Ketidakadilan Hukum Pasca Aksi Reformasi Dikorupsi

Di masa kampanye pilpres tahun 2019, Jokowi pernah bilang, "winter is coming". Kini tak ada lagi musim dingin, tak ada lagi para demagog yang mendatangi kepolosan hati rakyat menggunakan jaket tabel yang terbuat dari kepalsuan. Winter has passed bersamaan dengan pemilu yang pilu, pembagian jatah menteri pun telah usai. Habis pesta rakyat (gelap), terbitlah pesta kabinet (terang).
Walaupun musim dingin itu telah usai beberapa bulan lalu, tapi sungguh, itu adalah musim yang paling menyebalkan. Ia datang tanpa sedikit pun membawa kebaikan. Alih-alih membawa kebaikan, musim itu malah memperbesar rasa berkabung bangsa ini. Gerakan demonstrasi mahasiswa seluruh Indonesia bertema "reformasi dikorupsi" menyisakan banyak luka. Beberapa orang tua kehilangan anaknya, dan beberapa lagi hingga kini menyaksikan anaknya menderita.
"Jaga diri baik-baik ya, Nak. Jangan tinggalkan sholat, Mama selalu mendoakan yang terbaik untukmu," tulis Nurhayati Sulistya di akun Facebook pribadinya seusai dirinya menjumpai anaknya di Polres Metro Jakarta Pusat.
Sebagai seorang ibu yang tak memiliki banyak daya, Sulistya hanya bisa tabah melihat anaknya dijerat putusan hukum yang terlahir dari interpretasi yang tidak berkeadilan. Apalah daya, sejarah dunia adalah sejarah pertentangan antara kelas penguasa dan kaum tak bermodal alias miskin.
Saya pikir, Sulistya adalah satu dari sekian banyak warga yang merasakan langsung betapa pedihnya menjadi korban penerapan hukum yang buruk di negeri ini. Anaknya bernama Lutfi Alfiandi, umurnya lebih mudah dari saya. Pemilik nama Lutfi ialah remaja laki-laki yang menggenggam sangsaka merah-putih pada gambar yang saya pasang di tulisan ini.
Sebelumnya Lutfi ditahan di Polres Jakarta Barat tapi kemudian pada tanggal 25 November dipindahkan ke Salemba, Polres Metro Jakarta Pusat. Menurut Sutra Dewi, kuasa hukum Lutfi dari Lembaga Bantuan Hukum Komite Barisan Advokasi Rakyat (LBH KOBAR), mengatakan Lutfi dikenakan empat pasal, yakni pasal 170, 212, 214, dan 218 KUHP. Saya ingin menunjukkan watak ketidakadilan penerapan pasal-pasal tersebut satu persatu.
Tanpa Keadilan
Pertama, pasal 170. Pasal ini mengatur bahwa orang yang secara bersama-sama melakukan kekerasan dan perusakan di muka umum akan diganjar penjara maksimal lima tahun enam bulan—Bila korban mengalami luka, maka hukum ditambah menjadi tujuh tahun, sembilan tahun jika luka berat, dan sepuluh tahun jika korban meninggal dunia.
Ketika Lutfi dijerat menggunakan pasal ini, Hakim seolah-olah menganggap pada saat itu bukan peristiwa demonstrasif yang masif terjadi di berbagai kota besar di Indonesia dan tidak ada aparat yang melakukan kekerasan apa-apa pada masa aksi di depan umum. Padahal sudah jelas represi aparat-lah yang menjadi biang keladi perusakan di muka umum.
Sewaktu aksi "reformasi dikorupsi" di Makassar, saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri aparat menghajar kawan-kawan saya, menembak masa aksi dengan gas air mata hingga membuat kami lari tak beraturan dan saling berbenturan satu sama lain. Banyak dari mahasiswa yang menjadi korban kekerasan aparat, bahkan keberingasan aparat mengakibatkan satu adik kami yang kuliah di UIN Makassar meninggal dunia.
Jadi, Lutfi adalah korban dari penegakkan hukum yang diskriminatif serta kepongahan pihak eksekutif yang ingin menunjukkan watak otoritatif-nya pada masyarakat luas bahwa dialah penguasa sesungguhnya yang berhak memonopoli seluruh tindakan kekerasan, seperti yang dikatakan Max Weber dalam teorinya tentang negara.
Kedua, pasal 212. Pasal ini mengatur bahwa orang-orang yang melakukan kekerasan pada aparat negara diancam hukuman penjara satu tahun empat bulan dan dikenakan denda. Pasal ini secara jelas menunjukkan pada kita bahwa hukum tidak lain adalah alat bagi kelas pemerintah membungkam mulut rakyat miskin.
Hal tersebut membenarkan apa yang ditegaskan oleh Karl Marx, bahwa hukum adalah alat menindas rakyat. Marx adalah pemikir yang pikiran-pikiranya tentang ekopol ditolak di Indonesia dengan dalih teologis. Padahal fokus Marxisme hanya pada problem kemanusiaan, tidak ihwal ketuhanan. Singkatnya, Marxisme adalah ajaran yang menentang pembiaran ketidakadilan terjadi atas nama negara dan takdir dari tuhan.
Pada titik ini, tanpa mengabaikan teori-teori marxisme, saya mau bilang Weber jauh lebih buruk dibandingkan Thomas Hobbes. Weber dalam teorinya tentang kekuasaan menganjurkan negara memonopoli kekerasan. Sedangkan Hobbes di dalam bukunya yang berjudul Leviathan masih mengatakan bahwa hukum tidak lain adalah nurani publik, kendatipun Hobbes sama sekali tidak berbicara soal demokrasi.
Saya pikir, Pemerintah Indonesia perlu membaca Leviathan karya Thomas Hobbes dari kacamata demokratis agar bisa menjadi seorang Leviathan yang tahu berlaku sopan di hadapan rakyat yang sudah memberinya makan-minum serta fasilitas mewah melampaui apa yang dimiliki sang pemberi, yakni rakyat itu sendiri.
Ketiga, pasal 214. Pasal ini mengatur orang yang mengeroyok aparat negara diancam penjara maksimal tujuh tahun. Hukuman bisa meningkat jadi delapan tahun enam bulan jika mengakibatkan luka, dua belas tahun jika luka berat, dan lima belas tahun jika mengakibatkan kematian.
Saya pikir, pasal ini tak ada bedanya dengan pasal 212; hanya semakin mempertegas ketangguhan aparat terlindungi dari jeratan hukum secara adil tanpa pandang bulu. Peluru yang menembus dada teman kami Randy hingga membuatnya meninggal dunia dan yang menembaknya bebas dari jeratan hukum, lukanya masih perih di dada kami.
Keempat, pasal 218. Pasal ini memuat ancaman penjara empat bulan dua minggu bagi orang yang tak mengindahkan atau mengabaikan peringatan aparat keamanan. Nah, inilah problem utama di Indonesia. Bahkan untuk sekadar hal ingat mengingatkan saja antara rakyat dan aparat tidak diperlakukan setara.
Apakah hanya peringatan pemerintah dan aparat saja yang tak boleh diabaikan sedangkan peringatan dan permintaan rakyat bebas diabaikan? Mengapa bukan keselamatan rakyat yang menjadi hukum tertinggi, sebagaimana ditegaskan oleh Marcus Tullius Cicero?
Kembali Kepada Khittah Kemerdekaan
Pembaca yang budiman tak perlu menguras waktu untuk menjawab pertanyaan itu. Saya hanya iseng bertanya saja, tidak serius. Saya terlanjur terluka melihat kebebasan berekspresi semakin dikekang, dan hukum tidak lain adalah kehendak si penegak hukum. Lihat saja, baru menelaah persoalan hukum dalam kurun waktu gerakan "reformasi dikorupsi" saja sudah membuat hati kita ambyar.
Saking jengkel menyaksikan penegak hukum di Indonesia yang kerap kali memupus harapan bernegara, saya kadang berpikir bagaimana caranya bernegara dengan damai dan adil tanpa kehadiran undang-undang formal, bila hukum formal terus-menerus diterapkan secara tebang pilih. Dan, syukur caranya telah saya temukan. Menurut Imanuel Kant, kita hanya perlu menjalani hidup seolah-olah tindakan kita adalah menjadi hukum universal.
Manakala kita sudah terbiasa memperlakukan orang lain seperti kita memperlakukan diri kita sendiri, saat itu juga kehadiran pemerintah tak lagi dibutuhkan. Sebab pemerintah hadir dan terbiasa menarik untung dari setiap konflik antara kelompok miskin dengan kelompok miskin lainnya. Jadi, rakyat miskin harus bersatu.
Persatuan rakyat miskin adalah satu-satunya jalan agar hukum di negeri ini tajam atas-bawah, kiri-kanan, tanpa pandang bulu. Tapi kalau cara itu ditolak, saya pikir, ada banyak cara yang bisa rakyat berikan untuk pemerintah lakukan. Itupun kalau pemerintah mau, dan terutamanya oleh individu-individu yang terus bertahan di lingkaran kekuasaan melalui pengakumulasian modal.
Bila kapitalisme terus dibiarkan subur di lingkaran kekuasaan, saran rakyat demi kebaikan negara soal penegakkan hukum yang adil hanya akan berujung sia-sia. Saya pikir, di negeri ini kita tidak kekurangan solusi, kita hanya krisis orang jujur dan keseriusan pemerintah menyelesaikan persoalan.
Jika saya diminta memberikan saran untuk perbaikan suprastruktur di bangsa ini, terutama soal supremasi hukum. Maka saya akan mengatakan bahwa sejak dini kita, terutama pemerintah, perlu membiasakan diri membaca Pancasila secara terbalik; dari sila ke 5-1, bukan seperti biasanya, 1-5. Kita perlu meletakkan sila ke-5 sebagai awal bukan akhir, dan sila-1 bukan sila pertama melainkan utama.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah titik awal kita semua bertolak menuju kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan (bukan otoritas) dalam permusyawaratan/perwakilan, persatuan Indonesia, kemanusian yang adil dan beradab, hingga akhirnya kita tiba pada tujuan utama: Ketuhanan yang Maha Esa tanpa perlu bertanya agama Anda apa.
Artikel Lainnya
-
158024/06/2023
-
1127015/04/2020
-
133514/11/2020
-
UAS dan Netizen Tidak Sedang Ingin Membeli Kapal Selam
378401/05/2021 -
Catatan Redaksi: Reaksi Normal Atas Situasi Abnormal
194410/04/2020 -
Tawuran dan Dampak Negatif Perkelahian di Kalangan Anak Muda
907324/12/2023