Kebebasan Akademik dan Dosa Dosen yang Tak Menelusuri Kebenaran

Dosen, Penulis dan Peneliti Universitas Dharma Andalas
Kebebasan Akademik dan Dosa Dosen yang Tak Menelusuri Kebenaran 11/05/2025 724 view Pendidikan Kompas id

Kebebasan akademik adalah nyawa dunia pendidikan tinggi. Tanpa itu, kampus hanya akan menjadi pabrik gelar tanpa nurani. Di balik jargon kebebasan ini, ada ironi yang mengemuka: dosen, yang seharusnya menjadi penjaga utama kebebasan berpikir dan kebenaran ilmiah, justru kerap menjadi pelaku pelanggaran terhadap prinsip-prinsip akademik itu sendiri. Terutama ketika mereka menerima laporan mahasiswa secara mentah-mentah, tanpa verifikasi, klarifikasi, atau penelusuran yang seksama.

Belakangan ini, dunia kampus di Indonesia tidak jarang diwarnai oleh situasi di mana laporan mahasiswa kepada dosen atau pihak fakultas langsung dianggap sebagai “kebenaran tunggal” tanpa prosedur pembuktian. Tuduhan plagiarisme, intoleransi, atau sikap dosen yang dinilai ofensif dalam mengajar, disikapi oleh sesama dosen dengan reaktif, seakan-akan mahasiswa adalah hakim mutlak dan kolega sesama dosen adalah terdakwa yang harus segera divonis. Fenomena ini tidak hanya menodai nilai-nilai akademik, tetapi juga melecehkan asas hukum paling mendasar: keadilan prosedural.

Dalam asas hukum dan etika, kita mengenal prinsip audi et alteram partem—dengarlah pihak lain. Dalam setiap dugaan pelanggaran, wajib ada proses klarifikasi dari pihak terlapor. Di pengadilan, asas ini merupakan bagian dari due process of law. Di ruang akademik, prinsip ini semestinya menjadi fondasi: setiap laporan bukanlah kebenaran, melainkan pintu masuk untuk mencari kebenaran.

Sayangnya, sebagian dosen kita justru memosisikan dirinya sebagai “hakim moral” yang mengambil tindakan berdasarkan persepsi dan tekanan sosial. Seorang dosen dilabeli intoleran, lalu kolega-koleganya buru-buru mengambil jarak tanpa upaya verifikasi. Ada pula yang menanggapi laporan mahasiswa di grup media sosial, lalu dengan ringan tangan menyebarkannya ke pihak luar. Ini bukan hanya kesalahan etik, tapi juga cacat akademik.

Perilaku seperti ini menunjukkan bahwa sebagian akademisi kita mulai kehilangan kepercayaan pada metode ilmiah. Mereka tak lagi bekerja dengan semangat tabayyun, melainkan terbawa arus opini. Padahal, tugas utama dosen adalah mencerdaskan, bukan menghakimi.

Dosen Sebagai Penjaga Akal Sehat

Seorang dosen tidak hanya bertugas mengajar. Ia memikul tanggung jawab moral dan intelektual untuk menjaga semangat objektivitas, verifikasi, dan keadilan. Dalam kasus laporan mahasiswa, dosen harus menjalankan fungsi sebagai mediator yang bijak, bukan perpanjangan tangan opini publik kampus.

Jika mahasiswa merasa tidak nyaman dengan cara pengajaran seorang dosen, maka itu adalah sinyal untuk berdiskusi, bukan untuk langsung mencabut hak-hak akademik dosen tersebut. Sayangnya, banyak institusi perguruan tinggi yang tidak memiliki mekanisme penanganan aduan yang berbasis pembuktian, sehingga konflik personal atau ketidakcocokan belajar bisa menjelma menjadi laporan formal yang menyesatkan.

Lebih parah lagi, ada kasus di mana dosen menyebarluaskan laporan mahasiswa kepada pihak luar tanpa izin, dengan dalih menjaga moralitas kampus. Ini bertentangan langsung dengan prinsip confidentiality dan merusak reputasi akademik kolega secara sepihak. Alih-alih menyelesaikan masalah, tindakan ini justru menciptakan iklim saling curiga yang menghambat tumbuhnya ruang dialog yang sehat di dalam kampus.

Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen secara eksplisit menyebutkan bahwa dosen wajib menjunjung tinggi kebebasan akademik dan etika ilmiah. Pasal 8 ayat (1) menyatakan bahwa dosen memiliki kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Kebebasan ini bukan berarti tanpa batas, tetapi menuntut integritas, objektivitas, dan tanggung jawab moral dalam setiap tindakan.

Kode etik dosen yang dikeluarkan oleh banyak asosiasi profesi pendidikan tinggi juga mewajibkan dosen untuk tidak bersikap diskriminatif dan tidak menyebarkan informasi yang belum terverifikasi. Sayangnya, etika ini jarang menjadi pedoman ketika konflik terjadi. Banyak kampus lebih memilih “jalan aman” dengan mendiamkan pelanggaran terhadap kolega demi menjaga citra institusi.

Kita lupa bahwa keberanian untuk menegakkan keadilan di ruang akademik justru adalah bentuk tertinggi dari integritas institusi. Kampus yang sehat bukan kampus yang steril dari konflik, melainkan kampus yang mampu mengelola konflik secara adil dan beradab.

Mahasiswa Bukan Musuh, Tapi Juga Bukan Tuhan

Tentu saja, tulisan ini tidak bermaksud meremehkan keluhan mahasiswa. Kritik dari mahasiswa harus dihargai sebagai bagian dari dinamika akademik. Tetapi laporan mahasiswa bukanlah naskah final yang langsung bisa dijadikan dasar keputusan. Ia adalah bagian dari proses yang harus diuji, dikonfirmasi, dan ditanggapi dengan metode ilmiah.

Menanggapi laporan mahasiswa dengan gegabah justru bisa menciptakan budaya anti-kritik. Dosen yang merasa tidak dilindungi akan menjadi defensif, takut mengkritik balik, dan cenderung memilih diam. Akhirnya, kampus tidak lagi menjadi ruang belajar yang terbuka, melainkan ladang sensor dan ketakutan.

Yang kita perlukan adalah mekanisme yang sehat dan transparan: laporan diverifikasi oleh tim etik yang netral, kedua belah pihak diberikan ruang yang adil, dan sanksi atau tindak lanjut hanya dilakukan berdasarkan pembuktian. Itulah wajah kampus yang beradab dan menjunjung tinggi nilai ilmiah.

Budaya “asal percaya” terhadap laporan mahasiswa sejatinya bertentangan dengan semangat pendidikan. Dosen yang cerdas seharusnya skeptis dalam arti positif: menimbang bukti, mencari kebenaran, dan memastikan bahwa keputusan yang diambil didasarkan pada proses, bukan asumsi.

Jika kita ingin menjaga martabat akademik, maka kita harus berhenti memperlakukan laporan mahasiswa sebagai sabda mutlak. Sebaliknya, kita harus memulai setiap laporan dengan pertanyaan: apa yang sebenarnya terjadi? Apa bukti yang ada? Apakah ada motif tersembunyi? Apakah ini bagian dari dinamika belajar, atau konflik yang bisa diselesaikan secara dialogis?

Dengan cara itu, kita sedang menjaga kebebasan akademik tetap bermartabat. Bukan sebagai tameng untuk menekan atau disalahgunakan, tetapi sebagai ruang tumbuh yang berani, adil, dan rasional.

Kampus adalah rumah berpikir. Ia bukan ruang sidang, bukan juga arena gosip. Dosen bukan algojo, dan mahasiswa bukan korban absolut. Keduanya adalah subjek akademik yang harus diperlakukan secara adil dan ilmiah. Jika ada laporan, tanggapi dengan kepala dingin, bukan dengan prasangka. Jika ada konflik, selesaikan dengan dialog, bukan dengan pengucilan.

Kebebasan akademik akan mati bukan oleh represi dari luar, tetapi oleh ketidakadilan dari dalam. Dan salah satu bentuk ketidakadilan paling berbahaya adalah ketika dosen berhenti berpikir dan mulai menghakimi.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya