Lock Down, Upaya Ekonomi Mandiri, dan Introspeksi Diri

Mahasiswa STFK Ledalero
Lock Down, Upaya Ekonomi Mandiri, dan Introspeksi Diri 23/03/2020 2002 view Opini Mingguan Hitekno.com

"Manusia, kenalilah dirimu!"_Socrates.

Kredo Socrates beberapa tahun silam kiranya menjadi pembelajaran bagi kita semua. Ia mengajak kita untuk mengenal diri, kembali ke dalam diri kita sendiri. Lantas, mengapa kita mesti kembali ke dalam diri? Atau apakah karena kita sudah mengalami masalah yang begitu besar?

Permasalahan kita saat ini ialah merebaknya dampak negatif dari virus korona covid-19. Mengenai virus ini, pihak World Health Organization (WHO) sendiri menyebutnya sebagai pandemi global. Disebut demikian, karena ia sudah menyebar sampai ke hampir semua negara di dunia. Dampaknya pun mendarat pada setiap lini kehidupan. Selain kesehatan tubuh (body health) ternyata virus korona ini juga berdampak pada perekonomian negara Indonesia khususnya terkait melemahnya nilai rupiah kita.

Berkaitan dengan melemahnya nilai rupiah kita, KOMPAS.com (20/03/2020) melansir berita tentang terpuruknya nilai tukar rupiah terhadap nilai dollar AS di pasar spot.

Bahkan yang lebih parahnya lagi, dampak melemahnya juga sampai menembus level psikologis 16.000. Selain itu, dilansir dari data Bloomberg, pukul 10.06 WIB, di pasar spot, rupiah berada di posisi Rp 16. 038 per dollar AS.

Hal ini juga berarti melemah 0.79 persen dibandingkan penutupan kemarin pada Rp 15.913. Menurut KOMPAS.com sendiri, hal ini menunjukkan bahwa nilai rupiah catat rekor terburuk dan terlemah selama 22 tahun terakhir.

Lantas, apa yang bisa kita baca dari data-data di atas? Hemat saya, hal ini pasti mempengaruhi harga barang di pasar di hari-hari mendatang. Kenaikan ini bisa jadi karena masalah melemahnya nilai rupiah ini.

Kejadian melemahnya nilai tukar rupiah ini, ternyata bukan barang baru bagi kita. Saya sendiri masih ingat pada tahun 2010 waktu saya kelas empat (4) SD, harga buku tulis waktu itu sekitar Rp 10.000 untuk yang ber-EB 50. Itu harga untuk satu pack buku tulis yang isi di dalamnya sekitar sepuluh (10) buah buku.

Sementara pada tahun 2011 saat kelas lima (5) SD, saya masih ingat harga buku dengan EB yang sama ialah Rp 20.000. Angka ini kembali membengkak ke Rp 30.000 pada tahun 2012 ketika saya mau ujian nasional SD. Kita bisa melihat bahwa setiap satu tahun untuk satu pack buku tulis saja itu sudah naik Rp 10.000 terus. Dengan nilai rupiah waktu itu yang berada pada angka Rp 13.000, saya masih menyebut hal ini sebagai kemerosotan perekonomian kita di negeri ini.

Bukan saja sampai di situ, bahkan pada tahun 2018 kemarin pun yang nilai rupiahnya sekitar Rp 14.000 itu, saya harus membayar mobil untuk transpor saya ke Ende, kota pariwisata Danau Kelimutu saat itu dengan harga Rp 200.000. Hal ini berbeda dengan ongkos transpor pada tahun 2017 sebelumnya yakni Rp 95.000.

Berkaitan dengan hal-hal tersebut, poin saya ialah bahwa melemahnya rupiah kita ternyata berdampak pada hampir semua lini kehidupan. Betapa tidak. Selain dunia perekonomian, dunia pendidikan dan dunia pariwisata pun terkena dampak dari melemahnya nilai tukar rupiah kita.

