Komunisme: Jualan Politik Hari Ini

Guru di Canisius College Jakarta
Komunisme: Jualan Politik Hari Ini 28/06/2020 979 view Opini Mingguan ayojakarta.com

Komunisme, Marxisme dan Leninisme sepenuhnya menjadi ideologi terlarang di Indonesia setelah dikeluarkannya TAP MPRS XXV Tahun 1966. Ketentuan ini kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya TAP MPR Nomor I Tahun 2003 yang mengatur agar ketentuan dalam TAP MPRS di atas tidak boleh diubah.

Akan tetapi, di tengah pandemi akibat Covid-19, isu mengenai bangkitnya komunisme di Indonesia justru kembali menjadi hangat diperbincangkan. Hal itu terkait dengan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pertengahan Mei 2020, yang tidak memasukkan sama sekali TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 di atas.

Sebagian pihak menilai bahwa RUU ini akan membuka jalan bagi kelahiran kembali kelompok-kelompok radikal dan intoleran, salah satunya komunisme. Isu “balas dendam sejarah” oleh bekas partisan Partai Komunis Indonesia (PKI), misalnya, ditiupkan dan dijadikan sebagai alarm bahwa bahaya komunisme sedang menghantui bangsa Indonesia. Partai-partai yang bernafaskan Islam adalah yang pada umumnya menentang RUU itu serta mengusulkan supaya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 dijadikan sebagai konsideran dalam penyusunan RUU ini. Lantas, yang menjadi pertanyaan kunci dalam tulisan ini adalah sedemikian pentingkah isu komunisme di dalam RUU tersebut?

Tulisan ini justru melihat bahwa isu komunisme yang dikaitkan dengan tidak dimasukkannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 sebagai salah satu konsideran dalam perumusan RUU HIP bukanlah suatu persoalan utama di dalam perumusan RUU tersebut sekaligus tidak menentukan apakah RUU itu layak untuk disahkan atau tidak.

Pertama, isu mengenai komunisme atau bangkitnya kembali PKI sebenarnya hanyalah jualan politik kepentingan tertentu. Isu ini semata adalah bagian dari politisasi, sementara fakta soal kebangkitan kembali komunisme itu sebenarnya tidak benar-benar ada. Isu ini sengaja dihembuskan sebagai bagian dari manuver politik untuk memenangkan kepentingan tertentu.

Sejarah mencatat bahwa dalam perpolitikan Indonesia, isu mengenai kebangkitan PKI dan komunisme terus-menerus dihembuskan semata untuk memenangkan kepentingan terselubung kelompok tertentu. Kiprah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), misalnya, selalu dituduh atau dikaitkan dengan keberadaan PKI. Selain itu, pada Pemilu 2014 dan 2019, misalnya, jargon PKI dijadikan sebagai alat untuk memenangkan suara di pemilihan umum. Di sisi lain, fakta mengenai berkembangnya komunisme di Indonesia tidak pernah dibuktikan.

Kedua, isu mengenai kebangkitan komunisme bukanlah persoalan utama yang mesti dijawab bangsa ini. Isu ini pada dasarnya hanya akan membuka kembali luka lama terkait komunisme di Indonesia. Terbunuhnya beberapa jenderal di Lubang Buaya dan pembantaian serta pemberian cap komunis atas jutaan partisan PKI oleh Orde Baru, misalnya, menjadi tragedi yang mengenaskan dan traumatis terkait dengan keberadaan PKI. Akan tetapi, ancaman yang dihadapi bangsa kita saat ini sebenarnya bukanlah soal ideologi, melainkan hal-hal yang jauh lebih pragmatis seperti ketahanan pangan dan ekonomi di tengah pandemi, kesejahteraan masyarakat, pembangunan, masalah kesehatan, pengaruh asing dan lain sebagainya. Dengan demikian, isu mengenai komunisme sejatinya tidak boleh mengalihkan perhatian kita (baca: pemerintah) dari persoalan-persoalan urgen semacam itu.

Ketiga, ada payung hukum yang mengatur paham-paham terlarang dalam negara kita. Hukum, sebagaimana secara jelas tertuang dalam TAP MPRS XXV Tahun 1966, melarang paham-paham seperti komunisme, Marxisme, dan Leninisme karena paham-paham itu bertentangan dengan dasar negara kita, yakni Pancasila. Negara Komunis, dalam pahamnya “tidak mengakui dimensi religius manusia sebagai cita-cita terdalamnya” (Wibowo, (ed.) Setyadi 2018: 148). Sementara Pancasila mengakui adanya unsur “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana tertuang dalam sila pertama. Dengan demikian, hukum menjadi patokan bagi negara untuk menghukum atau menindak siapa saja yang berhaluan komunisme karena memang paham ini bertentangan dengan konstitusi dan dasar negara kita.

Penilaian dan pengambilan tindakan berdasarkan hukum dalam menanggapi isu komunisme juga menjadi penting agar negara tidak bersikap terlalu reaktif kepada masyarakat yang diduga merupakan bagian dari PKI. Dalam upacara HUT TNI ke-73 di Cilangkap, Jakarta Timur, pada 5 Oktober 2018, misalnya, Presiden Jokowi menyebut bahwa ideologi komunisme harus diberantas. Sikap pemerintah semacam ini nyatanya terlalu reaktif karena siapa saja bisa dituduh sebagai bagian dari ideologi terlarang ini. Di sini, hukum seharusnya dipakai untuk menindaki berbagai paham terlarang seperti komunisme, bukan melalui ujaran reaktif yang sifatnya memberikan ketakutan kepada masyarakat. Dengan demikian, memperhatikan keberadaan negara kita sebagai negara hukum, isu komunisme dalam RUU HIP dapat ditindak berdasarkan asas hukum yang berlaku.

Ketiga alasan di atas kiranya menjadi tolak ukur yang penting untuk menilai apakah isu mengenai komunisme menjadi penting dalam perumusan RUU HIP di atas. Dan jawaban kita adalah: tidak!

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya