena penyakit ini dulu. Mulai dari pembuatan regulasi yang tepat sasaran, pemberdayaan masyarakat, surveilans dan respon KLB, pengendalian tikus, perbaikan lingkungan agar tidak mudah banjir, dan promosi kesehatan.

Jika hal ini terus dibiarkan, maka poin ketiga yaitu Good Health and Well-being (Kesehatan yang baik dan kesejahteraan) khususnya pada indikator yang ketiga, yaitu mengakhiri epidemi penyakit menular bersumber air dan penyakit menular lainnya pada tahun 2030 tidak akan tercapai. Maka tujuan dari seluruh negara yang telah membuat 17 poin akan sia-sia. Perlu kesadaran dari setiap elemen masyarakat, mulai dari pemangku jabatan hingga ke masyarakat umum untuk saling bekerja sama untuk mencapai tujuan dari SDG’s tersebut. Pemerintah Indonesia harus selalu memperhatikan kondisi yang terjadi pada masyarakat dan alam yang akan dikelola dan masyarakat juga harus memperhatikan kesehatan pribadinya dan lingkungan sekitarnya. Dengan demikian pada poin ketiga dari SDG’s dapat tercapai.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya