Masihkah Kita (Pemerintah) Tidak Berlaku Adil Bagi Masyarakat Laut?

Dosen Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Khairun
Masihkah Kita (Pemerintah) Tidak Berlaku Adil Bagi Masyarakat Laut? 27/02/2020 1569 view Cerita Satire pixabay.com

Pagi itu, sontak membuat seisi kampung geger.

Pasalnya, telah terjadi peristiwa mematikan yang telah merenggut nyawa seorang manusia tak berdaya.

Diketahui korban kali ini bernama Andri (bukan nama sebenarnya), kira-kira beliau berusia lima puluh tahunan ke atas. Beliau merupakan warga pesisir pantai yang sehari-hari berprofesi sebagai nelayan.

Andri didapati telah meninggal di pesisir pantai tidak jauh dari beliau menangkap ikan.

Sebelumnya Andri dan kawan-kawan terlibat aksi kejar-kejaran dengan petugas laut yang sedang ronda menertibkan nelayan yang masih menggunakan pukat harimau sebagai alat tangkap. Aksi ini telah terbiasa terjadi. Polisi lautan selalu menangkap para nelayan yang masih membandel dengan menggunakan alat tangkap yang dilarang oleh negara.

Larangan kepemilikan dan penggunaan alat tangkap ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di wilayah Indonesia, termasuk jaring trawl atau pukat harimau, secara tegas telah termaktub dalam peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen-Kp/2015. Kenapa masih tetap saja digunakan oleh sebagian nelayan? Walaupun telah diperingati bahkan juga telah diberi sanksi? Tentu ini permasalahan kita bersama yang mesti dicari jalan penyelesaiannya.

Carut marutnya sistem dan simpang siurnya aturan kelautan adalah sebab utama.

Regulasi yang telah dibangun oleh pusat tidak sampai ke daerah-daerah. Nelayan bukannya tidak mau mentaati peraturan yang tertulis dalam lembaran negara, melainkan pemerintah tidak konsisten dengan peraturan yang ada. Upaya nelayan untuk bisa berdamai dan taat peraturan sejatinya telah dilakukan.

Tentunya, kedua belah pihak (pembuat dan pengguna kebijakan) bertanggung jawab untuk mewujudkan segala aturan yang telah disuguhkan penguasa.

Tetapi, seringkali realisasi dari aturan yang dibuat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Maka, tidak mengherankan jikalau terjadi kecelakaan bahkan kematian seorang nelayan, hal tersebut terpaksa diterima dengan lapang dada oleh keluarga dan berpasrah pada takdir Yang Maha Kuasa.

Betapa tidak, kematian nelayan bukan termasuk dalam kategori kecelakaan kerja yang patut diberi santunan, terutama oleh lembaga pemerintahan yang berwenang.

Menurut hemat saya, yang notabene lahir dan besar di wilayah pesisir pantai, hingga kini belum terdengar kabar, santunan pemerintah untuk nelayan yang meninggal sewaktu melaut, kecuali santunan seadanya dari atasan atau pun juragan pemilik bagan (kapal).

Pertanyaannya, kemana pemerintah? Bukankah profesi nelayan juga terhormat, karena bisa memberikan sumber protein bagi umat sejagad?

Bukan satu atau dua kali saja peristiwa naas yang menyebabkan kematian seorang nelayan dapat terjadi. Seakan-akan telah menjadi piala bergilir, tapi ini bukan piala kemenangan, melainkan menyusul teman-teman sesama nelayan yang telah berpulang lebih dulu keharibaan-Nya. Maka, seolah-olah menjadi nelayan akan mengakhiri penghidupan dengan jalan tenggelam dan ditemukan mengambang di lautan.

Oleh karena itu, profesi ini butuh seseorang yang bermental baja, karena apapun dapat terjadi apabila kapal telah memasuki muara laut lepas. Nelayan sering diceritakan sebagai orang yang hidupnya terancam bahaya. Hujan badai yang mengganas atau arus laut yang deras bisa membuat kapal mereka tenggelam. Bahkan tidak jarang amukan badai dapat mengakhiri hidup seorang nelayan dan tenggelam dengan kapal beserta isinya.

Kematian Andri kali ini bukan disebabkan faktor yang sama dengan sesama nelayan yang telah lebih dulu tutup usia di air garam ini. Melainkan, di tengah-tengah aksi kejar-kejaran dengan pihak berwenang.

Tanpa pikir panjang, ia memutuskan untuk kabur dengan meninggalkan kapal dan berenang menuju bibir pantai. Siapa sangka, aksi nekat tersebut membawa malapetaka baginya. Ia kemudian dilarikan ke rumah sakit, karena telah ditemukan di daratan dalam kondisi pingsan. Harapan itu telah sirna, ia telah menghembuskan nafas terakhirnya, sejak masih di bawa perjalanan ke rumah sakit.

Di kampungku nelayan meninggal di laut adalah sesuatu hal yang telah biasa terjadi. Bukan tidak mungkin, jika sore harinya ada seorang nelayan dikabarkan meninggal, padahal ia baru berangkat melaut pada pagi hari itu juga. Umpamanya, kematian begitu dekat dengan seseorang yang bekerja di sawah tiada pematang tersebut. Begitu sebutan populer lautan bagi masyarakat nelayan.

Artinya, laut bukan merupakan tempat aman bagi nelayan dalam mengais rezeki. Kekayaan laut belum mampu mensejahterakan pemikatnya (nelayan).

Seyogyanya, dunia laut terlihat lebih “menyeramkan” dibandingkan dengan daratan subur tanah pusaka. Seolah-olah “tongkat dan kayu jadi tanaman” laksana syair lagu yang didendangkan Koes Ploes tidak bermakna sama dan berlaku adil bagi dunia laut beserta isinya. Bukankah 2/3 dari negara ini adalah perairan dan lautan? Kenapa kita (termasuk negara dan pemerintah) tidak mampu memanfaatkannya? Hingga kini, masih saja terlihat masyarakat pesisir yang hidup seadanya dan miskin kekurangan harta.

Diskriminasi darat terhadap laut menjadi alasan kenapa masyarakat pesisir dari zaman bahoela termasuk kategori kelas kedua dalam tatanan sosial kemasyarakatan.

Kalau dilihat kilas balik peristiwa sejarah, kedatangan bangsa barat ke bumi nusantara adalah dengan menggunakan jalur laut sebagai lalu lintas utama.

Berdasarkan literatur yang tertulis dalam beberapa buku sejarah, Bartholomeus Diaz, seorang berkebangsaan Portugis, tahun 1486 melakukan sebuah ekspedisi dan berhasil menemukan jalur pelayaran ke Hindia Timur. Rekam perjalanan inilah yang kemudian diikuti oleh bangsa Barat lainnya. Akhirnya, mereka berhasil menemukan daratan nusantara yang kaya akan rempah-rempah.

Bukan tidak mungkin, apabila belahan bumi nusantara tidak didatangi penjajah, Indonesia hari ini tak kan ada. Mungkin saja kita masih hidup dengan sistem kerajaan-kerajaan tradisional, jauh dari modernisasi dan teknologi serba canggih. Seperti saat kini. Dan saya mengamini, semuanya dapat terjadi karena lautan adalah rahmat semesta alam yang wajib lestari.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya