Ketika Agama Disalahgunakan: Menelaah Tragedi Surabaya dalam Kaca Mata Islam

Ketika Agama Disalahgunakan: Menelaah Tragedi Surabaya dalam Kaca Mata Islam 29/05/2025 458 view Agama Ai ChatGPT

Pada 13 Mei 2018, Indonesia kembali dihadapkan pada tragedi memilukan yang mengguncang fondasi kemanusiaan dan keberagaman. Rentetan bom bunuh diri meledak di tiga gereja di Surabaya Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, dan GPPS Jalan Arjuna menewaskan sedikitnya 14 orang dan melukai puluhan lainnya. Hal yang membuat tragedi ini semakin mengejutkan adalah fakta bahwa pelaku berasal dari satu keluarga, ayah, ibu, dan anak-anak mereka. Publik tersentak bukan hanya oleh kekejaman itu, tetapi oleh simbolisme kelam bahwa ideologi kebencian bisa ditanamkan bahkan dalam institusi paling privat dan sakral yakni keluarga.

Tragedi ini tidak bisa hanya dilihat sebagai kasus terorisme biasa. Ia harus dibaca sebagai gejala dari krisis pemahaman agama dan kegagalan kolektif dalam menghadirkan tafsir yang membebaskan. Pertanyaan mendasarnya bukan sekadar “siapa pelakunya?” melainkan “bagaimana ideologi yang mendewakan kekerasan ini bisa hidup di tengah masyarakat beragama?” Menjawabnya butuh lebih dari sekadar kecaman moral; kita memerlukan otopsi ideologis dan pembacaan kritis terhadap posisi agama dalam ruang publik kontemporer.

Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia seringkali berada dalam posisi defensif tiap kali aksi teror terjadi atas nama agama. Namun yang luput dibahas secara jujur adalah bagaimana sebagian tafsir keislaman, yang kaku dan literal, membuka ruang bagi radikalisasi. Konsep seperti jihad, hijrah, atau amar ma’ruf nahi munkar telah direduksi menjadi slogan kekerasan oleh kelompok ekstremis. Padahal secara historis, jihad lebih banyak berkaitan dengan perjuangan etis dan spiritual, bukan kekerasan bersenjata.

Dalam Al-Qur’an, larangan membunuh sangat eksplisit: “Barangsiapa membunuh satu jiwa, bukan karena (dia membunuh) orang lain atau membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia” (QS. Al-Maidah: 32). Namun pertanyaannya, mengapa ayat seperti ini tidak cukup mencegah lahirnya pelaku-pelaku teror? Jawabannya terletak pada siapa yang memproduksi wacana keagamaan, dan bagaimana umat menyerapnya. Jika agama diajarkan sebagai dogma tanpa ruang berpikir, maka umat akan kehilangan kemampuan untuk membedakan antara ajaran dan manipulasi.

Lebih ironis lagi, pelaku bom Surabaya bukan berasal dari lingkungan yang marginal secara ekonomi. Mereka tinggal di pemukiman kelas menengah, terhubung dengan komunitas eksklusif, dan mengakses informasi secara digital. Artinya, radikalisme tidak lagi soal kemiskinan atau kebodohan. Ia kini terkait dengan kebutuhan akan identitas, rasa memiliki, dan pencarian makna hidup yang dijawab secara instan oleh ideologi ekstrem.

Negara dalam hal ini tidak bisa lepas tangan. Selama ini, respons terhadap terorisme cenderung reaktif: penangkapan, pelarangan, dan penindakan. Namun pendekatan ini gagal menyentuh akar persoalan: ideologi dan ruang penyebarannya. Sekolah-sekolah dan masjid masih banyak yang belum disentuh oleh kurikulum keagamaan yang inklusif dan kontekstual. Banyak guru agama dan dai yang hanya mengajarkan teks, tanpa membimbing muridnya pada pemahaman yang reflektif dan kontributif terhadap realitas sosial.

Lebih menyedihkan lagi, sebagian besar umat Islam hanya aktif bersuara pasca-tragedi. Kecaman, doa bersama, dan narasi “Islam adalah agama damai” digaungkan tanpa menyentuh substansi persoalan. Mengutuk tanpa mengoreksi adalah bentuk pembelaan yang kosong. Umat harus mulai berani membuka ruang otokritik: mengapa banyak dari kita mudah percaya pada narasi konspiratif? Mengapa forum-forum keagamaan seringkali didominasi oleh wacana “kami versus mereka”? Mengapa tafsir-tafsir damai jarang mendapat panggung?

Ulama dan tokoh agama memiliki peran penting di sini. Sayangnya, sebagian besar dari mereka masih enggan mengambil posisi tegas terhadap kelompok ekstrem. Beberapa bahkan memilih diam dengan dalih menjaga persatuan. Namun diam di tengah penyimpangan adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah keagamaan itu sendiri. Dalam konteks ini, keberanian moral menjadi kebutuhan utama. Agama tidak bisa lagi hanya dikhotbahkan; ia harus dijaga dari eksploitasi oleh mereka yang menyalahgunakannya untuk agenda kekuasaan.

Tragedi ini juga menunjukkan bahwa keluarga yang seharusnya menjadi benteng pertama pendidikan moral, telah menjadi medan infiltrasi ideologis. Fakta bahwa anak-anak dilibatkan dalam aksi bom bunuh diri mengindikasikan adanya proses indoktrinasi sejak dini. Ini adalah kegagalan multidimensi: negara tidak hadir, masyarakat tidak peduli, dan agama dipelintir. Pendidikan keluarga harus dikembalikan pada nilai-nilai kemanusiaan universal. Mengajarkan Islam tidak cukup hanya dengan menghafal ayat, tetapi harus dibarengi dengan menanamkan empati, akal sehat, dan rasa tanggung jawab sosial.

Pasca tragedi ini banyak komunitas Muslim di Surabaya dan daerah lain bergerak cepat. Doa lintas iman, kampanye toleransi, dan pembukaan masjid untuk dialog antaragama adalah langkah-langkah penting. Namun ini harus dilanjutkan dengan gerakan yang lebih terstruktur dan berkelanjutan. Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin bukan slogan yang selesai di baliho atau khutbah Jumat. Ia harus menjadi gerakan sosial, pendidikan, dan budaya yang hidup dalam praktik sehari-hari.

Tragedi Surabaya adalah peringatan keras. Ia mengajak kita bercermin: apakah kita akan terus membiarkan agama digunakan sebagai instrumen kekerasan? Apakah umat Islam siap menghadapi kenyataan bahwa sebagian wacana keagamaan kita butuh direformasi secara mendasar? Dan apakah negara bersedia keluar dari pendekatan represif menuju upaya deradikalisasi berbasis edukasi, budaya, dan keadilan sosial? Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tidak segera dijawab dengan tindakan konkret, maka kita hanya tinggal menunggu tragedi berikutnya. Ketika itu terjadi, kita tidak lagi bisa berkata bahwa kita tidak tahu, tidak siap, atau tidak bertanggung jawab.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya