Catatan Redaksi: Sustainable Fashion, Berfikir Sebelum Membeli

Admin The Columnist
Catatan Redaksi: Sustainable Fashion, Berfikir Sebelum Membeli 01/11/2020 1674 view Catatan Redaksi Asmarawati Handoyo

Setiap pekan The Columnist menyajikan tulisan dari meja redaksi dengan mengangkat isu publik yang tengah berkembang dan patut diperbincangkan.

Kali ini catatan redaksi ditulis oleh Asmarawati Handoyo, pengamat Ekonomi Politik Pembangunan dan Isu Lingkungan, membahas mengenai Sustainable Fashion sebagai upaya perlindungan lingkungan. Disampaikan secara ringan, namun membawa pesan penting khususnya bagi para milenial.

Selamat membaca !

Sore itu gawai saya menerima kiriman foto dari ibu saya yang berada di lain kota. Melihatnya membuat saya terkejut sekaligus gembira. Di foto itu ada putri saya, yang saat ini tengah tinggal bersama beliau, mengenakan pakaian saya semasa sekolah dasar. Pakaian yang sama dengan yang saya kenakan 25 tahun lalu ketika saya seusia dengannya. Pakaian tersebut masih nampak bagus, terawat. Bahkan di era pasca milenial seperti sekarang ini, baju tersebut sama sekali tidak memberi kesan ketinggalan jaman. 

Sejak masa kanak-kanak ibu memang role model saya untuk hidup cermat. Beliau yang melatih untuk menyimpan, menggunakan lagi atau menyedekahkan kantong plastik bekas kepada pedagang di pasar. Jika sampah plastik saja beliau rawat, tak heran kiranya ketika pulang kampung saya temukan semacam harta karun berupa kardus besar berisi pakaian dan mainan-mainan saya semasa kecil yang masih disimpannya dengan baik. Beliau menepati kata-katanya dahulu, sambil mengemas berkata: "Disimpan untuk dipakai anakmu nanti". 

Sore itu saya gembira, tertawa dengan haru. Kegembiraan saya disebabkan tiga hal, pertama melihat kembali pakaian itu membuat saya dapat mengingat banyak kenangan semasa kanak-kanak. Kedua, saya gembira karena dipastikan pengeluaran belanja pakaian keluarga dapat saya hemat. Ketiga, saya senang karena ibu telah mempraktikkan re-use pakaian sehingga dapat menekan kontribusi 'sampah fashion'. 

Pada dekade akhir-akhir ini sampah fashion telah menjadi momok baru bagi upaya perlindungan lingkungan. Industri fashion merupakan salah satu penyumbang besarnya volume sampah dunia. Sampah fashion meliputi produk pakaian yang ketika sudah tidak terpakai menjadi sampah yang tidak mudah terurai oleh alam. Tidak hanya materialnya yang menumpuk namun juga kandungan pewarna dan bahan kimia yang mencemari lingkungan. 

Sejak tahun 2000 hingga sekarang, data produksi busana dunia tercatat meningkat dua kali lipat. Rata-rata konsumen membeli pakaian 60 persen lebih banyak tiap tahun dibanding pada tahun-tahun awal Abad 21. Busana-busana itu sebagian besar tidak terlalu lama disimpan lama di lemari, beda dari perilaku konsumen pada dekade sebelumnya (Zerowaste.id, 2019). Robert Van de Kerkhof, Direkur perusahaan serat dari Austria, memprediksi bahwa di tahun 2030 nanti sampah fashion diperkirakan akan mencapai 140 juta ton atau naik sekitar 2,5 kali lipat jumlahnya dibanding saat ini (Tempo, 24 Oktober 2018). 

Ada banyak faktor mengapa sampah fashion menjadi begitu mengkhawatirkan akhir-akhir ini. Pertama, berkembangnya industri fast fashion. Fast fashion merupakan situasi dimana model fashion terus silih berganti dalam waktu yang sangat singkat, menggunakan bahan baku yang berkualitas buruk, harga murah namun tidak tahan lama. 

Produsen fast fashion dapat memproduksi hingga 42 model fashion dalam waktu 1 tahun, sehingga dapat berakibat pada kelebihan produksi. Terhadap produk yang tidak terserap pasar, produsen cenderung memilih untuk membuang atau membakar stok mereka. Hal ini pernah dilakukan oleh retailer H&M pada 2017 sekitar 19 ton atau setara 50.000 jeans dan stok Burberry pada 2018 senilai 38 juta dolar AS (Kompas, 17 Februari 2020). Cara ini dilakukan agar image sebagai brand yang terus up to date dalam perkembangan mode dapat terus dipertahankan produsen fashion. 

Kedua, besarnya sampah fashion merupakan bagian dari dampak budaya masyarakat. Busana, terlebih pada masyarakat modern, telah mengalami pergeseran nilai. Busana tidak hanya berfungsi sebagai penutup tubuh atau penutup aurat dan pelindung tubuh dari cuaca ekstrim semata, namun juga telah dijadikan sebagai alat pembentuk identitas dan prestise. Dalam masyarakat kita, gaya berpakaian dan merek barang telah dilekati strata sosial tertentu. Seseorang dianggap memiliki strata sosial diatas rata-rata jika mampu mengikuti perkembangan mode dari waktu ke waktu atau jika memiliki kemampuan membeli produk dengan merek tertentu. 

Penghargaan tidak diberikan begitu saja sebagai hak asasi manusia, namun diberikan berdasarkan simbol yang dikenakannya. Tak jarang penghargaan dan pelayanan istimewa diberikan kepada mereka pengguna simbol-simbol tertentu. Artinya, masyarakat kita difragmentasi berdasarkan simbol, salah satunya dari citra busana yang dikenakannya. Akibatnya, hidup stylist kemudian dinilai lebih penting daripada mempertimbangkan dampak-dampak buruk lingkungan dari aktivitas konsumtif yang dilakukan. 

Padahal seseorang yang sukses dalam karir dan memiliki kehidupan yang produktif akan memiliki kecenderungan untuk menyederhanakan setiap urusan. Visi hidupnya lebih besar daripada keinginan mendapatkan sanjungan manipulatif. Tak heran kiranya jika sering kita jumpai tokoh-tokoh yang sukses namun sederhana dalam penampilan semisal Mark Zuckerberg, Steve Jobs bahkan Bob Sadino. Waktu dan konsentrasinya tidak dihabiskan untuk urusan memadu padankan warna, mencocokkan style top to toe, berbelanja online maupun offline, apalagi untuk mengikuti trend fashion terkini yang pasti merepotkan dan menguras waktu. 

Untuk terus menekan membesarnya volume sampah fashion, berbagai inisiasi dibentuk. Salah satunya melalui kampanye 'Sustainable Fashion', yaitu kampanye untuk memproduksi pakaian dengan bahan yang ramah terhadap lingkungan, memanusiakan pekerja industri fashion, dan melakukan reuse, reduce dan recycle terhadap pakaian. 

Produsen diharapkan tidak memproduksi pakaian berbahan sintetis dan kimiawi, memberikan upah layak kepada buruh industri fashion, membeli produk berkualitas baik sehingga pakaian dapat digunakan dalam jangka waktu lama, jual beli prelove, atau merekonstruksi pakaian bekas menjadi bentuk baru misalnya celana jeans bekas menjadi produk tas. 

Sayangnya kampanye ini belum berpengaruh luas di masyarakat. Bahkan ada sinisme terhadap praktik sustainable fashion. Berbagai produsen dan penyelenggara fashion show tak jarang menggunakan kata Sustainable Fashion sebagai tema brand mereka, namun realitanya tidak benar-benar melaksanakan nilai-nilai di dalamnya. Kata 'sustainable' telah dikomodifikasi dan kehilangan makna sesungguhnya. 

Akhirnya kita berharap akan adanya regulasi serta insentif kepada para pelaku industri fashion yang menerapkan nilai-nilai sustainability. Sisanya, mari kita perbaiki cara pandang kita menilai individu. Bukan karena apa yang dia kenakan namun pada kontribusinya bagi kehidupan sesama. 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya