Strategi Memupuk Literasi Sejak Dini

Strategi Memupuk Literasi Sejak Dini 01/05/2021 796 view Lainnya elshinta.com

“Cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cari buku itu, mari jatuh cinta! Selamat Hari Buku” – Najwa Shihab. Selamat Hari Buku Sedunia (Kalderanews.com, 15/04/2021) Ungkapan selamat hari buku internasional ini disampaikan oleh 15 tokoh Indonesia dalam merayakan Hari Buku Internasional.

Membaca ucapan Selamat Hari Buku Sedunia inspiratif tersebut mengingatkan apa yang saya alami puluhan tahun silam. Saat saya menyadari bahwa saya suka membaca buku berawal dari buku cerita yang saya sukai. Saya lupa judulnya, tapi ceritanya masih saya ingat sampai sekarang, tentang menggapai mimpi dan solidaritas sahabat.

Membahas tentang membaca buku, tidak terlepas dari bahasan literasi. Dilansir dari wikipedia, istilah literasi dalam bahasa Latin disebut sebagai literatus, yang berarti orang yang belajar. Secara garis besar, literasi sendiri ialah istilah umum yang merujuk pada kemampuan dan keterampilan seseorang dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, juga memecahkan masalah di dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, literasi tidak bisa dilepaskan dari kemampuan seseorang dalam berbahasa.

Untuk mengetahui tentang kemampuan literasi masyarakat Indonesia dapat dilihat dari hasil survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) . Data yang dirilis tahun 2019 tersebut memposisikan Indonesia pada posisi ke 72 dari 77.

Tentunya menduduki “rangking ke 5” dari belakang bukanlah harapan kita semua. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sendiri telah mempunyai program untuk meningkatkan posisi Indonesia dalam hal literasi ini. Namun demikian pemerintah tidak dapat bekerja sendiri untuk mendongkrak kemampuan literasi masyarakat. Perlunya dukungan masyarakat yang harapannya akan dapat memperbaiki posisi Indonesia di mata dunia.

Sebagai contoh, dalam pembelajaran jarak jauh selama pandemi ini, interaksi guru dan murid tidak sedekat pembelajaran tatap muka. Sehingga murid harus mampu memahami materi yang disampaikan oleh guru ditambah dengan materi yanng dibaca dari luar. Permasalahannya adalah, saat pembelajaran tatap muka saja, minat baca siswa hanya terpaku pada kuantitas dan jenis bacaan bukan pada pemaknaan dan pemahaman dari bacaan itu sendiri.

Membaca secara makna membuat anak memahami arti dan tujuan dari bacaannya itu sendiri. Sedangkan membaca secara kuantitatif merupakan proses membaca berdasarkan banyaknya bacaan yang dilakukan namun tidak dapat menghasilkan sebuah analisa dan kesimpulan dari bacaan itu sendiri. Membaca buku teks pelajaran tentu berbeda dengan buku cerita. Kita dapat melihat mengapa buku belajar membaca anak-anak lebih menarik dan banyak berisi cerita. Karena membaca itu perlu kesenangan dalam prosesnya sehingga otomatis akan menumbuhkan pemahaman dan tentunya akan meningkatkan semangat literasinya.

Saya terinsprasi dari seorang kenalan di sebuah komunitas yang bergerak di bidang fitrah based education di mana mendidik anak sesuai dengan fitrah manusia yang telah diinstall pada diri setiap individu. Kenalan saya tersebut merupakan ibu pekerja yang notabene adalah ibu yang lebih banyak beraktivitas di luar rumah, namun kewajiban mengajarkan anak-anaknya untuk suka membaca tetap menjadi prioritas.

Sang ibu tidak mewajibkan anak untuk bisa membaca secara cepat, namun membuat proses menyukai buku sehingga keinginan anak sendiri yang akan memulai untuk belajar membaca. Sehingga saat memasuki sekolah dasar si anak belum bisa membaca, baru mengenal huruf saja. Hal ini bertolak belakang dengan kebiasaan yang terjadi selama ini dalam dunia pendidikan kita. Di mana kemampuan membaca dan berhitung adalah kunci seorang anak bisa diterima di Sekolah Dasar.

Selama ini, kecepatan atas proses perkembangan adalah tolak ukur keberhasilan orang tua dalam mengajarkan anaknya. Artinya semakin banyak anak “tahu” literasi baik itu huruf maupun angka, maka semakin sukses si orang tua, demikian juga sebaliknya. Dalam kasus kenalan saya ini, membiarkan anak untuk menyukai belajar “literasi” saat anak telah "siap" menjadikan saya lebih berfikir bahwa dengan berawal menyukai tentunya anak akan terus melakukan hal tersebut. Menyukai membaca saat anak siap dan rasa suka itu tumbuh dari “dalam diri” si anak tentunya akan menghasilkan tujuan dari literasi tercapai. Sehingga anak akan mampu membaca secara makna, mampu menganalisa dan menyimpulkan hasil pembelajarannya tersebut.

Selain itu lingkungan yang kondusif untuk memulai kemampuan literasi yang baik juga perlu diciptakan. Artinya dengan lingkungan yang tersedia, maka bagi orang-orang dengan keterbatasan tertentu bisa juga mengalami peningkatan kemampuan literasinya.

Saya termasuk anak yang beruntung soal buku. Dulu saya mempunyai tetangga orang kaya di kampung kami, yang menyediakan buku-buku cerita anak-anak dari seluruh dunia. Keluarga tersebut juga memberikan akses kepada anak-anak di sekitar rumahnya untuk belajar dan memanfaatkan buku-buku anak-anak mereka. Dari sinilah saya tahu kisah Lima Sekawan karya Enid Blyton, cerita Deni Si Manusia Ikan, Putri Salju, Cinderellah, Pinokio dan buku-buku dongeng anak-anak lainnya dari luar negeri. Dan dari keluarga inilah, banyak keluarga di sekitarnya terpenuhinya kebutuhan literasi anak-anak di kampung kami.

Memulai membaca dengan buku-buku yang disukai merupakan salah satu keharusan untuk bisa mendapatkan kemampuan literasi yang baik. Dalam hal ini jenis buku-buku eye catching tentunya akan menarik anak-anak untuk memegang, melihat bahkan membacanya. Dengan tampilan yang menyolok tentunya dapat menjadi daya tarik tersendiri sehingga dapat menjadi kesenangan bagi anak-anak.

Selain tampilan visual dari sebuah buku, isi buku dan bentuk paparan cerita merupakan hal yang bisa membuat seseorang menyukai buku. Memulai membaca buku yang menarik hati tentunya akan menimbulkan kesenangan, dengan timbulnya kesenangan maka akan menghasilkan kebiasaan membaca. Sehingga lama kelamaan kesenangan membaca bukan hanya karena biasa namun juga sebagai kebutuhan hati.

Tahap berikutnya adalah melatih kemampuan membaca dengan meningkatkan kesulitan bacaan. Seseorang yang telah terpenuhi rasa kepuasan dalam membaca buku-buku yang disenanginya, biasanya akan mencoba untuk membaca jenis-jenis buku yang lebih sulit. Artinya kemampuan literasi orang tersebut semakin berkembang dan tentunya menghasilkan analisa dan kesimpulan dari buku yang dibacanya.

Dalam keluarga kenalan saya tersebut, anaknya yang pertama masih berumur 13 tahun saat mulai membaca buku-buku jenis psikologi yang lumayan berat. Ibunya hanya menyediakan kebutuhan dari keinginan si anak terhadap jenis buku yang diminatinya. Tentunya kesenangan membaca buku dengan kesulitan dengan level mahasiswa ini tidak serta merta dicapai tanpa melalui tahap-tahap sebelumnya.

Kemampuan memilih buku sesuai dengan tingkat kesulitannya juga sangat ditentukan dari kemampuan memahami makna dari setiap kesulitan itu sendiri. Semakin mampu memahami kesulitan tentunya akan semakin mampu untuk belajar sehingga mencapai solusi dari permasalahan-permasalahan yang muncul dari hasil penafsirannya tersebut.

Menjadi sulit jika menumbuhkan minat literasi pada usia yang bukan anak-anak lagi. Namun bukan berati tidak mungkin untuk mendongkrak minat membaca saat telah dewasa. Seseorang tidak dapat diharapkan untuk menyukai membaca buku jika tidak adanya faktor-faktor pendukung sejak kecil. Belajar untuk menyukai bacaan yang disenangi dapat menjadi langkah pertama dalam meningkatkan semangat lietrasi.

Demikian juga dalam menangani masalah atau menjalani ujian di sekolah, kemampuan literasi ini sangat ditentukan dari kemampuan membacanya, apakah hanya menghapal tetapi sudah pada taraf menganalisa.

Selain itu dengan adanya kebijakan pemerintah tidak dilaksanakannya Ujian Nasional bagi level pendidikan dasar menengah lagi namun menggantinya dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, maka dapat dilihat dari konteksnya, asesmen ini yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter bukan hanya menghafal, memahami, dan mengaplikasikan saja seperti yang selama ini kita lakukan untuk menghadapi Ujian Nasional.

Apalagi berdasar survei PISA, kemampuan pelajar di Indonesia masih berada di kategori menghapal, memahami dan mengaplikasi saja. Sedangkan yang diinginkan adalah kemampuan bernalar berupa analisis, evaluasi, dan penciptaan.

Dan besar harapannya semua keluarga dan sekolah dapat menerapkan dan membangun kemampuan belajar literasi terhadap anak-anak sehingga saat survei PISA berikutnya, rangking Indonesia menjadi lebih baik.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya