Janus Face Program Pembangunan Eropa di Asia Tenggara

Pada bulan Mei lalu, Uni Eropa (UE) dan ASEAN menginisiasi ASEAN-EU Blue Book 2024-2025 sebagai rencana strategis kerja sama mereka di masa depan. Blue Book ini diresmikan oleh Sekretaris Jenderal ASEAN Dr. Kao Kim Hourn dan Duta Besar Uni Eropa Sujiro Seam untuk merayakan kerja sama dua kawasan yang telah terjalin selama hampir 50 tahun lamanya. Blue Book tahun ini dibungkus oleh kerangka “Global Gateway," mengindikasikan keterlibatan strategis keduanya di masa depan.
Global Gateway pertama kali diluncurkan pada tahun 2021 di Brussels. Projek ini bertujuan untuk meningkatkan interkonektivitas seluruh negara dan kawasan di dunia dengan kerja sama investasi yang didanai oleh TEAM Europa sebesar 300 miliar Euro. Investasi ini mencangkup pembangunan infrastruktur terutama yang berkaitan dengan digital, energi kesehatan, edukasi, penelitian, dan transportasi yang menggunakan “standar kualitas lingkungan dan sosial tertinggi”.
Uni Eropa telah menjanjikan dana sebesar €10 miliar pada tahun 2027 di Asia Tenggara untuk mendukung inisiatif konektivitas hijau dan digital. Fokus Uni Eropa ini bukan tanpa sebab. Uni Eropa telah menjadi investor terbesar ketiga di ASEAN dan mitra dagang kedua di samping Amerika Serikat dan Cina.
Selain itu, program Global Gateway dari Uni Eropa ini juga diharapkan dapat menjadi jalur alternatif kerja sama pembangunan di antara persaingan program yang disediakan oleh great-power, yaitu AS dengan Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) dan Tiongkok dengan Belt and Road Initiative (BRI).
Kelebihan Global Gateway
Dibandingkan program yang ditawarkan oleh AS dan Tiongkok, program Global Gateway dari Uni Eropa memiliki keunggulan komperatifnya sendiri yang dapat menjadi nilai plus dari program ini. Uni Eropa melalui Gobal Gateway tidak memiliki ambisi militer atau teritorial dibandingkan Tiongkok dan AS yang selalu diidentifikasikan dengan pembangunan pangkalan laut berkedok invetasi infrastruktur. Hal ini cocok bagi negara-negara di Asia Tenggara yang sudah terancam dengan kedua great-power ini.
Global Gateway juga menawarkan kerja sama yang lebih luas daripada BRI atau IPEF. Uni Eropa tidak hanya sekedar menawarkan dalam bentuk perdagangan dan investasi belaka, namun juga mempromosikan perlindungan lingkungan, energi, kesehatan, penelitian, dan pendidikan secara berkelanjutan. Negara-negara Asia Tenggara, yang sedang mengalami kesusahan dalam menuntaskan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), dapat mempertimbangkan Global Gateway ini sebagai platform yang menguntungkan.
Global Gateway juga dibungkus dengan jaminan transparansi dalam pembiayaan kerja sama dan mempromosikan good governance sampai tingkat lokal. Ada beberapa negara-negara Asia Tenggara yang sudah merasa waspada dengan ancaman debt trap atau transaksi rahasia di luar perjanjian dari program-program pembangunan asing sebelumnya, sehingga nilai-nilai yang ditawarkan Global Gateway ini bisa menarik perhatian mereka.
Global Gateway: Suatu Kesempatan atau Kuda Troya?
Meskipun pemerintah badan UE-ASEAN sangat optimis terhadap program ini, apakah masyarakat dari Asia Tenggara juga sama? Menurut survei ISEAS-Yusof Ishak Institute 2024, kepercayaan masyarakat Asia Tenggara terhadap Uni Eropa nyatanya berada pada titik terendah dalam empat tahun belakang. Hanya 41,5% masyarakat dari Asia Tenggara yang percaya dengan Uni Eropa dengan pengurangan sebesar 9,5% dari tahun sebelumnya. Hal ini mencerminkan adanya pergeseran besar dalam pandangan Asia Tenggara terhadap Uni Eropa.
Berdasarkan hasil dari laporan yang sama, penurunan kepercayaan ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal Uni Eropa. Jika dilihat segi internal, penyebabnya adalah perpecahan dalam tubuh Uni Eropa, yang semakin tampak tiap harinya. Dimulainya dari peristiwa Brexit pada tahun 2020 disusul oleh beberapa negara yang mulai ‘nakal’ terhadap kebijakan UE.
Salah satunya, adalah Hungaria yang mendapatkan sanksi dari UE dengan seluruh bantuan dana untuk negara ini diambil kembali oleh UE pada tahun 2024. Hal ini dikarenakan kegagalan UE untuk mengharmonisasikan nilai dan kebijakan yang dianutnya kepada Hungaria yang saat ini dipimpin oleh Viktor Orbán yang cenderung autokrat. Hungaria tidak mematuhi EU dalam mengadopsi undang-undang migrasi, kebebasan LGBT, dan menolak sanksi UE terhadap Russia.
