Tontonan (Belum Tentu) Jadi Tuntunan

Belakangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dihantam dua kasus sekaligus. Pertama, soal kasus dugaan pelecehan seksual dan perundungan yang melibatkan pegawai KPI Pusat. Kedua, soal Saepul Jamil yang dibolehkan masuk TV untuk kepentingan edukasi bahaya predator seks.
Kasus pertama sudah masuk ranah hukum. Sebagaimana kasus-kasus serupa yang pernah terjadi, kasus ini pun dibumbui saling lapor antara terduga korban dan terduga pelaku. Menurut berita yang beredar, terduga pelaku melaporkan balik terduga korban dengan dugaan pencemaran nama baik setelah ia menolak menandatangai perjanjian damai.
Karena sudah masuk ranah hukum, biarlah aparat yang bertindak. Kendati demikian, masyarakat tetap berhak mengawasi proses yang berlangsung. Jangan remehkan people power! Banyak persoalan di negeri ini yang berakrobat dinamis gara-gara “kekuatan jempol”. Di masa serba digital dan keterbukaan informasi seperti hari ini, celotehan warganet di media sosial punya pengaruh kuat untuk mengubah opini publik. Bahkan, dalam beberapa kasus, turut mengubah keputusan negara. Misalnya, ketika publik ribut karena seorang rektor di sebuah perguruan tinggi terkemuka rangkap jabatan, Presiden segera mengubah aturan.
Soal kedua, ini lebih merupakan soal etik ketimbang soal hukum. Seturut penyataan Ketua KPI Pusat, pihaknya geram ketika ada sebuah stasiun TV yang mengglorifikasi kebebasan Bang Epul. Sebagaimana diketahui, ia dipenjara akibat kasus pencabulan dan sogok kepada panitera pengadilan negeri. Ketika bebas pada 2 September 2021, lagaknya bak pahlawan pulang dari medan perang.
Yang jadi blunder, KPI menyatakan Bang Epul tidak boleh tampil di TV untuk kepentingan hiburan namun boleh jika untuk kepentingan edukasi kejahatan seksual. Publik naik pitam. Pernyataan itu dinilai melecehkan korban. Lagi pula, edukasi kejahatan seksual macam apa yang ada dalam benak KPI? Belakangan, mereka minta maaf dan mengakui bahwa pernyataan itu tidak tepat.
Bang Epul telah tuntas menjalani hukuman pidana. Tapi hukum sosial punya aturan sendiri. Sebagian masyarakat kerap geram ketika ada kasus asusila mencuat. Pasalnya, sebagian masyarakat lain (dan mungkin juga oknum aparat) masih memandang soal kejahatan seksual ini sebagai soal remeh, receh, dan biasa saja. Hukuman tidak kunjung menimbulkan efek jera sebab setengah hati. Lebih parah, korban kadang kala malah tersudutkan dan stres akibat eksploitasi media yang “tidak berperasaan” dan seolah tidak pro korban. Padahal, di banyak negara, pro victim justice adalah pendekatan umum yang disadari semua pihak ketika berhadapan dengan kejahatan seksual, termasuk media.
KPI, sebagai lembaga independen yang diamanati undang-undang untuk mengurusi penyiaran di Indonesia, mustinya paham akan hal ini. Penyiaran, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, memiliki “pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak”.
Meski kini sebagian masyarakat telah hijrah ke media daring yang berada di luar kewenangan KPI, namun, survei Global Web Index tahun 2020 menunjukan masyarakat Asia Tenggara, termasuk Indonesia, masih lebih banyak menghabiskan waktu menonton TV dibanding layanan streaming video. Penduduk Indonesia rata-rata menonton TV selama 1 jam 50 menit sehari, lebih lama dibanding streaming video yang hanya 1 jam saja.
TV masih jadi pilihan utama sebagian besar masyarakat untuk sarana hiburan dan akses informasi. Karenanya, apa yang disajikan di TV masih cukup berpengaruh untuk membentuk “pendapat, sikap, dan perilaku khalayak”. KPI perlu lebih tegas sekaligus punya hati dalam bersikap.
Industri, termasuk industri pertelevisian, urusan utamanya memang untug rugi. Meski Indonesia sering kali mendaku bangsa timur yang menjunjung tinggi adab dan moral ketimuran, tetapi seturut kecenderungan zaman, moralitas adalah urusan individu. Tapi, apakah setakpeduli, semasabodoh, seacuh itu televisi pada moral penontonnya? Padahal mereka mengeruk keuntungan luar biasa dari penonton.
Meski pasal 3 UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran jelas menyebut bahwa “penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdasakan kehidupan bangsa, ...”, namun anggaplah moralitas dan “kecerdasan bangsa” bukan urusan pengusaha pertelevisian. Bagi pengusaha, relasi utama antara mereka dan penonton adalah relasi bisnis. Perlu digarisbawahi, fokus utama bisnis adalah laba, bukan moral dan kecerdasan bangsa.
Hal ini perlu disadarkan terus menerus kepada para penonton TV. Idealnya, mereka juga harus punya sikap yang sama. It’s just business! Bila kesadaran ini terbangun dan mengakar, penonton akan bisa lebih bijak dalam memilih tontonan, tak ubahnya memilih barang di toko.
Tapi, kondisinya memang tidak mudah. Relasi yang terbangun antara penonton dan pengusaha TV bukanlah relasi yang sejajar dan adil. Kelompok penonton tertentu yang tidak punya pilihan lain untuk mengakses hiburan dan informasi selain via TV, mau tak mau menelan saja apa yang dihidangkan. Dalam konteks inilah negara musti hadir. KPI sebagai kepanjangan tangan negara dalam bidang penyiaran, lagi-lagi harus ngeh.
Dalam konteks menonton TV, penonton tidak punya kuasa menentukan apa yang ingin mereka tonton. Mereka hanya bisa memilih sedikit menu yang sudah disiapkan. Memindahkan saluran TV bukan solusi sebab sama saja, yang beda hanya judulnya saja. Memang, mereka memiliki program unggulan yang khas yang biasanya tayang di prime time. Berapa lama durasi prime time? Umumnya hanya 4 jam. Sisanya, hanya saling salin-tempel.
Keyakinan umum bahwa tayangan TV mengikuti selera penonton tidak sepenuhnya benar. Penonton justru dicekoki. Dipaksa menyantap apa sudah jadi. Jika kurang berkenan, penonton memang bisa protes via KPI. Tapi, faktanya, acara TV berkualitas rendah terus direproduksi.
Bagaimana dengan wacana liberalisasi penyiaran yang sempat diungkap Ketua KPI dalam podcast “Close The Door” milik Deddy Corbuzier? Benarkan penonton TV di Indonesia sudah siap dengan hal demikian?
Menilik masih rendahnya tingkat literasi sebagian besar masyarakat Tanah Air, wacana itu akan memantik banyak gejolak. Pembubuhan kode penggolongan program siaran BO untuk Bimbingan Orang Tua, R13+ untuk Remaja, dan D18 untuk Dewasa pun belum sepenuhnya dipahami khalayak.
Dalam konteks ini, anak-anak adalah golongan yang paling dirugikan. Dengan dihapusnya kode SU untuk Semua Umur, artinya tidak ada tayangan yang sepenuhnya aman untuk anak-anak. Untuk sebuah film kartun anak-anak saja mereka harus tetap didampingi orang tua.
Tontonan, dalam bentuk apa pun, sejatinya adalah manifestasi dari nilai-nilai budaya yang dianut suatu bangsa. Dunia seni pertunjukan tradisi punya adagium “tontonan jadi tuntunan”. Adagium itu jadi semacam rambu sekaligus filter bagi pembuat tontonan dan penontonnya. Namun, zaman sudah berubah. Apa yang ditonton kini belum tentu bisa jadi tuntunan. Malah kadang sebaliknya. Seraya masih menggantungkan harap pada KPI yang di internalnya pun punya seabrek persoalan, akan elok kiranya apabila masyarakat terus-menerus menempa kesadaran dan menajamkan kewaspadaan. Persis seperti amanat penyair besar Nusantara, Raden Ngabehi Ronggowarsito, dalam Serat Kalatidha: begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada ‘sebahagia-bahagianya orang yang lalai, lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada’.
Artikel Lainnya
-
191722/06/2021
-
196514/11/2019
-
25813/07/2024
-
“Kurcaci” yang Mengalahkan Raksasa, Kekalahan Tim Besar dalam Piala Dunia Qatar 2022
70427/11/2022 -
Relevansi Pemikiran Filsafat al-Kindi dalam Konteks Era Modern
75208/12/2024 -
Kebijakan Pemerintah dan Loyalitas Bunda Maria
169608/10/2020