Kami Tidak Berani Mudik karena Kami Sayang Keluarga

Sebagaimana tahun-tahun yang lalu, mudik adalah suatu kebiasaan yang dilakukan bagi para perantau. Mereka berharap dengan mudik, mereka bisa melepaskan kerinduan kepada sanak keluarga. Malah ada yang sengaja mengumpulkan pundi-pundi uang untuk membelikan buah tangan atau THR di kampung halaman. Namun, tahun ini pelarangan mudik seakan menjadi momok bagi para perantau.
Ingat Lebaran tahun kemarin, banyak polemik tentang kata balik kampung dan mudik? Ternyata, polemik dari dua kata itu tidak ada lagi. Ketegasan pemerintah akan pelarangan mudik membuat banyak pemudik berkecil hati. Seperti tayangan di Lensa Indonesia, RTV beberapa hari yang lalu, seorang pemudik disuruh putar balik oleh petugas keamanan. Sedih melihat wajah pemudik itu. Harapannya untuk bertemu keluarga kandas sudah.
Namun, semendesak itukah mudik bagi para perantau? Saya juga seorang perantau dan suami saya pun sama. Kami dan keluarga dipisahkan oleh jarak yang lumayan jauh, malah berbeda pulau. Hampir tujuh tahun kami tidak pulang mudik ke seberang pulau. Dua tahun lebih kami tidak mudik ke kampung yang berbeda daerah dengan jarak tempuh 10 jam. Bagi kami, mudik itu sesuatu yang sangat diharapkan karena adanya libur dan cuti bersama yang lumayan lama.
Bagi kami, mudik di saat atau menjelang Lebaran sebenarnya bukanlah pilihan. Namun, banyaknya hari libur dan cuti bersama yang akhirnya membuat kami memutuskan untuk mudik menjelang Lebaran.
Setelah mendengar pemberitahuan adanya larangan mudik dari pemerintah, terus terang ada rasa sedih di hati. Kami yang telah mempersiapkan segalanya, termasuk uang menjadi tidak berdaya. Yang akhirnya membuat kami harus menghela napas untuk mengikuti anjuran itu.
Setelah berkomunikasi dengan keluarga, kami pun memutuskan untuk menunda mudik sampai waktu yang tidak ditentukan. Ya, karena kampung halaman kami termasuk ke dalam zona merah penyebaran Covid-19. Mau tidak mau keluarga pun tidak menyarankan untuk mudik.
Saya pikir pelarangan mudik oleh pemerintah ada baiknya. Coba bayangkan jika kita yang berada di zona hijau atau kuning, lalu berpindah ke wilayah yang sudah dilabeli dengan zona merah atau hitam. Apa yang akan kita lakukan? Apakah kita akan rela mengajak keluarga kita terkena masalah di sana? Apakah dengan mudik keinginan kita untuk berkunjung ke sanak keluarga akan terpenuhi, sedangkan pemerintah melarang untuk hilir mudik?
Bagi yang masih nekat untuk tetap mudik, silakan berpikir dampak baik dan buruknya untuk keluarga. Alangkah meruginya jika dengan mudik itu membuat keluarga kita terancam terkena penyakit. Alangkah sedihnya jika mudik yang kita lakukan menyisakan penyesalan.
Keputusan saya untuk menunda mudik sampai waktu yang tidak ditentukan adalah keputusan yang tepat. Saya tidak akan menjadikan keluarga saya terluka karena kedatangan saya meskipun rasa rindu itu pasti ada. Keputusan itu lebih pada salah satu langkah untuk menjaga diri sendiri dan keluarga.
Mungkin saja pelarangan mudik bagi para perantau membuat THR yang semestinya dibagikan saat hari raya masih utuh. Kita bisa menyikapinya dengan beberapa hal berikut ini. Pertama, THR itu bisa saja tetap dibagikan loh. Kita bisa memberikan THR lewat jalur online. Kita tidak usah mengirim parcel atau bingkisan kepada mereka karena kita tidak tahu di perjalanan parcel atau bingkisan itu bisa saja terpapar virus. Alangkah baiknya bila pancel atau bingkisan itu diuangkan saja.
Kedua, kita bisa bersedekah dengan orang-orang yang membutuhkan di sekitar kita. Jika kita ingin memberikan kemanfaatan, maka lihatlah orang-orang di sekitar kita. Banyak tetangga yang membutuhkan bantuan kita. Kita bisa memberikan sedikit THR itu untuk mereka.
Ketiga, simpan dan tabunglah THR itu untuk kebutuhan yang tidak terduga. Mungkin saja THR itu bisa kita gunakan untuk mudik saat pandemi sudah berakhir.
Keempat, sisihkan sedikit THR itu untuk berinfak ke masjid atau mushola agar pahala terus mengalir. Keuangan yang sedikit dari kita akan membuat kemaslahatan besar untuk masjid atau mushola itu.
Nah, jika THR yang ada sudah dialokasikan dengan benar, maka tidak akan ada kesia-siakan. Saya pikir, tanpa mudik sekarang pun kita bisa berbagi. Dengan tidak mudik, saat ini kita tetap mendapatkan cinta dan mencintai keluarga kita.
Bagaimana dengan perantau yang masih nekat mudik? Saat ini virus corona sudah bermutasi dan pencegahan dengan vaksin belum juga memadai untuk terhindar dari virus. Untuk para pemudik yang masih nekat, coba lakukan hal ini, agar tetap aman di kampung halaman.
Pertama, kamu sekarang berada pada daerah yang berbeda. Artinya akan banyak keluarga yang akan kamu jaga selain keluarga kecilmu. Kamu harus lebih ketat dalam penerapan protokol kesehatan. Jangan sampai kehadiranmu menjadi bumerang bagi warga atau keluargamu ya.
Kedua, pastikan dirimu mempersiapkan mental dan kesehatan fisikmu saat berada di sana. Kuatkan imunitasmu dan keluargamu.
Ketiga, jangan terpengaruh dengan euforia lebaran. Cukup tinggal di rumah saja. Berkumpul dengan keluarga adalah pilihan utamamu kan? Jadi, jangan berjalan-jalan ke mana-mana.
Bagi yang tidak bisa bertemu langsung dan berjabat tangan dengan keluarga seperti saya, jangan bersedih. Kita bisa tetap melakukannya. Malah dengan komunikasi secara virtual akan menjaga diri kita dan keluarga di sana. Ingatlah bahwa rasa sayang dengan keluarga yang jauh di sana tetap akan terjaga meskipun kita tidak mudik.
Artikel Lainnya
-
111526/04/2020
-
141422/08/2021
-
89901/05/2021
-
Pelecehan Seksual dan Refleksi Rasional
121708/09/2022 -
Transformasi Menuju Kekuatan Diri
71307/02/2023 -
Keriuhan Kapitalisme yang Tertahankan
135004/04/2021