Membongkar Akar Persoalan HAM di Sektor Sumber Daya Alam
Terpilihnya Jokowi di tahun 2014, dielu-elukan membawa jalan terang dari gelapnya penyelesaian konflik SDA.
Harapan ini tentu karena persoalan tersebut dimasukkan ke dalam program prioritas Jokowi yang diberi nama Nawacita. Namun, jauh panggang dari api, tak terjadi perubahan positif yang signifikan atas penanganan konflik SDA (Sumber Daya Alam). Bahkan eskalasi konfliknya cenderung meningkat. Hal ini terbukti dari catatan Konsorsium Pembaruan Agraria bahwa dari 1.308 kasus di tahun 2010-2014 meningkat menjadi 2.070 kasus di tahun 2015-2019.
Sektor perkebuan menjadi penyumbang konflik tertinggi yakni, 729 kasus. Lalu disusul sektor properti 499 kasus; sektor pertanian 145 kasus; sektor kehutanan 118 kasus; sektor pertambangan 145 kasus; sektor pesisir dan pulau kecil 60; serta 10 kasus yang berhubungan dengan fasilitas militer.
Seperti diketahui bersama, konflik SDA biasanya berkelindan dengan pelanggaran HAM. Korporasi seringkali melakukan tindakan represif (kekerasan fisik, kriminalisasi dan tuduhan komunis) bagi siapun yang bersikukuh mempertahankan ruang hidupnya.
Komnas HAM menyatakan bahwa sedikitnya ada 1.030 kasus yang mengindikasikan adanya keterlibatan korporasi dalam berbagai kasus pelanggaran HAM.
Dengan demikian, sepanjang periode pertama, Jokowi telah gagal menuntaskan persoalan konflik SDA.
Meski demikian, ia kembali terpilih menjadi Presiden untuk periode 2019-2024. Alih-alih belajar dari kesalahan dengan merancang kebijakan yang membatasi tindak-tanduk korporasi, Jokowi justru merancang kebijakan yang lebih memberikan payung hukum bagi korporasi. Dalam konteks SDA, kebijakan ini terpampang jelas dalam UU Minerba. Oleh karenanya, intensitas pelanggaran HAM akan semakain menggunung.
UU Minerba dan Masa Depan HAM
UU Minerba yang dibahas oleh Komisi VII DPR RI sejak bulan Februari akhirnya disahkan pada tanggal 12 Mei 2020. UU ini dirancang hanya dalam kurun waktu tiga bulan demi menyelamatkan korporasi yang sedang ditempa krisis. Karena itu, berbagai kelompok sipil (buruh, mahasiswa, petani, aktivis, nelayan dan lain-lain), berbondong-bondong turun ke jalan guna meminta pemerintah mencabut UU ini.
Bagi mereka, pemerintah semestinya fokus mengatasi virus corona yang dari hari ke hari kian mengganas. Lebih rinci, UU tersebut justru menegasikan persoalan ekonomi dan lingkungan. Tak terkecuali dengan HAM.
Kita bisa melihatnya secara telanjang dalam pasal 1 ayat 28a. Pasal tersebut mengatur wilayah hukum pertambangan ialah seluruh ruang darat, ruang laut dan ruang dalam bumi di seluruh Indonesia.
Selain berpotensi meningkatkan eskalasi konflik SDA dan merusak lingkungan, pasal tersebut juga berpotensi mengancam ruang hidup masyarakat karena seluruh aktivitas pertambangan masuk ruang hidup masyarakat.
Persoalan HAM juga terlihat dalam pasal 162. Pasal tersebut menyebut bahwa siapapun yang menghadang aktivitas pertambangan para pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana termaktub dalam pasal 136 ayat (2) akan dipenjara maksimal 1 tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah). Ini jelas berpotensi membuka peluang adanya kriminalisasi bagi warga atau aktivis pejuang lingkungan yang menampik tambang. Padahal, berdasarkan catatan komnas, sudah banyak terjadi kriminalisasi bagi mereka yang menolak tambang sebelum adanya ketentuan tersebut.
Sebenarnya, pasal tersebut justru berkontradiksi dengan pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana mereka yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup diharamkan untuk dituntut secara pidana maupun perdata.
Dengan demikian, UU Minerba kian mengintegrasikan Indonesia ke ekonomi kapitalistik yang hanya menguntungkan korporasi dan mengorbankan persoalan HAM.
Namun, UU Minerba justru bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 G4:(1). Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. (2). Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Selanjutnya di pasal 29 H menyatakan 5: (1). Setiap orang berhak atas hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. (2). Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakukan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai kesamaan dan keadilan. (3). Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. (4). Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Seperti kita lihat, UUD 1945 justru membebaskan manusia dari segala tindak kekerasan, memperoleh hak-hak yang menyangkut hajat hidupnya dan melarang hak milik yang dimiliki diambil secara sewenang-wenang.
Melawan Kapitalisme Sebagai Wujud Perjuangan HAM
Kapitalisme yang sekarang kian diimani Jokowi akan selalu inheren dengan pelanggaran HAM.Hal ini tentu tak bisa dipisahkan dari logika akumulasi primitif yakni, pemisahan produsen langsung secara paksa dari alat-alat produksinya. Sebagaimana digambarkan oleh Marx dengan begitu sastrawi: “kapital hadir mengucur deras dari kepala hingga kaki, dari setiap lubang pori-pori, dengan darah dan kotoran”. Proses ini akan berlangsung terus-menerus akibat persaingan (kompetisi) yang menjadi nafas kapitalisme.
Persoalan HAM tentu tak berhenti begitu saja. Masuknya kapitalisme ke ruang hidup masyarakat akan membawa beragam persoalan HAM yang begitu massif. Misalnya, masuknya mega proyek Food Estate dalam pembangunan Merauke Integrated Food and Energy Esatate ke daerah Malind, Merauke telah menghilangkan akses masyarakat adat Malind atas hutan sebagai sumber penghidupannya. Sehingga, relasi produksi dan konsumsi pangan berubah, dimana mereka bergantung kepada pasokan makanan dari luar desa yang mahal harganya.
Selain melenyapkan kemandirian pangan yang sudah menjiwai masyarakat adat Malind, proyek ini juga mengakibatkan penurunan tingkat kesehatan dan gizi balita mereka yang berujung pada kematian dini.
Kita juga bisa melihat persoalan HAM dalam pertambangan batubara di Sumatera Selatan. Aktivitas pertambangan batu bara yang dijalankan di sana telah mengakibatkan penurunan kadar air bersih dan hasil panen petani; masyarakat terkena ISPA dan kanker; dan lubang galian tambang yang dibiarkan menganga kerap memakan korban.
Dari contoh di atas kita dapat menyimpulkan bahwa kapitalisme akan selalu menjadi anti-tesis dari penuntasan HAM. Setepat apapun merancangnya, paling banter, kapitalisme hanya bisa meminimalisir pelanggaran HAM. Ia tak akan bisa mengusut hingga ke akarnya. Karena dengan demikian ia justru membunuh dirinya sendiri. Maka, perjuangan HAM di sektor Sumber Daya Alam mesti diarahkan untuk melawan kapitalisme.
Artikel Lainnya
-
16621/07/2024
-
182621/02/2020
-
309425/11/2019
-
Tindak Lanjut KTT-G20; Mengintegrasikan SDG’s melalui “One Health”
47023/11/2022 -
Munarman: Dua Kasus Dalam Sehari?
139930/04/2021 -
150601/10/2021