Menghadapi Inflasi dengan Kebijaksanaan Stoikisme: Menemukan Tenang di Tengah Kegelisahan Ekonomi

Setiap orang pasti pernah merasakan dampak inflasi, meskipun kadang tidak kita sadari. Harga bahan pokok yang melambung tinggi, biaya pendidikan yang terus naik, atau ongkos transportasi yang tiba-tiba membengkak, semuanya memberikan tekanan tersendiri dalam kehidupan sehari-hari. Inflasi bukan hanya soal angka-angka ekonomi, tetapi juga masalah psikologis yang dapat memengaruhi ketenangan batin kita. Dalam situasi seperti ini, pendekatan yang tidak biasa bisa menjadi solusi: Stoikisme, sebuah filosofi kuno yang mengajarkan cara menemukan kedamaian di tengah kekacauan.
Inflasi merupakan istilah yang sering muncul di berita atau diskusi ekonomi. Singkatnya, inflasi berarti naiknya harga barang dan jasa secara umum. Namun, dampaknya tidak sesederhana itu. Ketika inflasi melonjak, daya beli menurun, dan banyak keluarga merasa sulit untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Ketidakpastian ekonomi ini sering kali menyebabkan kecemasan, frustrasi, bahkan stres yang berkepanjangan.
Selama ini, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi inflasi biasanya berpusat pada kebijakan moneter atau fiskal. Pemerintah menaikkan suku bunga, membatasi jumlah uang yang beredar, atau menerapkan berbagai kebijakan penghematan lainnya. Namun, kebijakan-kebijakan ini membutuhkan waktu untuk memberikan efek nyata dan sering kali tidak langsung menyentuh sisi psikologis masyarakat yang terdampak.
Di sinilah Stoikisme dapat memainkan peran penting. Filosofi ini mengajarkan cara menghadapi tantangan hidup dengan kepala dingin dan hati yang lapang. Dalam konteks inflasi, prinsip-prinsip Stoik dapat membantu kita tetap tenang, fokus, dan produktif meskipun situasi ekonomi terlihat suram.
Stoikisme didasarkan pada gagasan dikotomi kendali, ada hal-hal dalam hidup yang dapat kita kendalikan, dan ada yang tidak. Epictetus, salah satu filsuf Stoik terkemuka, mengatakan, “Kita tidak dapat mengontrol apa yang terjadi di luar diri kita, tetapi kita dapat mengontrol bagaimana kita meresponsnya.” Dalam situasi inflasi, kita tidak bisa mengubah kebijakan ekonomi atau menahan kenaikan harga, tetapi kita bisa mengendalikan bagaimana kita menyikapi hal itu.
Misalnya, alih-alih menghabiskan energi mengeluh tentang kenaikan harga, kita bisa mulai menyusun strategi untuk mengelola pengeluaran dengan lebih bijaksana. Membuat anggaran yang realistis, memprioritaskan kebutuhan dibanding keinginan, atau mencari sumber pendapatan tambahan adalah langkah konkret yang berada dalam kendali kita.
Belajar dari Skenario Terburuk
Teknik visualisasi negatif salah satu ajaran Stoik yang relevan dalam menghadapi inflasi. Praktik ini mengajak kita untuk membayangkan skenario terburuk yang mungkin terjadi. Meskipun terdengar pesimis, tujuan teknik ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan mempersiapkan mental kita agar tidak kaget jika hal buruk benar-benar terjadi. Bayangkan jika harga bahan pokok naik dua kali lipat atau jika pendapatan Anda menurun secara signifikan. Dengan membayangkan kemungkinan ini, Anda bisa mulai merencanakan langkah antisipasi. Misalnya, Anda mungkin memutuskan untuk menabung lebih banyak, belajar memasak sendiri untuk mengurangi biaya makan di luar, atau bahkan mencari alternatif pekerjaan sampingan. Ketika Anda telah siap menghadapi skenario terburuk, ketakutan terhadap ketidakpastian pun berkurang. Seneca, seorang filsuf Stoik, menekankan pentingnya hidup sederhana. Ia percaya bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari kemewahan, tetapi dari kepuasan atas hal-hal yang kita miliki. Dalam situasi inflasi, hidup sederhana bukan hanya pilihan, tetapi juga kebutuhan.
Mengurangi pengeluaran yang tidak perlu adalah langkah awal yang bijak. Misalnya, Anda bisa mengevaluasi gaya hidup Anda, apakah benar-benar perlu mengganti ponsel setiap tahun? Atau apakah langganan layanan streaming Anda benar-benar digunakan? Dengan memprioritaskan kebutuhan di atas keinginan, Anda tidak hanya menghemat uang tetapi juga membangun kebiasaan hidup yang lebih bermakna.
Dalam buku Meditations, Marcus Aurelius menulis tentang pentingnya refleksi harian. Dengan meluangkan waktu untuk merenungkan apa yang telah kita lakukan dan apa yang bisa kita perbaiki, kita dapat meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Dalam konteks inflasi, refleksi dapat membantu kita mengevaluasi keputusan keuangan kita, menemukan kesalahan, dan merencanakan langkah-langkah yang lebih baik.
Selain refleksi, Stoikisme juga mengajarkan pentingnya rasa syukur. Ketika situasi ekonomi menjadi sulit, mudah bagi kita untuk fokus pada apa yang hilang atau apa yang tidak kita miliki. Namun, dengan bersyukur atas hal-hal kecil yang masih kita miliki — keluarga, kesehatan, atau bahkan secangkir kopi di pagi hari dan sebatang rokok dengan menyatu dengan alam — kita dapat menjaga keseimbangan emosi dan mengurangi rasa frustrasi.
Membangun Ketahanan Mental di Tengah Ketidakpastian
Inflasi juga bisa dikatakan sebagai ujian, tetapi juga peluang untuk belajar dan berkembang. Filosofi Stoik mengajarkan bahwa tantangan adalah bagian alami dari kehidupan, dan cara kita merespons tantangan itulah yang menentukan kualitas hidup kita. Dengan mengadopsi prinsip Stoik, kita bisa menjadi lebih tangguh secara mental.
Ketika kita fokus pada hal-hal yang berada dalam kendali kita, menerima ketidakpastian dengan lapang dada, dan hidup dengan sederhana, tekanan akibat inflasi dapat dikelola dengan lebih baik. Filosofi ini juga membantu kita memandang tantangan ekonomi bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai kesempatan untuk belajar dan beradaptasi menelusuri langkah-langkah mengontrol diri.
Inflasi mungkin tak terhindarkan, tetapi dampaknya pada diri kita bisa diminimalkan. Dengan menerapkan prinsip-prinsip Stoik, kita dapat mengubah cara pandang kita terhadap inflasi. Filosofi ini memberikan alat untuk tetap tenang, berpikir rasional, dan bertindak efektif meskipun berada di tengah situasi yang penuh tekanan, kekhawatiran dan ketakutan dalam kehidupan. Dengan bersikap tenang menghadapi situasi serta mengimplementasikan konsep kebahagian Al-Ghazali bahwa kebahagian di dunia ini tidak ada yang ada adalah kebahagian absolut di akhirat, maka jika kita bersusah-payah di dunia itu sudah maklum karena hal tersebut proses menuju kebahagian yang sejati.
Sebagaimana juga kata Marcus Aurelius, “Hidup ini seperti sungai yang mengalir. Kita tidak bisa menghentikan arusnya, tetapi kita bisa belajar untuk berenang di dalamnya.” Inflasi mungkin datang dan pergi, tetapi dengan kebijaksanaan Stoik, kita bisa menemukan kekuatan untuk bertahan dan bahkan tumbuh dalam situasi sulit. Ini adalah kesempatan kita untuk belajar hidup dengan lebih bijak, lebih kuat, dan lebih berarti. Inilah waktunya mengubah perspektif dan menemukan kekuatan dalam diri sendiri untuk menghadapi badai ekonomi. Seperti yang diajarkan oleh Marcus Aurelius, “Anda memiliki kekuatan atas pikiran Anda — bukan peristiwa luar. Sadarilah ini, dan Anda akan menemukan kekuatan.”
Artikel Lainnya
-
72223/05/2024
-
163416/03/2021
-
33601/07/2023
-
Keadilan Kerja dan Upah bagi Buruh Indonesia
17124/05/2025 -
Jalan Panjang Memerdekakan Generasi Klik
59215/04/2022 -
Tes CPNS : Ketika Kejujuran Diuji
199401/11/2021