Ihwal Pembebasan Napi Kala Panik Pandemi

Ihwal Pembebasan Napi Kala Panik Pandemi 26/04/2020 1027 view Opini Mingguan pixabay.com

Sejak awal sudah banyak yang heran sekaligus mempertanyakan kebijakan Menteri Hukum dan HAM saat akan membebaskan puluhan ribu narapidana (napi). Meski sudah disebutkan tujuannya untuk mereduksi potensi penyebaran wabah corona khususnya di dalam sel tahanan, namun itu seakan tidak berhasil menjawab pertanyaan di benak publik. Kita disuruh tinggal diam di rumah, mengapa para napi yang justru disuruh keluar?

Setidaknya ada dua hal yang menjadi kekuatiran publik. Pertama, kekuatiran para napi yang dibebaskan tersebut bisa saja ada yang sudah terjangkit wabah corona dan berpotensi untuk menyebarkannya lebih luas lagi ketika sudah bebas dari sel tahanan.

Kekuatiran kedua, para eks napi tersebut bisa saja (terpaksa) mengulangi kejahatan yang pernah dilakukannya. Kekuatiran ini sangat beralasan mengingat kondisi saat ini memang serba tidak normal.

Aktivitas ekonomi warga sangat terganggu. Banyak yang kehilangan pekerjaan dan sumber penghidupan. Bila warga biasa saja sudah banyak yang terdampak, konon lagi para eks napi yang baru saja bebas dari tahanan. Apa yang bisa mereka lakukan guna mendapatkan penghasilan dan bertahan hidup?

Simalakama

Bila hari-hari ini kekuatiran publik ternyata menemukan kebenarannya, apa yang bisa kita pelajari? Kita mendengar di beberapa tempat telah terjadi tindak kriminal yang dilakukan oleh eks napi yang baru saja keluar dari tahanan.

Bukankah ini berarti upaya pemerintah yang ingin mereduksi potensi penyebaran wabah justru berbuah masalah baru yang timbul di tengah masyarakat? Apakah hal-hal semacam ini memang tidak dikalkulasi jauh-jauh hari sebelumnya?

Kebijakan pembebasan napi di masa-masa tanggap darurat pandemi saat ini, memang ibarat makan buah simalakama.

Dari dulu sampai hari ini, salah satu masalah besar di sel tahanan kita adalah kondisinya yang terlalu padat. Jumlah ruang tahanan yang tersedia dan penghuni benar-benar tidak sebanding. Ini selalu mendapat sorotan dan menjadi masalah laten dari rezim ke rezim. Pada kondisi demikian, bayangkan bila ada satu orang saja yang terjangkit wabah, bukankah itu akan dengan sangat cepat menyebar ke banyak penghuni tahanan?

Maka tidak heran, selain nada-nada penolakan, ternyata ada juga sebagian kalangan yang mendukung kebijakan pemerintah ini. Bukan hanya alasan kemanusiaan yaitu pencegahan penyebaran wabah yang dikemukakan, tetapi juga alasan pembenar bahwa paradigma hukum pidana kita sudah bergeser dari yang semula retributif (pembalasan), sekarang lebih menekankan pada pendekatan korektif, rehabilitatif dan restoratif.

Respon Kepanikan

Satu hal yang menjadi persoalan dari kebijakan pembebasan napi ini, pemerintah seakan abai dan kurang memperhitungkan dampak sosial di tengah-tengah masyarakat yang akan ditimbulkan. Padahal, itu sudah berulang kali dan jauh-jauh hari diingatkan.

Sebelum membebaskan para napi yang jumlahnya cukup besar, pemerintah semestinya menyiapkan instrumen dan mekanisme yang tepat untuk memastikan para eks napi tersebut tetap dalam pemantauan yang ketat agar tidak menimbulkan masalah baru.

Saya kuatir, ini yang tidak dikerjakan secara optimal. Dalih tentang potensi bahaya besar penyebaran wabah di tahanan yang kondisinya over kapasitas memang terus menerus diucapkan, tetapi jaminan pemerintah yang akan tetap memantau perilaku para eksi napi yang baru dilepaskan, justru luput dari perhatian.

Menteri Hukum dan HAM juga lebih sibuk menyodorkan data bahwa negara-negara lain pun sudah terlebih dulu mengeluarkan kebijakan pembebasan napi di masa-masa penanganan wabah corona, bahkan dalam jumlah yang lebih besar dari pada Indonesia.

Ada lagi hitung-hitungan bahwa pemerintah bisa “berhemat” miliaran rupiah pasca kebijakan pembebasan napi ini. Maksudnya, pemerintah sudah tak perlu lagi mengeluarkan uang untuk menjamin kehidupan para napi tersebut seperti saat mereka masih berada di dalam tahanan.

Pemerintah seakan hendak mengatakan bahwa kebijakan pembebasan napi saat ini seharusnya didukung penuh karena membawa banyak manfaat.

Sangat disayangkan, keyakinan itu ternyata harus cepat menguap seiring berbagai masalah yang timbul di tengah masyarakat. Tudingan langsung mengarah ke pemerintah yang (lagi-lagi) dianggap sudah melakukan blunder kebijakan. Beban masyarakat saat ini kian bertambah karena tidak hanya harus waspada agar tidak terjangkit wabah tetapi juga agar tidak menjadi korban kejahatan.

Demikian halnya, pihak keamanan juga seperti mendapat tugas tambahan dan dituntut lebih ekstra untuk melindungi ketertiban dan keselamatan warga. Memang menjadi sangat merepotkan.

Ibarat nasi sudah menjadi bubur, saat ini kita memang harus bergandengan tangan dan bekerja sama. Di satu sisi, kita dituntut untuk terus melakukan physical/social distance, namun di saat yang bersamaan juga harus meningkatkan sistem keamanan di lingkungan masing-masing guna mengantisipasi terjadinya tindak kejahatan.

Sampai di titik ini, lantas kita bertanya-tanya, apakah kebijakan pembebasan napi itu memang belum/tidak pernah dipikirkan secara matang? Artinya, itu sekadar respon kepanikan karena pandemi. Entahlah…
 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya