Kekerasan Terhadap Perempuan di dunia Nyata dan Maya

Mahasiswa
Kekerasan Terhadap Perempuan di dunia Nyata dan Maya 04/01/2022 1198 view Lainnya orami.co.id

Perubahan status dalam ruang publik dan privat mulai terasa bagi perempuan ketika adanya perubahan industurialisasi dunia dan berbagai perubahan lainnya sekitar tahun 1900-an. Pemberian ruang itu selalu berkembang disertai dengan berbagai aksi yang dilakukan agar perempuan mendapat tempat yang setara dan memperoleh kehidupan yang layak.

Peringatan Hari Perempuan Internasional atau International Womens Day (IWD) pun hadir di Amerika dan dirayakan pada 28 Februari 1909 hingga tahun 1913. Hingga di tahun 1975, PBB menetapkan Tahun Perempuan Internasional dan beberapa organisasi perempuan di seluruh dunia juga merayakan Hari Perempuan Internasional setiap 8 Maret.

Perjalanan yang panjang ini tentu mempunyai alasan yang salah satunya adalah menghilangkan perlakuan yang kurang adil terhadap perempuan. Mereka perlu untuk dilindungi. Pertanyaannya, perlindungan seperti apa yang diberikan kepada mereka, toh berbagai kekerasan terus terjadi dan perempuan tetap menjadi korban. Sebenarnya ruang seperti apa yang telah mereka peroleh?

Di Indonesia, kasus kekerasan terhadap perempuan setiap tahun mengalami peningkatan. Menurut data CATAHU (Catatan Tahunan) dari Komnas Perempuan pada 2020 yang diluncurkan pada peringatan Hari Perempuan Sedunia, jumlah kasus kekerasan pada perempuan sebanyak 431.471 kasus yang ditangani selama tahun 2019 dan ini mengalami peningkatan 6 persen dari tahun sebelumnya dengan jumlah kasus 406.178.

Adapun rincian terjadinya kasus kekerasan yakni sebanyak 416.752 kasus kekerasan terhadap perempuan bersumber dari Badan Peradilan Agama dan 14.719 kasus yang bersumber dari Lembaga Layanan. Kasus-kasus kekerasan ini terjadi dalam tiga ranah. Pertama, ranah privat atau personal, yang mana pelaku kekerasan adalah orang-orang dekat korban. Kedua, ranah publik atau komunitas, di mana pelaku tidak ada hubungan darah (keluarga) dengan korban. Dan ketiga, ranah negara yang mana dilakukan oleh aparatur negara dalam kapasitas tugas.

Masih dari sumber data CATAHU (Lembaga Layanan), terdapat 14.719 kasus kekerasan yang dialami perempuan. Namun, ada dua jenis kekerasan yang sering dialami oleh perempuan yakni kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Adapun rinciannya, sebanyak 5.548 kasus kekerasan fisik dan 4.898 kasus kekerasan seksual. Sisanya kekerasan psikis, ekonomi, buruh migran dan trafficking.

Berdasarkan data ini, dua kasus ini seharusnya mendapat perhatian yang serius. Apalagi kekerasan seksual yang tentunya mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi pertumbuhan dan perkembangan perempuan. Namun, terkadang pemberian perhatian kepada mereka yang juga disertai dengan penempatan diri mereka sebagai objek yang salah.

Salah satu penyebabnya adalah cara berpakaian. Pakaian yang kurang sopan dapat menciptakan terjadinya kasus kekerasan seksual. Atau bahkan ada yang mencoba mempertegas argumen ini dengan mengibaratkan seorang raja yang menyuruh ajudan membentangkan tikar di sepanjang jalan agar kakinya tidak terantuk. Namun, raja tersebut tidak mau menggunakan sepatu untuk melindungi kakinya.

Melihat banyaknya kasus yang terjadi, bisa dikatakan keberadaan tubuh perempuan menjadi tidak aman di manapun ia berada. Perempuan seolah menjadi objek yang terus disorot baik di dunia nyata maupun maya. Perempuan menjadi korban yang dipersalahkan dengan alasan tidak memperhatikan cara berpakaian, berteman, berbicara, dan bagaimana menempatkan diri dalam kehidupan bermasyarakat.

Ini seakan menjadi cara pandang klasik yang terus dilakukan, sehingga perempuan diberi tugas untuk berwaspada terhadap dirinya sendiri. Namun, jika bercermin dari berbagai kasus yang terjadi, kekerasan seksual tidak hanya disebabkan oleh cara berpakaian. Perempuan yang berpakaian sopan pun bisa menjadi korban kasus kekerasan seksual.

Berdasarkan data dari survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA), seakan menepis pernyataan tentang kekerasan terhadap perempuan karena cara penggunaan pakaian. KRPA melakukan survei dengan melibatkan para korban kekerasan seksual berjumlah 32.341 responden.

Hasil survei menegaskan bahwa kekerasan seksual yang terjadi bukan karena faktor penggunaan pakaian yang terbuka. Sebanyak 17,47 % atau sebanyak 5.651 responden yang mengatakan bahwa pakaian yang mereka pakai pada saat terjadinya kasus ini adalah rok atau celana panjang. Sebanyak 15,82 % atau 5.117 responden yang mengatakan bahwa mereka menggunakan baju lengan panjang.

Bisa dikatakan bahwa cara berpakaian perempuan menjadi alasan terjadinya kekerasan seksual bukan pernyataan yang tepat. Apalagi harus menjadikan wanita sebagai objek yang disalahkan. Salah satu buktinya adalah peristiwa yang dialami oleh beberapa santri yang mengalami tindakan pelecehan dan bahkan ada yang sampai melahirkan.

Biasanya, kasus kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi melalui kontak fisik. Namun, saat ini kekerasan terhadap perempuan seakan telah mendapat tempat bermain yang baru walaupun tak seramai tempat lama. Ketika masifnya pengunaan internet istilah meeting in the cloud menjadi sangat sering digunakan.

Hal ini menggambarkan banyaknya orang yang melakukan berbagai aktivitas di awan. Berbagai data pun disimpan di sana. Apalagi sejak awal 2020 di mana diberlakukannya kegiatan belajar ataupun beraktivitas dari rumah. Setiap orang yang sedang bekerja atau belajar setidaknya beraktivitas melalui media ini. Pengguna media online pun meningkat. Namun, dibalik kemudahan ini ada peristiwa yang ternyata dapat memberikan kekerasan terhadap perempuan.

Berdasarkan data Komnas Perempuan, kasus kekerasan gender berbasis online mengalami peningkatan di mana pada tahun 2017 terdapat 97 kasus, 2018 terdapat 97 kasus, 2019 meningkat menjadi 281 kasus, dan mengalami peningkatan drastis pada 2020 dengan 659 kasus. Kekerasan ini bisa berupa pencurian data pribadi maupun penyebaran video dan foto tanpa persetujuan. Peristiwa ini dapat memberikan dampak yang buruk bagi perkembangan psikis dari korban. Apalagi dalam masa pandemi yang sebenarnya telah memberikan tekanan bagi kehidupan.

Kekerasan terhadap perempuan melalui media online juga sebaiknya mendapat perhatian yang serius. Walaupun ini tidak melibatkan kekerasan fisik namun sangat berdampak bagi kehidupan psikisnya. Kekerasan ini mempunyai tingkat penyebaran yang sangat cepat. Semua orang dapat dengan mudah mengakses, melihat, menghakimi (memberikan komentar), dan bahkan bisa menyebarkan kepada orang lain. Jika tidak ditangani dengan cepat, korban akan menerima berbagai reaksi dari pengguna media. Dari segi finansial, pelaku bahkan dapat memperoleh keuntungan dari korban dengan mengancam dan memberikan tekanan lainnya.

Perlindungan terhadap para korban sangat penting. Korban butuh payung hukum yang tegas. Peran aparat penegak hukum sangat dibutuhkan. Satu hal yang penting juga adalah kepeduliaan terhadap korban sehingga korban merasa diperhatikan.

Menyikapi terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan di media online, beberapa pihak mencoba untuk memberikan jalan keluar. Salah satunya adalah dari SAFENet (Southeast Asia Freeedom of Expression Network), salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam bidang perlindungan hak kebebasan berekspresi dan perlindungan data pribadi di Asia Tenggara.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar bisa menangani kasus seperti ini. Pertama, perlunya penyusunan kronologi kasus untuk keperluan pelapor. Kedua, ada barang bukti berupa tangkapan layar ataupun rekaman lainnya yang bisa mempertegas kasus tersebut. Ketiga, memutuskan komunikasi dengan pelaku jika telah ada banyak bukti dan juga korban perlu melakukan pendampingan psikologis. Keempat, kesiapan korban dalam hal interogasi dan pemberian informasi. Kelima, melakukan pelaporan kepada platform digital terkait dan juga memberikan data-data yang telah dikumpulkan kepada aparat penegakan hukum.

Pertanyaannya, apakah sampai sejauh ini cara-cara tersebut di atas efektif dalam memberikan perlindungan kepada korban (perempuan)? Rasa-rasanya perlu untuk memberikan perhatian serius terhadap maraknya tindakan kekerasan seksual ditambahkan lagi dengan adanya pembatalan pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) pada Desember 2021 kemarin.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya