Ketika Ruang Aman Berubah Menjadi Ancaman: Refleksi Indonesia Darurat Pelecehan Seksual

Freelancer (Pensiunan ASN Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur)
Ketika Ruang Aman Berubah Menjadi Ancaman: Refleksi Indonesia Darurat Pelecehan Seksual 24/11/2025 64 view Lainnya pexels-keira-burton-6147114

Seharusnya kampus menjadi tempat menimba ilmu dengan tenang. Seharusnya sekolah adalah ruang aman bagi anak-anak kita untuk tumbuh. Namun kenyataan berkata lain, predator justru bersembunyi di balik jubah guru dan dosen, mengubah ruang-ruang sakral pendidikan menjadi lokasi kejahatan yang mengerikan.

Ketika berita pelecehan seksual oleh oknum dosen Universitas Riau belum sepenuhnya hilang dari perbincangan publik, kasus serupa di Universitas Sriwijaya muncul kembali. Belum lagi kisah tragis mahasiswi NW yang memilih mengakhiri hidupnya dengan meminum racun di samping makam ayahnya, setelah pacarnya menolak bertanggung jawab atas perbuatannya. Dan yang paling mengejutkan, kasus kekerasan seksual oleh seorang guru terhadap 12 murid di Bandung membuat kita semua tercekat, bagaimana mungkin orang yang dipercaya mendidik anak-anak justru menjadi monster yang merusak masa depan mereka?

Deretan kasus ini bukan sekadar angka statistik. Di balik setiap berita yang muncul, ada nyawa yang hancur, ada masa depan yang runtuh, ada trauma yang mungkin tak akan pernah sembuh sepenuhnya. Indonesia sedang menghadapi darurat pelecehan seksual, dan kita semua tidak boleh lagi menutup mata.

Akar Masalah yang Terabaikan

Pelecehan seksual di Indonesia bukan fenomena baru, tetapi keberaniannya kini semakin mengkhawatirkan. Pelaku tidak lagi sembunyi-sembunyi di pojok gelap, mereka ada di ruang kelas, di ruang dosen, bahkan di mimbar yang seharusnya menyebarkan kebaikan. Pertanyaan besarnya adalah mengapa ini bisa terjadi berulang kali?

Salah satu akar masalahnya adalah budaya patriarki yang masih mengakar kuat. Dalam banyak kasus, korban justru yang disalahkan. "Kamu pakai baju apa?" "Kenapa keluar malam?" "Pasti kamu juga yang menggoda." Pertanyaan-pertanyaan semacam ini mencerminkan victim blaming yang sistematis, seolah pelecehan terjadi karena kesalahan korban, bukan karena nafsu dan kejahatan pelaku.

Lebih parah lagi, ada normalisasi terhadap perilaku yang sebenarnya sudah masuk kategori pelecehan. Catcalling atau godaan di jalanan dianggap sebagai "rayuan" biasa. Sentuhan tidak pantas di transportasi umum didiamkan karena takut membuat masalah. Komentar seksis terhadap tubuh perempuan dianggap sebagai "bercanda". Semua ini menciptakan ekosistem di mana pelaku merasa aman dan korban merasa tidak berdaya.

Ketika pelecehan terjadi di lingkungan pendidikan, ada lapisan masalah tambahan: relasi kuasa yang tidak seimbang. Dosen atau guru memiliki otoritas atas nilai, ijazah, bahkan masa depan akademik mahasiswa atau muridnya. Ketakutan akan pembalasan akademik membuat banyak korban memilih diam, menelan kepahitan sendirian, sambil pelaku terus leluasa mencari mangsa berikutnya.

Sistem Hukum yang Belum Berpihak

Meskipun Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, implementasinya masih jauh dari kata ideal. Proses hukum yang berbelit-belit, trauma berlapis yang harus dihadapi korban saat memberikan kesaksian, hingga stigma sosial yang melekat membuat banyak korban memilih tidak melaporkan kasusnya.

Bayangkan seorang mahasiswi yang dilecehkan dosennya. Untuk melaporkan, dia harus menghadapi sistem birokrasi kampus yang sering kali justru melindungi reputasi institusi daripada melindungi korban. Dia harus menghadapi pertanyaan yang menyudutkan dari aparat penegak hukum. Dia harus siap dengan cap "pembuat masalah" dari lingkungan sekitar. Tidak heran jika banyak yang akhirnya memilih diam, meski luka di hati terus menganga.

Bahkan ketika kasus sampai ke pengadilan, hukuman yang dijatuhkan seringkali tidak sebanding dengan penderitaan korban. Pelaku bisa saja hanya mendapat hukuman ringan, sementara korban harus hidup selamanya dengan trauma yang dialami. Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang ditolak, dan di Indonesia, keadilan bagi korban pelecehan seksual sering kali tertunda sangat lama atau bahkan tidak pernah datang sama sekali.

Pendidikan Seksualitas yang Masih Tabu

Salah satu faktor yang memperparah situasi adalah minimnya pendidikan seksualitas yang komprehensif. Banyak orang tua dan sekolah masih menganggap pembahasan tentang seks dan tubuh sebagai hal tabu. Akibatnya, anak-anak tumbuh tanpa pemahaman yang benar tentang batasan tubuh mereka, tentang konsep consent atau persetujuan, dan tentang apa yang harus dilakukan ketika mengalami pelecehan.

Anak-anak tidak tahu bahwa tubuh mereka adalah milik mereka sendiri, dan tidak ada orang lain, termasuk guru atau orang dewasa yang mereka percaya, yang boleh menyentuhnya dengan cara yang tidak pantas. Mereka tidak tahu bahwa mereka berhak berkata "tidak", bahkan kepada figur otoritas. Dan yang paling memprihatinkan, mereka tidak tahu kepada siapa harus melapor ketika hal buruk terjadi.

Pendidikan seksualitas bukan tentang mengajarkan anak untuk melakukan aktivitas seksual. Ini tentang memberi mereka pengetahuan untuk melindungi diri sendiri, memahami batasan yang sehat dalam relasi, dan menghormati tubuh orang lain. Tanpa pendidikan ini, kita membiarkan anak-anak kita rentan menjadi korban.

Media Sosial: Pedang Bermata Dua

Media sosial telah membawa perubahan signifikan dalam cara kita membicarakan pelecehan seksual. Platform digital memberikan ruang bagi mereka yang selama ini dibungkam untuk akhirnya bercerita, dan solidaritas yang terbangun seringkali menjadi sumber kekuatan bagi korban lainnya untuk berani melangkah maju.

Namun, media sosial juga punya sisi gelap. Trial by netizen bisa mengaburkan fakta dengan opini. Kasus yang belum jelas bisa sudah divonis di ruang publik. Privasi korban bisa terlanggar. Bahkan ada fenomena di mana korban justru mengalami reviktimisasi di dunia maya, dihujat dan disalahkan oleh warganet yang tidak tahu persis apa yang sebenarnya terjadi.

Yang kita butuhkan adalah keseimbangan dengan memanfaatkan kekuatan media sosial untuk memberikan suara kepada korban dan mendorong perubahan sistemik, sambil tetap mengedepankan verifikasi fakta dan perlindungan terhadap semua pihak yang terlibat.

Langkah Konkret Menuju Perubahan

Kita tidak bisa lagi hanya berdiam diri dan berharap masalah ini akan hilang dengan sendirinya. Perubahan membutuhkan tindakan konkret dari semua pihak. Pertama, institusi pendidikan harus memiliki mekanisme pengaduan yang jelas, aman, dan terpercaya. Harus ada jalur khusus bagi korban untuk melaporkan tanpa takut akan pembalasan. Kampus dan sekolah perlu membentuk tim khusus yang terlatih menangani kasus pelecehan dengan pendekatan yang sensitif terhadap korban. Dan yang paling penting, pelaku harus mendapat sanksi tegas tanpa pandang bulu, tidak peduli seberapa tinggi jabatan atau seberapa besar kontribusinya terhadap institusi.

Kedua, pemerintah perlu memastikan implementasi UU TPKS berjalan efektif. Aparat penegak hukum harus mendapat pelatihan khusus tentang penanganan kasus kekerasan seksual yang tidak menyakiti korban lebih jauh. Proses hukum harus dipercepat dan dipermudah, dan hukuman harus benar-benar memberikan efek jera.

Ketiga, pendidikan seksualitas komprehensif harus masuk ke dalam kurikulum pendidikan sejak dini. Anak-anak perlu tahu tentang batasan tubuh, consent, dan cara melindungi diri sendiri. Orang tua juga perlu diberdayakan dengan pengetahuan yang tepat agar bisa menjadi tempat aman pertama bagi anak ketika menghadapi masalah.

Keempat, masyarakat perlu mengubah cara pandang terhadap korban pelecehan. Berhenti menyalahkan korban, mulai percaya pada kesaksian mereka, dan beri dukungan yang mereka butuhkan untuk pulih. Trauma pelecehan seksual bisa berlangsung seumur hidup, dan korban membutuhkan dukungan sosial yang kuat untuk bisa bangkit kembali.

Harapan di Tengah Kelam

Meski realitanya menyakitkan, bukan berarti kita kehilangan harapan. Semakin banyak korban yang berani bersuara adalah tanda bahwa stigma perlahan mulai terkikis. Semakin banyak institusi yang membuat kebijakan perlindungan adalah tanda bahwa kesadaran mulai tumbuh. Dan semakin banyak masyarakat yang mendukung korban adalah tanda bahwa perubahan sedang terjadi, meski perlahan.

Setiap dari kita memiliki peran. Sebagai orang tua, kita bisa menjadi pendengar yang baik bagi anak-anak kita. Sebagai teman, kita bisa menjadi support system bagi mereka yang menjadi korban. Sebagai warga negara, kita bisa mendesak pemerintah dan institusi untuk bertindak lebih serius. Sebagai manusia, kita bisa memilih untuk tidak lagi membiarkan pelecehan seksual dinormalisasi dalam bentuk apapun.

Saatnya kita semua turun tangan, karena diam berarti ikut melanggengkan kejahatan. Dan kita semua lebih baik dari itu.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya