Semua Warga Negara Punya Kedudukan dan Hak Yang Sama

Pemerhati Politik
Semua Warga Negara Punya Kedudukan dan Hak Yang Sama 04/01/2021 876 view Opini Mingguan tangerangdaily.id

Setelah dilantik menjabat Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas atau akrab disapa Gus Yaqut, mengatakan akan mengafirmasi hak beragama Ahmadiyah dan Syiah. Dua kelompok minoritas yang selama ini cenderung menerima perlakukan diskriminatif melalui pelbagai aksi intoleransi dari golongan tertentu. Tak lama pasca pernyataan tersebut dimuat dipelbagai media massa dan mendapat respons publik, afirmasi itu pun lantas diklarifikasi.

Menurutnya, Kemenag akan melindungi warga negara. Jadi bukan memberikan proteksi khusus bagi Ahmadiyah maupun Syiah. Walau demikian, Gus Yaqut menegaskan Kemenag siap menjadi mediator manakala ada pihak yang bermasalah dengan Syiah dan Ahmadiyah. Persis di titik ini, sejatinya Indonesia sebagai sebuah bangsa yang majemuk sangat memerlukan ruang-ruang perjumpaan yang lebih intens antar lintas keyakinan, suku dan lainnya.

Munculnya kritik dari sejumlah pihak atas pernyataan Gus Yaqut, sejatinya menegaskan bila Indonesia masih memiliki problem disharmoni antar ummat beragama yang semua itu menjadi pekerjaan rumah yang mesti sesegera mungkin dituntaskan. Lebih-lebih konstitusi hendak menjamin hak-hak setiap warga negara untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya – terlepas kemudian, amanah itu sebatas lip service di lingkaran elite politik.

Sebagian elite yang mengambil isu-isu keberpihakan atas hak-hak beragama kaum minoritas, seperti Syiah dan Ahmadiyah, selalu saja berhadapan dengan kritik kelompok eksklusif. Tidak heran kalau kemudian muncul sikap pragmatis dan oportunis di lingkaran elite politik dengan menempuh jalur pintas lewat kontrak politik bersama barisan ekstrem kanan tuk memproduksi sejumlah peraturan diskriminatif yang menjadi lahan basah bagi aksi-aksi intoleransi.

Di beberapa daerah, dapat kita jumpai bagaimana peraturan Daerah (Perda) yang diorbit, bila dilihat dari segi substansi cenderung mendiskreditkan hak-hak kaum minoritas, yang sejatinya sangat bertentangan dengan konstitusi bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia (HAM). Bukan cuman di Daerah, di level Nasional peraturan diskriminatif pun cenderung dipertahankan, seperti tercermin dalam SKB Tiga Menteri yang hendak melarang ajaran Ahmadiyah.

Persoalan keyakinan beragama adalah persoalan pertanggungjawaban manusia kepada Tuhan, bukan manusia dengan negara. Sebagai ranah privat, negara hanya dibenarkan untuk menjamin dan melindungi, bukan sebaliknya: mengintervensi. Manakala negara turut mengintervensi, maka tindakan itu dapat dipandang sebagai bentuk pelanggaran terhadap HAM.

Pentingnya Ruang Perjumpaan

Pernyataan Kemenag Gus Yaqut menuai respons dari juru bicara Jemaah Ahmadiyah Indonesia Yendra Budiana. Ia melihat pernyataan Kemenag sebagai sesuatu yang normal, sebab baginya, pejabat negara sudah seharusnya berbicara demikian. Menurut Yendra jika pun niat Kemenag itu akan dilaksanakan, maka yang dapat dilakukan sekarang adalah membuka ruang-ruang perjumpaan dengan pelbagai komunitas agama yang difasilitasi Kemenag.

Ruang perjumpaan dapat menjadi alternatif untuk meminimalisir terjadinya kesalahpahaman antar ummat beragama. Kanal ini dapat dijadikan sebagai wahana untuk merajut harmoni antar pihak yang berlainan. Karena lewat kanal inilah segala perbedaan bisa dilebur dalam semangat kebersamaan sebagai sesama warga negara.

Dalam acara Haul Nurcholish Majid ke-13, Yudi Latif, menyampaikan pentingnya merawat persatuan antar sesama warga negara-bangsa. Ia memahami persatuan sebagai bagian integral dari proses bernegara mencapai kesejahteraan. Namun dalam konsepsi Yudi Latif, persatuan dan kesejahteraan harus diletakkan dalam kerangka prinsip keberimbangan dan kebersamaan. Dua nilai ini tidak pada posisi satu menentukan yang lain, melainkan sama: bagaikan dua sisi mata uang.

Karenanya untuk mencapai persatuan, yang mesti dilakukan antar sesama warga bangsa adalah mencari kesamaan dibalik perbedaan. Ini hanya mungkin dilakukan jika pelbagai blok dapat dipertemukan dalam ruang bersama untuk saling berbagi. Dari sinilah akan terjalin komunikasi antar sesama, sebagaimana dikatakan Jurgen Habermas “komunikasi merupakan syarat untuk terjalin kesepahaman.”

Jika kelompok yang berbeda dibiarkan hidup dan tumbuh dalam ruangnya masing-masing, ini sejatinya sangat berpotensi terjebak dalam logika “menang-menangan sendiri.” Kebenaran dan kesalahan, dengan demikian, ditentukan oleh kekuatan yang bertumpu pemahaman sempitnya. Kondisi semacam ini sudah barang tentu akan melahirkan disharmoni sosial.

Seseorang dan/atau kelompok tidaklah dibentuk hanya dengan satu unsur semata. Ada pelbagai elemen kompleks yang turut membentuk identitas seseorang. Itulah sebabnya mereka yang ada di negara tertentu yang menganut agama tertentu, dengan mereka yang hidup di negara yang memiliki budaya yang berbeda, sekalipun punya keyakinan agama yang sama, tetap memiliki sisi beda.

Sehingga menjadi tidak berguna kalau sampai mendiskreditkan kelompok tertentu yang dirasa berbeda dengan kelompoknya. Sejatinya dibalik perbedaan, terdapat tautan/jalinan persamaan dengan mereka yang dianggap berbeda. Dalam konteks Ahmadiyah dan Syiah, letak persamaan dengan penganut kepercayaan lainnya adalah sama-sama warga negara Indonesia.

Keberpihakan Bukan Sekadar Lisan

Prinsipnya, pernyataan Menteri Agama Gus Yaqut patut di apresiasi, sebab sudah menujukkan secercah komitmen untuk melindungi dan menjamin Syiah dan Ahmadiyya yang dipandang sama-sama sebagai warga negara Indonesia. Karena itu kita patut mendukung langkah tersebut. Ini merupakan kunci agar persoalan diskriminasi dan intoleransi dapat diatasi. Artinya publik tidak boleh membiarkan Kemenag berjuang sendirian di tengah himpitan oligarki dan kartel partai, yang cenderung punya kalkulasi pragmatis.

Walau begitu, penting untuk dimengerti, lisan bukan satu-satunya indikator keberpihakan dan komitmen Gus Yaqut. Kita perlu menguji pernyataan Gus Yaqut dalam ruang dan waktu yang terejawantah ke dalam tindakan konkretnya. Konsistensi antara lisan dan tindakannya itulah yang menjadi indikator riil dari keberpihakan dan komitmen Gus Yaqut dalam mengafirmasi hak beragama warga Syiah dan Ahmadiyah.

Terlampau banyak politisi yang pintar membual dengan lisannya, namun kosong tindakan. Ini merupakan momentum yang tepat bagi Gus Yaqut untuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa dirinya bukan hanya seorang politisi, melainkan sebagai seorang negarawan masa depan yang mampu keluar dari persoalan kepentingan kelompok semata. Apalagi sebagai orang NU, Gus Yaqut harus dapat mengejawantah ke-NU-annya, yang dikenal moderat dan toleran.

Dengan demikian tantangan Kemenag di bawah nakhoda Gus Yaqut adalah menghapus segala peraturan diskriminatif – termasuk SKB tiga Menteri yang melarang ajaran Ahmadiyah – yang menjadi biang kerok tumbuh suburnya intoleransi. Selain itu, Kemenag harus berkomitmen untuk menindak tegas – tanpa merendahkan harkat martabat kemanusiaan seseorang – mereka yang melakukan aksi intoleransi terhadap kaum minoritas. Jika hal ini mampu dilakukan, maka, apa yang disampaikan Gus Yaqut itu bukan lip service, melainkan benar-benar komitmen yang itu mampu ditunaikan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya