UU ITE dan Kebebasan Berekspresi: Melindungi Publik atau Membungkam Kritik?
Hari ini saya merenung kembali tentang pemberlakuan UU No.1 Tahun 2024, yang merupakan perubahan kedua atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). UU ini sudah sering kali menjadi topik diskusi hangat, terutama dalam lingkup kebebasan berekspresi. Dalam hati, saya bertanya-tanya, apakah pemerintah benar-benar berusaha melindungi masyarakat dengan UU ini, atau justru menjadikannya alat untuk membungkam kritik?
Dalam pandangan saya, salah satu isu terbesar dari UU ITE adalah keberadaan pasal-pasal karet yang terus dipertahankan, bahkan setelah revisi demi revisi. Pasal 27, ayat (1) hingga ayat (4) misalnya pasal-pasal ini sering kali digunakan untuk mengkriminalisasi warga sipil. Bagi saya, pasal-pasal ini seperti senjata yang bisa digunakan kapan saja untuk mengintimidasi siapa pun yang berani bersuara. Bagaimana mungkin sebuah undang-undang yang seharusnya melindungi kita dari kejahatan digital malah menjadi alat untuk mengkriminalisasi kritik?
Pasal 27 ayat (3) yang berbicara tentang penghinaan dan pencemaran nama baik adalah salah satu yang paling sering digunakan untuk menjerat warga sipil. Saya pernah membaca bagaimana pasal ini menjadi ancaman bagi mereka yang berani mengkritik kebijakan pemerintah atau figur publik. Rasanya tidak adil ketika seseorang yang hanya ingin menyuarakan pendapatnya harus berhadapan dengan ancaman pidana. Di sinilah saya merasa bahwa kebebasan berekspresi, yang seharusnya dilindungi oleh konstitusi, justru terancam oleh undang-undang ini.
Tidak hanya Pasal 27, Pasal 28 ayat (1) dan (2) juga menimbulkan kekhawatiran. Ayat pertama menyebutkan tentang penyebaran informasi bohong atau menyesatkan yang bisa merugikan konsumen. Sekilas, ini terlihat masuk akal. Namun, dalam konteks yang lebih luas, pasal ini bisa menjadi pedang bermata dua. Dalam era di mana informasi tersebar begitu cepat, sering kali sulit membedakan mana yang benar-benar menyesatkan dan mana yang sebenarnya hanya pandangan berbeda. Bagaimana jika sebuah laporan investigasi yang berusaha mengungkap kebenaran akhirnya dianggap menyesatkan karena tidak sesuai dengan narasi resmi?
Ayat kedua dari Pasal 28 bahkan lebih mengkhawatirkan. Disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan informasi yang bisa menimbulkan kebencian atau permusuhan terhadap kelompok tertentu bisa dipidana. Dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, isu ini sangat sensitif. Memang, kita perlu melawan ujaran kebencian, tetapi pasal ini bisa digunakan untuk membungkam perdebatan yang sahih tentang isu-isu penting, seperti ketidakadilan sosial atau pelanggaran HAM. "Kebebasan berekspresi adalah pilar utama dalam sebuah negara demokrasi," kata Habibie, dalam salah satu buku biografinya. Tapi, bagaimana jika kebebasan itu direnggut dengan dalih menjaga harmoni?
Tak cukup dengan pasal-pasal lama, pemerintah bahkan menambahkan ketentuan baru yang justru semakin mempersempit ruang gerak. Misalnya, Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik, serta Pasal 27B tentang ancaman pencemaran. Saya bertanya-tanya, apakah penambahan ini benar-benar diperlukan, atau hanya menjadi alat tambahan untuk memperkuat kontrol terhadap kritik yang ada di masyarakat?
Saya merenung, apakah kita sedang berada di titik di mana kritik dan kebebasan berekspresi dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas? Ketika saya memikirkan hal ini, saya teringat pada kata-kata George Orwell dalam bukunya 1984, “Freedom is the freedom to say that two plus two make four. If that is granted, all else follows.” Kebebasan untuk menyuarakan kebenaran, meski itu menyakitkan atau tidak nyaman bagi sebagian pihak, adalah esensi dari kebebasan itu sendiri. Namun, dengan pasal-pasal karet ini, kebebasan itu terasa semakin jauh dari jangkauan kita.
Bagi saya, UU ITE, khususnya setelah revisi terakhir ini, mencerminkan kegagalan pemerintah dalam menemukan solusi yang seimbang antara melindungi publik dan menjaga kebebasan berekspresi. Alih-alih memberikan perlindungan, UU ini justru menciptakan ketakutan di kalangan masyarakat, terutama bagi mereka yang ingin menyuarakan pendapat atau mengkritisi kebijakan yang ada. Seharusnya, kebijakan hukum dibuat untuk memperkuat demokrasi, bukan untuk melemahkannya.
Kita perlu bertanya, apakah kebijakan seperti ini masih relevan dalam masyarakat yang semakin terhubung dan terbuka? Saya khawatir, jika kebebasan berekspresi terus dikekang dengan dalih penegakan hukum, kita akan kehilangan esensi dari demokrasi itu sendiri. Satu hal yang mesti kita ingat, kebebasan berekspresi adalah fondasi dari kehidupan demokrasi. Jika fondasi ini digerogoti, maka bangunan demokrasi itu sendiri akan runtuh.
Dalam kesimpulan saya, UU ITE dalam bentuknya yang sekarang tidak hanya berpotensi membungkam kritik, tetapi juga mencerminkan kegagalan kita dalam merangkul perbedaan pendapat sebagai bagian dari demokrasi. Saya berharap, ke depan, kita bisa lebih bijak dalam menata hukum, agar kebebasan berekspresi bisa tetap hidup dan berkembang di Indonesia. Hukum harus menjadi pelindung, bukan pembungkam.
Artikel Lainnya
-
116504/10/2023
-
506621/03/2020
-
37409/02/2024
-
Komunitas Solok Literasi Mengudara
162111/11/2020 -
Sudah Jatuh Terdampak Corona, Tertimpa PP Tapera Pula
111507/06/2020 -
Sinodalitas: Pemulihan Kelumpuhan dalam Mewujudkan Perdamaian
68111/03/2023