Sampai dengan 20 Maret 2020, perekonomian kita juga dihambat. Sebagaimana Kompas.com, perhambatan ini disinyalir oleh melemahnya nilai tukar rupiah kita. Selain itu, pemerintah sendiri melihat bahwa alasan melemahnya nilai tukar rupiah ialah karena merebaknya virus korona covid-19 saat ini.

Betapa tidak. Virus yang disebut pandemi global tersebut membuat negara harus mengeluarkan uang untuk mengobati pasien, mengimpor masker, baju khusus untuk tenaga medis, dan hal-hal mendesak lainnya. Bisa dipahami bahwa negara kita sudah, sedang dan bahkan akan mengeluarkan uang dengan jumlah yang sangat besar untuk kesembuhan pasien korona sebagai warganya.

Selain itu, dalam mengurangi dampak bahaya selanjutnya, pemerintah saat ini mengeluarkan kebijakan sistem Lock Down. Dalam bahasa yang sederhana, sistem ini berarti mengajak kita untuk mengunci diri dari segala pengaruh luar seperti pembatasan terhadap relasi dengan orang lain (social distancing), menghindari kontak fisik dengan sesama, atau bahkan pada Gereja juga adanya misa berbasis daring yang dibuat dari rumah masing-masing.

Berkaitan dengan sistem Lock down ini, hemat saya pemerintah sudah sangat tepat dalam mengambil keputusannya. Keputusan ini terbilang sangat tepat karena kita dihimbau untuk menekan jumlah kasus kematian di negara kita yang sudah semakin meningkat yakni dari 2 orang yang terduga positif di awal Maret hingga 19 orang lagi meninggal dunia per Rabu, 18 Maret 2020 pukul 12.00 WIB (Katadata.com).

Berkaitan dengan hal di atas, hemat saya, sudah semestinya kita berpikir cerdas dan kreatif. Kita mesti mencari jalan keluar yang inovatif-kreatif dengan membantu pemerintah mengatasi pandemi global ini.

Karena itu, dalam melampaui pandemi tersebut, kita diajak untuk melakukan beberapa hal berikut.

Pertama, melampaui reses ekonomi negara dengan membuat usaha ekonomi mandiri. Pada titik ini, sistem Lock down membuat kita harus berurusan dengan diri sendiri sehingga kita pun tentu saja tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain termasuk para penjual di pasar. Alhasil, kita pun tidak dapat membeli kebutuhan pokok sehari-hari karena ketatnya sistem tersebut. Karena itu, kita diajak untuk berusaha mandiri dengan menggunakan pangan lokal sebagai makanan sementara.

Untuk konteks Indonesia misalnya, tentu saja kita memiliki makanan lokal khas masing-masing. Kita bisa menyebut di sini seperti ubi, pisang, sagu, dan lain sebagainya. Ubi singkong misalnya, selain membuat kita kenyang, ia juga mampu meningkatkan gizi karena di dalamnya terkandung karbohidrat yang tinggi. Langkah semacam ini ialah upaya kita pada tingkat yang mikro. Jadi, sebagai upaya mikro, kita mesti membantu pemerintah dengan bergerak secara mandiri, berekonomi mandiri sesuai dengan komoditas lokal kita masing-masing. Dengan kata lain, kita diajak untuk tidak menunggu pemerintah menyumbang bahan pokok. Di sini, saya mengajak kita untuk mencintai produk lokal di masing-masing daerah kita.

Kedua, sistem Lock Down membantu kita untuk mengintrospeksi diri. Kita diajak untuk berefleksi tentang dunia yang sudah sangat kacau karena pandemi global ini. Refleksi bisa kita buat dengan terlibat aktif untuk mendoakan diri sendiri dan orang lain agar tidak dijangkiti penyakit berbahaya tersebut.

Selain itu, kita juga berdoa bagi pasien korona dan juga keselamatan bagi jiwa-jiwa saudara-saudari kita yang telah meninggal dunia. Pada titik ini, kredo Socrates kiranya menjadi refleksi kita: "Manusia, kenalilah dirimu!" Kenalilah diri kita bahwa kita adalah makhluk pendoa (homo orans) baik bagi diri sendiri maupun bagi sesama yang lain.*

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya