Kebodohan Ialah Kekuatan
“Kebodohan adalah kekuatan”, satu kalimat yang langsung saya ingat ketika mendapati huru hara efisiensi anggaran pendidikan yang dilakukan pemerintah. Pengurangan anggaran dalam bidang pendidikan adalah salah satu sepakatnya pemerintah kepada slogan di atas.
Dalam novel George Orwell 1984 terdapat tiga slogan pemerintahan yang menjadi pedoman yaitu perang ialah damai, kebebasan ialah perbudakan, kebodohan ialah kekuatan. Ketiga slogan itu menjadikan Bung Besar sebagai puncak kekuasaan melenggang dan abadi. Kekuasaan Bung Besar mencakup segala lini sendi masyarakat. Sebab Bung Besar berhasil menjalankan tiga slogan pedoman dalam menjalankan pemerintahannya.
Bisa jadi pemerintahan kita saat ini sedang menuju konsep yang telah dijalankan oleh Bung Besar itu. Langkah pertama yang dilakukan pemerintah sekarang dengan cara mengurangi aliran anggaran dalam bidang pendidikan adalah langkah yang sangat tepat. Karena berkurangnya aliran anggaran di pendidikan pasti akan merusak sendi-sendi intelektual di dalamnya. Bahkan sebelum adanya gagasan efisiensi anggaran ini, pendidikan kita juga belum bagus-bagus amat. Ditambah pengurangan anggaran pendidikan. Apalagi yang bisa diharap kalau tidak kebodohan bertambah.
Atau mungkin saja, pendidikan yang sampai saat ini masih belum maksimal adalah upaya pemerintah untuk terus menghimpun kekuatan? Ah, betapa bodohnya saya. Ternyata kebijakan pengurangan anggaran pada bidang pendidikan kali ini hanyalah sentilan kecil agar kebodohan tidak berkurang dan terus menjamur. Maka kekuatan akan semakin bertambah.
Kenapa pemerintah kita selalu ingin masyarakatnya bodoh? Pertanyaan semacam ini selalu berkeliaran dalam benak saya. Sampai akhirnya saya menemukan jawaban melalui Tan Malaka yang telah membahas persoalan ini dalam buku Masa Aksi-nya. Pemerintah atau penguasa akan selalu takut akan intelektualitas dan kepintaran masyarakatnya. Karena mereka kaum intelek akan selalu membawa pemikiran-pemikiran yang berlandaskan kebenaran. Apabila kebenaran ini dihimpun dan digerakkan sebagai aksi. Maka habislah sudah kekuasaan bersama kroni-karoninya.
Kita lihat saja berbagai macam revolusi di dunia ini berawal dari orang yang memiliki pemikiran intelek dan berlandaskan pada kebenaran. Sejarah pergerakan bangsa kita Indonesia berawal dari kumpulan pelajar yang sadar akan pembodohan dan penindasan kolonial. Mereka orang-orang terdidik yang mempu berpikir kritis memutuskan untuk tidak tunduk kepada penjajahan.
Jika diruntut permasalahan ini adalah adanya akses pendidikan yang menyadarkan mereka akan ketidakadilan. Bermula melalui kebijakan politik etis yang dicetuskan pemerintah Hindia-Belanda meliputi Pendidikan, Irigasi dan Imigrasi. Niat awalnya hanya untuk membuat masyarakat bisa baca tulis kemudian bisa dijadikan pekerja di kantor-kantor dengan gaji murah. Namun semuanya tidak berjalan dengan apa yang pemerintah Hindia-Belanda inginkan. Mereka kecolongan dan luput bahwa pemuda-pemuda pribumi yang mereka beri pendidikan, akan tumbuh sebagai intelektual penuh kesadaran akan ketidakadilan.
Begitu juga yang terjadi di India. Inggris yang saat itu menjadi penjajah India memberi pendidikan kepada masyarakat India. Namun seiring berjalannya waktu, semua itu meledak seakan bom waktu. Dan akhirnya, revolusi tidak dapat di hindari. Saya rasa Ingris dan Belanda sempat menyesal akan kecerobohan membuat masyarakat jajahannya berpendidikan. Harusnya biarkan saja mereka nyaman dan kenyang dengan kebodohan mereka. Agar terhindar dari revolusi dan gerakan masyarakat yang menyusahkan.
Maka apa yang di lakukan oleh pemerintah saat ini sudah amat benar. Untuk melanggengkan kekuasaannya, kebodohan masyarakat adalah modal utama. Cukup iming-imingi dengan makan gratis yang mengenyangkan perut dan kebodohan.
Satu hal lagi yang membuat saya yakin atas kebijakan efisiensi ini adalah upaya pembodohan masal dan penguatan kekuasaan adalah tidak dipotongnya sepeserpun anggaran kepada pihak militer dan kepolisian. Yang keduanya adalah sumber kekuatan pertahanan yang dimiliki kekuasaan untuk mengamankan kekuasaannya.
Dengan demikian sudah dua modal melanggengnya kekuasaan yang dimiliki pemerintah. Yaitu kebodohan yang semakin menguat dan militer yang tidak sedikit pun melemah. Mereka tidak akan repot-repot membungkam mahasiswa dalam aksi protes terhadap pemerintah. Atau semisal masih ada yang protes tinggal dipopor saja dengan senjata wong duitnya ada buat beli senjata. Kalau popor senjata masih terasa kurang mempan, seskali peluru yang begitu bejibun bisa digunakan untuk sekedar agar tidak mubadzir.
Hal itu juga yang dilakukan oleh Bung Besar untuk melanggengkan kekuasaannya. Karena mayoritas masyarakatnya kenyang dengan kebodohan maka tidak banyak orang yang perlu diawasi. Hanya segelintir orang saja yang kemungkinan memiliki pemikiran perlawanan yang menyusahkan. Kalau sudah ada tanda-tanda perlawanan tinggal culik dan lenyapkan orang itu. Masyarakat yang lain tidak akan peduli. Kerena mereka kenyang dengan kebodohan.
Artikel Lainnya
-
178003/09/2024
-
162821/03/2021
-
117131/05/2021
-
96223/08/2021
-
Crazy Rich, Flexing dan Dikotomi Sosial
223127/03/2022 -
Janus Face Program Pembangunan Eropa di Asia Tenggara
18606/07/2024