Jika dilihat dari faktor eksternal, hal ini tidak terlepas dari respon Uni Eropa terhadap situasi internasional yang cenderung kontradiktif. Salah satunya, adalah respon Uni Eropa terhadap penderitaan rakyat Palestina yang timpang dengan rakyat Ukraina. Jika anggota Uni Eropa mati-matian untuk membela rakyat Ukraina dengan mengirimkan bantuan kemanusiaan dan menyambut hangat kedatangan para pengungsinya, responnya terhadap Palestina cenderung pasif. Padahal Uni Eropa memiliki prinsip untuk menghormati hak asasi manusia.
Hipokrasi dari kebijakan luar negeri Uni Eropa juga dilihat dari kerja sama negara Asia Tenggara dengan UE secara bilateral yang cenderung konfiktual. Salah satunya adalah kasus Uni Eropa membatasi impor minyak kelapa sawit dari kawasan ini pada tahun 2020 dengan alasan perkebunan kelapa sawit merusak ekosistem lingkungan yang memicu tuduhan diskriminasi perdagangan dari Indonesia dan Malaysia.
Namun, ada kenyataan yang berkebalikan pada kasus lainnya seperti nikel. Uni Eropa sendiri memprotes larangan ekspor nikel mentah Indonesia pada tahun 2022, karena nikel dianggap sangat penting untuk industri baterai mobil listriknya, sedangkan faktanya pertambangan nikel lebih berdampak parah terhadap lingkungan dibandikan industri sawit yang telah mendapatkan kredibilitas sustainable.
Kebijakan yang hipokrit ini merusak kredibilitas turun sebagai champion dalam nilai yang dijunjungnya sendiri. Hal ini membuat persepsi UE sebagai aktor neo-imperialisme yang ingin menguasai kembali negara-negara bekas jajahannya. Perbedaannya dengan kedatangannya di Asia tenggara pada abad ke-16 dahulu adalah cara yang digunakan. Jika Eropa dulu menggunakan cara-cara kekerasan, maka mereka sekarang menggunakan cara-cara soft seperti ekonomi dan propaganda nilai-nilai untuk mengeksploitasi bangsa lain.
Solusi?
Terlepas dari pandangan negatif ini, UE bisa mengevaluasi kebijakannya terutama sebagai pedoman untuk Global Gateway di Asia Tenggara yang memang ditujukan untuk tujuan mulia, yang adalah meningkatkan kesejahteraan jutaan masyarakat Asia Tenggara: pertama, Uni Eropa harus memulihkan nilai-nilai esensial yang selama diyakininya yang telah membentuk what it means to be an European Union, yaitu mempromosikan keadilan dan kebebasan untuk 'magnum opus’, yaitu perdamaian dan kemakmuran di seluruh dunia. Hal ini diawali dengan membenahi terlebih dahulu para anggotanya berdasarkan nilai ini hingga menghadirkan sebuah front persatuan untuk krisis global tanpa adanya diskriminasi kesenjangan perlakuan.
Kedua, Uni Eropa perlu menyelesaikan perselisihan perdagangan sebelumnya dengan negara-negara Asia Tenggara, jika ingin Global Gateway berjalanan lebih sukses. Meskipun hal ini terbilang rumit, namun langkah ini dapat dicapai dengan tahapan demi tahapan. Uni Eropa mengakui diversitas dari sistem politik, ideologi, dan ekonomi di Asia Tenggara. Oleh, karena itu, UE harus menjaga keseimbangan antara nilai-nilai normatif dan tujuan ekonomi.
Uni Eropa harus menyadari area-area di mana mereka dapat bekerja sama dan area mana yang tidak. Kerjasama ini harus mendorong rasa saling menghormati dan kolaborasi dengan negara-negara Asia Tenggara dapat menentukan jalur pembangunan mereka sendiri menggunakan prinsip transparansi dan good governance. Uni Eropa harus menurunkan egonya untuk memaksakan berbagai nilai yang berkemungkinan akan bertentangan dengan keadaan negara Asia Tenggara, baik secara ekonomi maupun secara normatif.
Ketiga, Uni Eropa perlu menegaskan kembali komitmen untuk bekerja sama dengan Asia Tenggara sesuai dengan Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama pada tahun 2012. Nilai-nilai dari "European Values" seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan keberlanjutan dapat hidup berdampingan dengan nilai-nilai ASEAN, yaitu kerja sama yang saling menghormati dan non-intervensi. Kedua kawasan harus menyadari perbedaan-perbedaan ini dengan rasa saling menghormati daripada memaksakan nilai yang satu sama lainnya.
Terakhir, sangat penting bagi UE dalam mempertahankan kelebihan Global Gateway-nya melalui pembangunan yang transparan, berkelanjutan dengan tata kelola yang baik. Uni Eropa dapat meningkatkan kemitraannya dengan bekerja sama dengan pemerintah lokal dan LSM sehingga manfaatnya dapat mencapai tingkat akar rumput. Dengan cara-cara ini, Uni Eropa diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat Asia Tenggara dan melanjutkan Global Gateway untuk kepentingan kedua kawasan di masa depan.
Artikel Lainnya
-
125724/06/2020
-
222011/02/2021
-
264001/07/2023
-
Siapa yang Menikmati Negara Hari Ini?
15024/08/2025 -
Seragam Sekolah: Antara Kebebasan Beragama dan Identitas Budaya
157515/03/2021 -
93011/12/2022