Masalah Kesehatan Mental dalam Ranah Pendidikan

Mahasiswa
Masalah Kesehatan Mental dalam Ranah Pendidikan 12/07/2023 522 view Pendidikan kompasiana.com

Membahas sisi gelap pendidikan di Indonesia selalu relevan dikaji. Sebab sebagian alumni pendidikan formal mulai bersuara soal suramnya dunia pendidikan menurut pengalaman hidup mereka. Topik pembicaraan mereka pun boleh beda kasus namun tetap satu muara.

Salah satu pengalaman penulis yang berkesan selama mengenyam bangku pendidikan formal adalah sedikit sekali guru menyadari, mengarahkan, dan mengembangkan potensi penulis. Saat itu penulis belum menyadari dan menemukan apa kekuatan atau potensi yang dapat digarap. Pertanyaan ini terus berputar-putar di kepala dan seringkali penulis gagal meraihnya. Alhasil, mencari validasi orang lain menjadi altenatif untuk menjawab kegelisahan penulis. Sayangnya mencari validasi orang lain berujung kelelahan karena persepsi orang lain terhadap penulis tidak sama dan sarat bias.

Sangat tidak mudah bagiku untuk mencintai diri sendiri apalagi sedari awal kelahiran dibesarkan oleh orang tua yang sibuk kerja dan mau dimengerti saat sedang terpuruk. Bisa dibayangkan betapa rapuhnya hati seorang anak. Selama hidup, anak dibesarkan dalam bayang-bayang ekspektasi orang tua dan mau menuruti apa kehendak mereka. Belum lagi saat anak berbuat kesalahan, anak sudah biasa merasakan amarah kedua orang tua sekian kalinya. Mirisnya lagi anak tidak dilibatkan oleh orang tua dalam proses pengambilan keputusan, berdiskusi, dan bertanya. Alhasil anak menjadi pribadi yang peragu, penakut, dan tidak percaya diri.

Maka tak heran mengapa siswa yang sudah ditekan dari keluarga terlihat bodoh saat menikmati proses belajar mengajar di sekolah. Sebenarnya mereka tidak bodoh namun mereka sudah depresi sedari awal. Keberhargaan diri (self-esteem) mereka sudah dihancurkan oleh orang terdekat. Oleh karena itu, kepekaan emosional guru dibutuhkan untuk meredakan dan membangun self-esteem siswa alih-alih memberikan tugas sekolah. Sayangnya oknum guru tidak menyadari potensi siswa dalam mewujudkan aktualisasi diri.

Kembali pada bahasan utama, hancurnya keberhargaan diri menyebabkan penulis kehilangan tujuan hidup, tidak percaya diri, susah bersosialisasi, dan suka membandingkan kehidupan penulis dengan kehidupan orang lain. Sepanjang hidup, penulis selalu melihat kehidupan orang jauh lebih bahagia dari kehidupan penulis yang hancur lebur. Lama-kelamaan kebiasaan ini menjadi candu. Bukannya memotivasi malah membuat harga diri penulis jadi anjlok dan sulit menjalani hidup dengan damai. Makin panjang umur perjuangan penulis.

Uraian narasi penulis di atas merupakan manifestasi suramnya pendidikan di Indonesia. Padahal mengetahui diri sendiri adalah pondasi utama dalam merumuskan tujuan hidup. Memang tidak mudah seseorang menjalani hidup dalam kondisi mental yang hancur sedari awal. Bayangkan jika potensi siswa dimatikan begitu saja dengan tugas sekolah seabrek dan kekakuan siswa bercerita pada guru saat ditimpa masalah hidup. Kecerdasan asli siswa, bertanya dan imajinasi, juga telah dimatikan oleh guru. Singkatnya sekolah menjadi tempat indoktrinasi bukan wadah mendidik supaya siswa dapat memecahkan persoalan hidup.

Sementara itu, penyebab siswa enggan curhat pada guru karena banyak faktor, yaitu takut dihakimi dan dibanding-bandingkan. Memilih teman curhat pun tidaklah mudah karena harus melibatkan kesiapan pengetahuan, pikiran, dan suasana hati, Tujuan pokok curhat adalah untuk membuka ruang cerita untuk pembicara supaya emosi yang terpendam dapat tersalurkan. Pendengar bertugas mendengarkan cerita orang sampai dirasa lega. Saat lagi sedih, manusia butuh sandaran untuk dimengerti dan dikuatkan dalam menjalani lika-liku dunia. Selain itu, hindari perkataan dan gestur tubuh yang membuat pembicara malas bercerita.

Sistem pendidikan Indonesia makin bobrok dibarengi dengan maraknya aksi perundungan, kenakalan remaja, dan bahkan tindakan kriminal. Hal itu menambah beban pekerjaan pemerintah, kepolisian, masyarakat, dan keluarga yang disebabkan oleh siswa. Kebutuhan psikologis yang tidak terpenuhi mendorong manusia melakukan aksi kejahatan agar mendapatkan perhatian. Sungguh ironis bukan?

Pada akhirnya terbatasnya ruang emosional siswa dalam memenuhi kebutuhan batin menambah daftar cacat sistem pendidikan Indonesia. Maka tidak heran mengapa narasi bernada kritikan sistem pendidikan Indonesia makin masif dibarengi kehadiran media sosial. Pendek kata, mengutip kutipan Fred Hampton “you can jail a revolutionary, but you can’t jail the revolution.” Selain itu, isu kesehatan mental makin masif dibahas sehingga suka tak suka pemerintah dan masyarakat terbuka dengan isu tersebut secara responsif.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya