Jokowi, Reshuffle, dan Kelimpungan Mengatasi Pandemi

Pemerhati Demokrasi dan Konstitusi RI
Jokowi, Reshuffle, dan Kelimpungan Mengatasi Pandemi 07/07/2020 1651 view Politik en.wikipedia.org

Menurut Ahmad Suedy selaku anggota Ombudsman RI (2020) menyatakan bahwa, sebagian besar pembahasan tentang pasca pandemi covid-19 (atau new normal) masih bersifat prediksi karena pandemi ini memang belum selesai, baik cakupan negara maupun kuantitas kematian dan infeksi di masing-masing negara, masih fluktuatif.

Pernyataan tersebut menarik penulis untuk lebih jauh mengkaji dan benar bahwa, di beberapa daerah ditemukan mulai ada upaya pelonggaran, misalnya di Jawa Barat. Tetapi di daerah tertentu lainnya, virus covid-19 ini justru terjadi trend kenaikan, misalnya di Jawa Timur.

Di samping itu, krisis yang tampak di depan mata adalah krisis ekonomi: ekspor-impor mandek; pabrik tutup, ratusan ribu atau bahkan jutaan pekerja dirumahkan; transportasi dibatasi; pariwisata ditutup; pajak banyak tak terbayar; pemerintah hanya bisa bagi sembako untuk bertahan hidup bukan untuk pengembangan ekonomi keluarga dan bisnis.

Dengan kompleksitasnya permasalahan yang ada maka, tak ayal apabila Presiden Jokowi marah kepada jajaran menteri kabinetnya. Tak hanya itu, bahkan ia mengeluarkan ancaman perombakan atau reshuffle kabinet. Pernyataan keras Jokowi ini didasarkan pada penilaiannya terhadap para menterinya yang tidak memiliki sense of crisis di tengah berlangsungnya pandemi korona (Lihat: akun YouTube Sekretariat Presiden, (28/6/2020)).

Yang menjadi pertanyaan, faktor apa saja yang melatarbelakangi Jokowi jengkel dan bahkan marah kepada para menterinya? Kemudian, mungkinkah Jokowi dapat merombak kabinetnya dan bahkan menghapus lembaga kementerian di tengah pandemi?

Jokowi dan Kejengkelannya

Pakar dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Fajar Junaedi (2020), mengatakan bahwa kemarahan Jokowi tersebut dinilai sebagai puncak dari kejengkelannya terhadap para menteri yang dianggap tidak kompeten dalam bekerja.

Kejengkelan Jokowi tersebut, sejauh yang penulis amati, maka ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya, pertama, dengan di bentuknya Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 ini menyiratkan bahwa Jokowi sudah mulai tumbuh ketidakpercayaannya terhadap Kemenkes.

Kedua, lemahnya pemetaan masalah.yang ditonjolkan oleh Kemendikbud yang kaget dengan adanya siswa di beberapa daerah yang tidak bisa akses internet untuk pembelajaran.

Ketiga, lemahnya analisa social-yuridis yang dilakukan oleh Kemenkumham , yang pada gilirannya marak terjadi kejahatan dan kriminalitas, mulai dari pencurian hingga pembunuhan yang dilakukan oleh narapidana residivis.

Keempat, lemahnya pendataan rakyat dan data anggaran ini berakibat pada terjadi salah sasaran terkait bantuan langsung tunai (BLT) dana desa yang dikeluarkan oleh Kemensos dan Kemendes PDTT.

Dari sejumlah ketidakberesan dalam mendata rakyat dan anggaran serta lemahnya koordinasi antar lembaga kementerian tersebut, menunjukkan bahwa betapa kacaunya manajemen Presiden dalam mendorong para menterinya bekerja ekstra di tengah berlangsungnya pandemi.

Jokowi dan Kewenangannya

Jokowi sebagai kepala pemerintahan, ia diberi mandat oleh UUD 1945 untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri (Pasal 17 (ayat) 2). Tak hanya itu, Presiden memiliki kewenangan untuk membubarkan lembaga kementerian.

Hal ini dapat dilihat dari hukum tata negara atau dari segi hierarki, lembaga negara yang dapat dibedakan ke dalam tiga lapis yakni lapis pertama dapat disebut Lembaga Tinggi Negara, lapis kedua dapat disebut Lembaga Negara saja dan lapis ketiga merupakan lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undang.

Menurut Abdul Qodir Jaelani mahasiswa doktoral Fakultas Hukum UNS (2020), ia mengatakan bahwa Presiden boleh membubarkan lembaga kementerian asalkan lembaga yang dibentuk itu berasal dari Peraturan Presiden (Perpres). Akan tetapi, jika lembaga itu dibentuk oleh undang-undang (UU) maka ia tidak bisa dibubarkan apalagi lembaga yang dibentuk oleh UUD 1945, misalnya Menteri Negara (Pasal 17), Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan yang disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945 (Pasal 8 Ayat 3)

Gusarnya Jokowi yang hendak membubarkan lembaga kementerian itu turut disayangkan. Pasalnya, yang membuat teks pidato itu sebenarnya adalah Staf Ahli Presiden, Sekretaris Negara (Sesneg) dan Sekretaris Kabinet (Seskab). Apabila ada yang keliru dengan teks pidatonya maka ketiga pembantu Presiden tersebut disinyalir tidak paham dengan kewenangan Presiden.

Oleh karenanya, dari segi hukum tata negara, yang patut disalahkan adalah Staf Presiden, Sesneg dan Seskab. Hal ini karena tugas Presiden adalah membaca teks. Ini artinya, jika Presiden salah berarti yang bertanggungjawab adalah Mensesneg dan Seskab. Bukan malah dilempar semuanya kepada Presiden.

Sekalipun Jokowi dalam keadaan apa pun termasuk di tengah berlangsungnya pandemi ini, ia dapat merombak kebinet kementeriannya dan bahkan membubarkannya, itu semua tak ada gunanya jika hanya dilontarkan di depan media saja. Karena, yang dibutuhkan oleh rakyat adalah bukti bukan kata-kata.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya