Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi ala Umar bin Abdul Aziz

Baru-baru ini banyak ditemukan pemimpin-pemimpin dalam sebuah organisasi atau negara tidak menjadikan rakyat sebagai prioritas. Mereka hanya menjadikan masyarakat sebagai alat untuk memenuhi kepentingan pribadi atau segelintir kelompoknya. Sehingga pengajaran dan kaderisasi yang relevan cukup dibutuhkan agar bisa melahirkan pemimpin-pemimpin yang mengutamakan kepentingan umum. Seperti Gagasan Nurcholish Madjid dalam sebuah nilai dasar perjuangan yang menjadi rujukan Himpunan Mahasiswa Islam.
Salah satu bab dalam Nilai Dasar Perjuangan HMI yang digagas oleh Nurcholish Madjid ialah Keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Kedua nilai ini menjadi fundamental bagi sebuah negara yang ingin mencapai kemakmuran.
Namun dalam realitasnya, hal ini cukup sulit ditemukan dari pemimpin-pemimpin yang ada di dunia. Akan tetapi, pada masa Bani Umayyah telah berhasil diaktualisasikan oleh Umar bin Abdul Aziz. Beliau merupakan salah satu pemimpin terbaik dalam sejarah peradaban Islam. Sampai hari ini, namanya terus hidup dan dirindukan oleh orang-orang yang mengetahuinya.
Beliau berhasil mentransformasikan masyarakat yang awalnya mustahiq (proletar) menjadi muzaki (borjuis). Bahkan pada masa itu, kas negara pun cukup bingung untuk dialokasikan kemana, karena sudah tidak ditemukan lagi orang miskin selain Umar bin Abdul Aziz. Ya, seorang pemimpin yang berada di puncak barisan orang-orang termiskin.
Sumpah dan komitmen yang dijunjung tinggi baginya ialah kesejahterakan masyarakat. Hal ini berhasil dicapainya, sehingga tidak lagi ditemukan orang miskin kecuali dirinya sendiri. Pada saat itu, Umar hanya mendapat gaji sebesar 60 dirham atau setara Rp. 600.000. Prioritas anggarannya dialokasikan kepada para PNS dengan gaji 300 dirham atau setara Rp. 3.000.000. Kebijakan ini diambil berdasar pada peran sentral PNS yang menjadi ujung tombak peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Bahkan, di lain kisah diceritakan bahwa Umar tidak memiliki pakaian selain yang digunakannya saat itu, sehingga ketika pakaian tersebut dicuci oleh Fatimah yakni istrinya, maka Beliau hanya bisa menunggu pakaian tersebut sampai kering dengan keadaan telanjang di pojok rumahnya yang sederhana.
Keadilan ekonomi telah terpenuhi dengan baik, maka akan berimplikasi pada kemudahan aktualisasi keadilan sosial, karena tidak ada gap lagi antara si miskin dan si kaya. Alineasi atau keterasingan adalah teori karl Marx yang diberikan untuk menjelaskan secara sederhana bahwa ketidakadilan sosial diakibatkan karena ketidakadilan ekonomi.
Disparitas, nepotisme dan penindasan disebabkan karena perbedaan kelas ekonomi yang signifikan. Maka dari itu, ketiga hal tersebut, pada masa Umar sangat sulit ditemukan. Namun, sulit bukan berarti tidak ada, karena terdapat suatu kisah, pemerintah yang membangun masjid megah dengan cara menggusur rumah seorang kakek beragama Yahudi yang sudah berusia senja. Ketika mendengar hal itu, maka Umar mendatanginya dengan keadaan marah.
Beliau memperlihatkan otoritasnya sebagai pemimpin yang tegas, memberikan intruksi untuk merobohkan kembali masjid yang dibangun tadi sampai si kakek ini memberikan restu untuk dibangun. Beliau berkata, "Untuk apa membangun masjid yang megah? apakah akan membuat seorang khusyuk dalam shalatnya? Sedangkan di sekitar masjid ini masih terdapat masyarakat yang tidak mendapatkan haknya secara adil".
Sikap Umar tersebut mempertegas bahwa mensejahterakan masyarakat selain dengan keadilan ekonomi, harus ditunjang dengan keadilan sosial. Tidak ada lagi perpecahan atas perbedaan.
Namun, masa kejayaan masyarakat ini hanya berumur singkat. Umar memimpin selama 2 tahun setengah atau 30 bulan. Beliau dibunuh oleh pengawal pribadinya dengan cara diracun. Pada akhir hayatnya pun kembali memberikan sejarah, dengan legowo Beliau memaafkan orang tersebut karena tahu akan kondisi yang memaksanya untuk melakukan perbuatan keji ini.
Menurut Tan Malaka dalam buku Dari Penjara Ke Penjara menuturkan, "Barangsiapa yang menghendaki kemerdekaan umum, maka ia harus rela sedia menderita kehilangan kemerdekaan dirinya sendiri."
Di masa saat ini, sangat sedikit pemimpin yang memprioritaskan kemakmuran rakyat. Terlihat, praktek kolusi, korupsi dan nepotisme masih dapat ditemukan dengan mudah. Maka dari itu, kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz menjadi refleksi bagi penguasa untuk memaksimalkan potensi masyarakat yang adil dan makmur. Sehingga para penguasa sudah tidak lagi menjunjung tinggi nilai-nilai pragmatis yang dampak buruknya terasa langsung oleh rakyat.
Artikel Lainnya
-
207706/05/2020
-
29701/01/2025
-
36305/10/2023
-
Menyoal Nasionalisme Karbitan Bangsa Buritan
29006/06/2024 -
Potret Kecil Transportasi Umum Kita
138627/10/2019 -
Menyelamatkan Indonesia bukan dengan aksi apalagi agitasi
154010/08/2020