Kok Kita Mempersalahkan Agama

Mahasiswa
Kok Kita Mempersalahkan Agama 11/11/2019 2261 view Opini Mingguan pxhere, 2017

Ketika Semester delapan di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, saya mengikuti salah satu mata kuliah yang membahas tema seputar fenomena agama, yaitu mata kuliah Sosiologi Agama. Alasan diberikannya kuliah ini, karena agama adalah kekuatan besar yang cukup berpengaruh dalam kehidupan bermayarakat. Alasan yang sama juga mengapa para sosiolog tertarik untuk melakukan penelitian tentang agama. seperti, Karl Marx, Max Weber, Feuerbach, Emile Durkheim, Glifford Geertz, dan lain-lain.

Secara substantif agama merupakan sumber ajaran moral bagi penganutnya, termasuk Ateis. Meskipun para ateis sendiri memproklamirkan diri bahwa mereka tidak percaya agama - ajaran moral yang mereka dapat bukan merupakan manifestasi dari ajaran moral agama. Karena bagaimana pun juga tidak bisa disangkal bahwa seorang ateis sebelum ia menobatkan diri sebagai ateis ia telah lahir dalam sebuah komunitas agama, seperti Nietzsche seorang ateis yang merupakan anak dari seorang agamawan taat.

Jadi, kalaupun argumen anti agama terus diwartakan olehnya, sejatinya kebaikan atau ajaran moral yang selalu ia praktikan dalam hidup sehari-hari pasca menjadi ateis merupakan sisa dari ajaran moral agama. Hal ini dalam arti bahwa tidak ada ateis yang secara otentik ateis, ia tetap mengadopsi ajaran moral dalam agama terdahulu yang pernah dianutinya meskipun hal tersebut tidak disadari olehnya.

Sebagai sumber ajaran moral, agama tentunya menjadi kekuatan besar yang dibutuhkan oleh masyarakat atau negara dalam membentuk karaktek individunya. Oleh karena itu, ada korelasi – hubungan timbal balik antara agama dan negara. Agama tidak akan hidup tanpa adanya negara yang mengatur tata laku agama, begitupun sebaliknya negara tidak akan bisa menampilkan diri sebagai komunitas bermoral tanpa adanya agama.

Namun, akhir-akhir ini banyak fenomena sosial hadir dan seakan menegasikan defenisi agama sebagai refrensi ajaran moral negara, seperti radikalisme, terorisme dan intoleran yang notabene mengancam keutuhan NKRI. Lantas banyak yang bertanya apakah agama mampu berkontribusi positif terhadap negara, atau sebaliknya agama malah hadir bukan sebagai kekuatan, tapi menjadi sumber ketakutan dan kekacauan sebuah negara.

Masalah seputar agama merupakan tema yang cukup rumit, oleh karena itu untuk menjawabi pertanyaan di atas harus menggunakan perspektif yang sederhana supaya masalah cepat selesai. Pertama, kalau Glifford Geertz mendefenisikan agama sebagai sistem simbol yang berfungsi menentramkan suasana hati dan memberikan motivasi yang kuat dan tahan lama di dalam kehidupan manusia (Bernard Raho, 2003), maka dapat dimengertikan bahwa agama itu bersifat personal, berkaitan dengan suasana batin seseorang. Meskipun agama itu urusan privat, tapi ia mampu berkontribusi positif terhadap negara.

Bayangkan jika suasana batin warga dan pemimpin negara baik, maka jelas negara itu akan berjalan dengan baik pula. Karena itu, menjadi satu alasan mengapa negara Indonesia yang kaya dengan sumber daya alamnya tidak maju, karena kondisi batin warga negara dan para pemimpinnya kurang baik (para pemimpin selalu berpikir untuk kepentingan pribadinya), meskipun mereka mengaku beragama, namun praktek hidupnya tidak mencerminkan ia beragama. Seperti para radikalis dan teroris yang berjuba agama. Mereka mengkapitalisasi dan mempolitisasi agama untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

Kedua, identitas seorang warga negara sangat beragam, satu orang bisa memiliki dalam dirinya puluhan identitas, dari identitas sebagai warga negara, anggota sebuah agama, anggota sebuah komunitas tertentu, pekerjaan dan bahkan ada identitas yang dirahasiakan.

Oleh karena itu, sangat tidak rasional jika kita menjeneralisasi agama tertentu tidak baik karena prilaku anggotanya yang merisaukan kehidupan bernegara. Seolah-olah dalam diri manusia hanya ada satu identitas yaitu beragama.

Ketiga, logika sederhananya bahwa kalau secara substantif agama merupakan sumber ajaran moral, maka hal itu mempunyai pengertian bahwa agama akan mendatangkan kedamaian, karena itu, segala bentuk perilaku anggota agama yang tidak bermoral bukan merupakan manifestasi ajaran agama sebab dalam diri seseorang bukan hanya terdapat identitas tunggal.

Kesimpulannya bahwa sangat tidak rasional jika segala fenomena sosial yang bertentangan dengan prinsip negara kemudian dituduhkan kepada agama sebagai muaranya, sekalipun dalam prakteknya para pelaku yang membuat onar itu berbaju agama. Agama itu baik dalam dirinya.

Yang tidak baik itu perilaku pemeluknya yang salah menafsirkan agama seturut kepentingannya. Dalam hidup bernegara pun, agama menjadi kekuatan besar sebagai refrensi moral warga negaranya.

Salah satu upaya agar agama itu tidak diragukan sebagai sumber moral di zaman sekarang, maka pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dalam negara sebaiknya melakukan kerja sama dengan tokoh agama secara penuh untuk membentuk karakter warga negara ke arah yang baik.

Tetapi, jika keberadaan agama terus dicurigai sebagai sumber kekacauan, maka upaya dialog untuk memerangi intoleransi, terorisme, dan radikalisme tidak akan terjadi, maka hal ini akan berujung pada terciptanya jurang pemisah yang besar antar agama dan negara, dengan demikian permusuhan di antara umat beragama pun tidak berakhir.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya