Keadilan Hukum Segala(u)-gala(u)nya: Renungan Kasus Novel Baswedan

Indonesia disepakati para founding father sebagai negara hukum. Hukum menjadi panglima dan keadilan adalah segala-galanya. Konsep trias politika menempatkan yudikatif sebagai penjamin implementasi keadilan hukum bagi rakyat Indonesia tanpa pandang kasta. Konsekuensi logisnya yudikatif mesti berdiri independen dan tampil suci agar bisa adil dan bijaksana.
Faktanya, kepastian hukum kian hari kian tidak menentu. Keadilan yang segala-galanya menjadi segalau-galaunya. Kegalauan ini memuncak atas fenomena runtuhnya langit keadilan yang disangga aparat penegak hukum dan lembaga yudikatif. Salah satunya dapat dipotret dalam renungan penanganan kasus Novel Baswedan.
Catatan Kegalauan
Kasus Novel Baswedan menjadi bukti kesekian dan menambah daftar panjang sengkarut keadilan dalam penegakan hukum. Hal ini menjadikan publik kian skeptis dan galau terhadap masa depan keadilan hukum. Beberapa catatan dapat diberikan sebagai renungan atas kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan yang menimbulkan kegalauan publik tersebut.
Pertama adanya bau pemufakatan jahat dari mafia korupsi. Teori konspirasi yang mayoritas diragukan publik dalam aspek relasi antar agama mendapatkan bukti meyakinkan dalam kasus ini. Novel Baswedan merupakan penyidik KPK yang terlihat kencang dan garang dalam menangani kasus korupsi beberapa orang penting di negeri ini. Sulit diterima logika awam sekalipun jika kasus ini disebut sebagai tindak kriminal murni.
Kedua munculnya prasangka kuat akan keterlibatan orang-orang kuat. Kasus-kasus yang diungkap Novel kebanyakan ngeri-ngeri sedap. Bukan hanya fantastis nilainya, namun juga adanya potensi menyeret semakin banyak pihak yang tentu bukan orang biasa dan sembarangan. Diantara mereka dimungkinkan saling menyandera kasus. Maka jalan instan penyelamatan mereka adalah memutus hulu masalah yaitu aparat penegak hukum yang sulit diajak kompromi. Novel adalah salah satunya.
Ketiga, adanya penanda kronologi yang rapi serta pengungkapan yang lamban. Proses penyiraman air keras terbilang rapi dan itu hanya bisa dilakukan orang profesional dengan rencana matang. Potensi-potensi bukti sulit didapatkan pihak Novel. Presiden langsung memberi perhatian, namun kasus yang terlihat awam sebagai kasus kecil ini menjadi sangat lama pengungkapannya.
Kelima, pengungkapan pelaku masih menyisakan misteri dan jauh dari kepuasan publik. Dua pelaku yang diungkap dan ditangkap adalah anggota kepolisian. Motif yang disampaikan pelaku adalah ketidaksukaan semata. Pengungkapan pelaku juga terhenti kepada keduanya. Banyak pihak meyakini bahwa semua ini bagaikan drama bahkan dagelan. Ibarat catur yang ditangkap adalah pion yang hanya dianggap dikorbankan.
Keenam, proses peradilan yang meragukan. Belum lagi keyakinan publik pulih terkait pengungkapan di atas, kini ditambah dengan suguhan peradilan yang jauh dari memuaskan. Terakhir, baru saja polemik muncul lagi di publik terkait tuntutan sangat ringan jaksa terhadap pelaku. Jaksa hanya menuntut kedua pelaku pidana setahun dengan alasan pelaku sudah meminta maaf. Sungguh ini menyakiti nurani, keadilan, dan kemanusiaan.
Kegalauan atas kasus Novel ini menambah daftar kegalauan yang menyuramkan masa depan keadilan. Salah satunya dalam kasus korupsi. Korupsi tumbuh kian kompleks, sistemik, dan melewati batas-batas nalar kemanusiaan (hyper corruptus). Alih-alih kian kencang memberantasnya, justru yang terjadi sebaliknya. Kewenangan KPK dikurangi, akhirnya lembaga antirusuah ini banyak dinilai ompong sekarang ini. Kasus Novel menjadi bukti adanya potensi upaya menumpulkan penegakan antikorupsi melalui ancaman fisik kepada pihak yang masih professional menangani kasus korupsi.
Membangkitkan Optimisme
Kebobrokan Indonesia karena hantu korupsi dan suramnya keadilan hukum tidak boleh memadamkan api optimisme anak negeri. Optimisme dapat dibangkitkan pada diri setiap anak negeri dengan memberikan jaminan keadilan dan kepastian hukum. Jika aparat hukum sedang kendor dan tumpul, maka masyarakat sipil penting dikuatkan dan digerakkan. Gerakan masyarakat sipil dapat menjadi penyeimbang dan penekan terhadap aparat penegak hukum agar tidak main-main memproses kasus hukum. Pengungkapan dan peradilan kasus Novel ini sebenarnya menjadi ujian sekaligus medan pembuktian bagi aparat penegak hukum. Faktanya jauh panggang dari api.
Selanjutnya terkait nasib kelanjutan pemberantasan korupsi mestinya terus pantang mundur dan terpengaruh pada kasus Novel. Penegak yang masih konsisten tidak boleh takut dan surut meski ada ancaman serupa dengan Novel. Publik akan berada di belakang mereka dan siap menjaganya di garda terdepan jika keadilan sulit diharapkan.
Upaya pemberantasan korupsi tidak boleh berhenti sedetikpun. Banyak hal dapat diupayakan dalam menghadirkan upaya tersebut. Semua pihak, baik eksekutif, yudikatif, legislatif, hingga masyarakat memiliki peran sentral yang mesti dioptimalkan.
Pertama, meminimalisasi politisasi lembaga negara selain DPR dan DPD. Selama ini mantan politisi bebas memasuki keanggotaan lembaga negara. Efek politisasi ini dapat menyebabkan pudarnya independensi serta membuka banyak peluang hadirnya godaan korupsi. Lembaga yudikatif ke depan mesti steril dari unsur partai politik. Batasan ketat mesti diatur kaitannya dengan faktor waktu. Setiap mantan politisi baru boleh mengikuti seleksi anggota lembaga negara minimal 10 tahun keluar dari partai politik. Kewenangan dan metode seleksi melalui DPR juga mendesak dievaluasi.
Kedua, pencegahan mesti menjadi arus utama pemberantasan korupsi. Tugas KPK berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 terdiri dari koordinasi, supervisi, penyelidikan- penyidikan-penuntutan, pencegahan, serta monitoring. Realitanya kinerja KPK hingga kini masih dominan pada pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan saja. Sebesar apapun sumberdaya dan energi yang dimiliki KPK dipastikan tidak akan bisa mengimbangi laju tindak korupsi di negeri ini. Korupsi yang kian sistemik tidak akan hilang hanya dengan penangkapan-penangkapan.
Ketiga, membenahi dan menguatkan kepolisian dan kejaksaan. Kedua lembaga ini merupakan penegak hukum yang sudah tua, permanen, dan pakem dalam negara demokrasi. Tidak mungkin hanya ke pundak KPK semua beban pemberantasan korupsi diembankan. Kepolisian dan Kejaksaan memang memiliki pekerjaan rumah berat karena menjadi bagian dari masalah korupsi itu sendiri. Hal ini bukan berarti meninggalkan kewenangan dan potensinya yang besar dalam penegakan hukum.
Keempat, mengetatkan aspek pengawasan terhadap semua lembaga negara. Semua lembaga negara mesti tidak alergi terhadap pengawasan. Sekuat-kuatnya lembaga dan sehebat-hebatnya manusia di dalamnya perlu check and balance demi memberikan jaminan independensi. Jika pengawasan tidak optimal, maka dikhawatirkan problem kelembagaan akan menjadi bom waktu.
Bangsa ini tidak boleh larut dalam kesedihan, kegalauan, dan pesimisme. Seluruh komponen harus bergandengan tangan dan bahu membahu menyebarkan virus optimisme berbangsa. Semoga kebangkitan optimisme dapat menjadi energi besar dalam akselerasi memajukan bangsa dan menyejahterakan rakyat.
Artikel Lainnya
-
52221/10/2023
-
114722/07/2020
-
170117/06/2024
-
UU ITE dan Kebebasan Berekspresi: Melindungi Publik atau Membungkam Kritik?
41118/08/2024 -
Hari Ibu dan Pemenuhan Hak-Hak Perempuan
160522/12/2020 -
Djoko Damono dan Sastrawan Masa Depan
105421/07/2020