Kebebasan Berbicara dan Kebebasan Beragama

Dalam seminggu terakhir ini, publik digegerkan dengan kasus pembunuhan salah seorang guru di Perancis yang dilakukan oleh seorang pemuda muslim imigran asal Rusia. Pemuda muslim ini membunuh guru tersebut, karena sebelumnya menyinggung soal karikatur Nabi Muhammad saat ia mengajar di kelasnya.
Tak lama setelah kejadian itu presiden Prancis, Emmanuel Macron, menyatakan sikapnya terhadap kasus itu dan mengatakan bahwa dunia Islam saat ini sedang mengalami krisis dan penegasannya terhadap komitmen untuk mempertahankan prinsip kebebasan berbicara dengan tidak akan melarang pembuatan karikatur nabi dan bentuk kritik terhadap simbol agama yang lain di Perancis
Hal ini kemudian membuat banyak negara muslim marah, karena pernyataan Macron dianggap sebagai sebuah penghinaan terhadap umat muslim di seluruh dunia. Dan kemudian melahirkan gerakan boikot terhadap seluruh produk-produk yang berasal dari Perancis.
Kasus yang terjadi di Perancis ini sebenarnya harus kita lihat secara menyeluruh. Terutama berkaitan dengan aspek historis dan kultural dari negara Prancis itu sendiri.
Secara sejarah, Perancis memang punya pengalaman yang bisa dibilang kurang baik dengan institusi keagamaan serta hal-hal yang berkaitan dengannya.
Pada abad pertengahan dahulu, institusi agama memiliki kekuasaan yang besar dan berdampingan dengan kekuasaan politik yang dimiliki oleh kerajaan. Dalam beberapa kasus inkuisisi yang terjadi kemudian, institusi agama juga terlibat menjadi salah satu aktor dalam melakukan persekusi terhadap tokoh-tokoh pemikir maupun aktivis yang bersebrangan dengan pandangan mereka.
Maka ketika revolusi Perancis terjadi dan runtuhnya sistem kerajaan (monarki), salah satu prinsip yang diusung di Perancis adalah soal kebebasan (liberte), termasuk tentang kebebasan berpikir dan berekspresi yang diartikan sebagai hak untuk menyatakan pendapat dan pikiran tanpa harus terbatas oleh suatu hal apapun, termasuk dalam hal ini adalah agama.
Sejarah Prancis dan negara-negara Eropa lain terhadap agama, bisa dibilang tidak terlalu baik. Dan yang perlu kita ketahui bersama juga, posisi Perancis yang konfrontatif terhadap agama bukan hanya kepada agama Islam saja, tapi juga kepada semua agama, termasuk Kristen, Budhha, Yahudi, dan lainnya.
Itulah mengapa dalam sistem politik dan kehidupan sosial di Perancis, relasi negara dengan agama lebih bersifat konfrontatif daripada harmonis. Dan itulah mengapa dalam pernyataan presiden Macron kemarin, ia menyatakan tetap akan memperjuangkan kebebasan berpikir dan berpendapat yang sudah mengakar dalam sejarah Perancis.
Baginya, tindakan ini adalah bentuk upaya untuk mempertahankan kedaulatan Perancis dari kelompok-kelompok yang berpotensi mengganggu stabilitas negara, dalam kasus ini terhadap kelompok-kelompok muslim radikal yang memiliki prinsip dan ideologi yang tidak sesuai dengan yang dianut oleh negara Perancis.
Tapi di sisi lain, relasi negara dan agama di Perancis yang bersifat konfrontatif ini kemudian dalam beberapa kasus memang boleh disebut agak kebablasan. Karena ada pembatasan terhadap ekspresi keagamaan di rumah publik yang cukup keras, salah satunya adalah terkait penggunaan jilbab dan simbol-simbol agama lain di ruang publik.
Akibatnya, beberapa orang muslim di Perancis yang menjadi golongan minoritas di sana seperti merasa diperlakukan tidak baik, dan ketika Samuel Paty memperlihatkan karikatur Nabi Muhammad di kelasnya, ini menjadi pemicu pemuda muslim tersebut untuk meluapkan emosinya yang memang sudah lama terpendam. Dan terjadilah kasus yang sekarang ramai diperbincangkan di Perancis. Ia adalah bentuk perasaan yang meluap karena dipicu perasaan adanya tindakan represif tersebut.
Dengan demikian, ada dua pendapat yang saling bertentangan terkait konsep kebebasan di sini. Perancis dengan konsep kebebasan absolut yang menganggap bahwa semua hal boleh untuk dikritisi dan dikomentari, termasuk agama. Yang kedua, pendapat dari kelompok muslim yang menganggap bahwa simbol-simbol agama merupakan hal suci yang tidak dapat diganggu gugat.
Jika kita melihat dalam perspektif hak asasi manusia, kebebasan berbicara dan beragama pun sebenarnya memiliki batasan-batasan. Hak untuk meyakini segala ajaran dan menjalankan ibadah yang disebut sebagai forum internum, merupakan hal yang tidak bisa diganggu gugat secara mutlak. Sedangkan kebebasan untuk mengekpresikan dan menyebarluaskan bentuk simbol-simbol dan ajaran agama secara publik (forum eksternum) dapat dibatasi dengan syarat untuk menjaga ketertiban, keamanan, atau ketertiban umum yang diatur oleh hukum masing-masing negara yang bersangkutan.
Bila kita melihat hal ini, secara legal Perancis memiliki justifikasi untuk tidak menghukum orang-orang yang menghina simbol agama secara publik, karena mereka memang tidak mengatur suatu ketentuan atau undang-undang tentang penodaan agama sebagai tindakan kriminal yang bisa dipidanakan. Sesuai dengan prinsip laicite yang diterapkan di Perancis, yang memisahkan antara urusan negara dan urusan agama secara terpisah.
Namun konsep kebebasan ini juga sedikit bermasalah karena tidak mengakomodasi perasaan-perasaan kultural dari umat-umat beragama yang tentu menganggap bahwa simbol-simbol agama merupakan hal yang suci bagi mereka. Seringkali mereka yang menyerang dan menjustifikasi kritik terhadap simbol agama gagal dalam melihat hal ini. Dan menganggap bahwa resistensi terhadap kritik tersebut adalah bentuk radikalisme, fanatisme, dan gejala fundamentalisme dalam agama. Protes kelompok muslim yang mereka lakukan terkait kasus ini juga bisa dilihat sebagai bentuk kebebasan berbicara yang sama.
Akan tetapi, terlepas dengan pengalaman sejarah Perancis dan ketika membaca pernyataan dari presiden Macron beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya Macron pun tidak memukul rata bahwa semua problematika yang terjadi di Perancis sekarang adalah salah dari semua muslim atau agama Islam secara spesifik, melainkan hanya beberapa orang saja yang kebetulan memiliki kecenderungan untuk melakukan kekerasan dari sekelompok muslim tertentu. Itulah mengapa dalam kutipan pidatonya, ia berencana akan membentuk suatu perkumpulan dan "Mazhab" Islam yang kompatibel dengan prinsip negara Perancis, untuk menghindari hal-hal seperti terjadi di kemudian hari
Meskipun perbuatan pembuatan karikatur nabi salah dalam pandangan agama, tapi rasanya jika respon yang ditunjukkan oleh kelompok muslim terhadap kasus ini juga terlalu reaktif, itu sebenarnya sama saja dengan membenarkan apa yang dikatakan oleh Macron ketika ia menyatakan bahwa kondisi dunia Islam sedang mengalami krisis.
Kedua belah pihak sebenarnya masing-masing memiliki catatan yang harus diperhatikan. Mengolok-olok simbol agama apapun tentu saja salah dalam pandangan agama, tapi membunuh orang itu juga tentu perbuatan kriminal yang salah dan harus ditindak.
Kedua belah pihak perlu menyelesaikan persoalan dengan kepala yang dingin. Kalau sama sama menggunakan pendekatan konfrontatif, akar masalah ini tidak akan berujung selesai dan akan melahirkan konflik-konflik baru ke depannya. Apalagi bila kita melihat ini menjadi problem yang sempit, hanya sekedar konflik antar agama saja.
Merupakan sebuah tantangan besar ke depan, bagaimana kita dapat merumuskan formulasi yang tepat terkait relasi hubungan negara dan agama yang tepat di tengah berkembangnya globalisasi dan konsep global citizen. Supaya permasalahan seperti tidak muncul kembali di permukaan.
Artikel Lainnya
-
368531/12/2020
-
109823/07/2025
-
8910/10/2025
-
Leptospirosis: Kisah Klasik di Musim Penghujan
53123/11/2022 -
Menghadapi Inflasi dengan Kebijaksanaan Stoikisme: Menemukan Tenang di Tengah Kegelisahan Ekonomi
12910/03/2025 -
Transformasi Menuju Kekuatan Diri
72107/02/2023