Jangan Pulangkan (Dulu) WNI Eks ISIS

Kolumnis
Jangan Pulangkan (Dulu) WNI Eks ISIS 11/02/2020 1307 view Lainnya Npr.org

Rasa takut menari-nari di kepala saya. Jika suatu hari putri kecil kami satu sekolah dengan anak kombatan ISIS. Mungkin juga satu kelas.

Putri kami itu, tuan. Tak banyak beda dengan anak-anak seusianya. Anak ataukah saudara tuan-tuan pembaca.

Selain mengerjakan tugas sekolah, ia hanya bermain boneka, pistol-pistolan, petak umpet. Hanya itu.

"Lalu anak model begini harus disatukelaskan dengan anak eks ISIS..?", gumam saya dalam hati.

Anak-anak ISIS itu hidup dalam "masyarakat" yang amat berbeda. Penuh dengan kekerasan. Pendidikan mereka berorientasi tempur. Mahir menggunakan senapan serbu, bukan pistol-pistolan air. Biasa membuat mati tahanan, bukan berpura-pura pingsan.

Itu baru anak-anak, sudah buat merinding. Bagaimana benturan sosial dan rasa keterancaman hadir di dalam kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Bilamana WNI eks ISIS betul-betul dipulangkan.

Di ruang publik, di tempat ibadah, di mall, di pasar, dan perkantoran. Rasa terancam, was-was, akan muncul dengan sendirinya.

Saya bercerita ini, lantaran beberapa waktu lalu Menteri Agama melempar ide. Ia bilang akan memulangkan WNI eks ISIS. Jumlahnya, kurang lebih enam ratus orang. Bukan jumlah yang sedikit, bukan.

Lamat-lamat dipikir, belum lah saatnya memulangkan WNI eks ISIS. Bahkan bisa jadi tak pantas memulangkan mereka. Karena apa-apa yang terkait WNI eks ISIS tak lebih dari dua hal. Tentang profil diri mereka dan kemampuan deradikalisasi yang dimiliki republik ini.

Yang pertama adalah terkait profil siri WNI eks ISIS. Ini menyangkut apa alasan mereka pergi dan apa yang mereka lakukan di Suriah. Lalu bagaimana ideologi mereka sekarang.

Dari banyak informasi yang beredar di media, ada tiga alasan mereka pergi ke Suriah. Pertama, ideologi. Tepatnya tertipu ideologi yang dijual ISIS. Mereka yang masuk kategori ini biasanya bermimpi bisa hidup di negara Khilafah. Sebuah negara yang berkeadilan.

Selanjutnya adalah mereka yang diiming-imingi kesejahteraan (ekonomi). Surga dunia itu ada di Suriah dan Iraq. Semua asuransi telah disediakan negara. Bahkan ISIS berjanji melunasi hutang mereka.

Yang terakhir adalah mereka yang terpaksa. Mereka pindah karena ikut suami atau orang tua. "Tahu-tahu saja sudah di Suriah", begitu kira-kira cerita mereka ke media.

Lalu di Suriah, mereka-mereka ini bisa dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah yang aktif sebagai kombatan. Maju ke medan tempur. Mengeksekusi tahanan. Dan merekrut anggota baru.

Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang hanya sebagai penduduk sipil. Dan kelompok ini, tuan, merekalah yang mengaku trauma dengan kehidupan di ISIS. "Tak ada islam di sana...", atau, "wanita hanya sebagai pabrik pembuat anak..", atau "..kombatan melamar paksa para perempuan..".

Yang menjadi populis di media massa adalah mereka yang pergi karena tertipu (ideologi atau ekonomi) atau terpaksa. Dan setibanya di sarang ISIS menjadi warga sipil yang trauma itu tadi. Mereka sangat populis di media massa.

Mereka-mereka ini pulalah yang santer diberikan media minta pulang. Narasi yang lalu tercipta adalah WNI yang pergi karena tertipu atau terpaksa. Lalu menderita di Suriah, kemudian punya sedikit peluang untuk lepas dari cengkraman ISIS saat ini.

Sebuah narasi yang kuat memanggil rasa kemanusiaan kita. Dan menjadi sumber polemik beberapa hari terakhir.

Namun persoalannya kemudian tidak sesederhana itu. Tak satupun yang bisa memastikan semua hal di atas itu betul. Bahwa mereka pergi karena tertipu, janji ekonomi, maupun paksaan.

Terlebih, jika tuan ingat salah satu doktrin ISIS. Taqiyah, yaitu berbohong kepada musuh. Seorang pakar juga bercerita, orang-orang yang bergabung dengan ISIS telah diajarkan teknik berbohong sebagai muslihat. Bahkan jauh sebelum berangkat ke Suriah.

Selain itu, kita juga berhadapan pada dua fakta lainnya. Sekira 2-3 tahun lalu, ISIS berencana menggeser wilayah operasinya ketika terdesak gempuran militer Suriah dan Rusia. Operasi mereka menjauh dari Iraq dan Suriah. Beralih ke Asia Tenggara. Dan sekarang, ISIS sudah kalah perang sehingga tak ada pilihan lain selain rencana itu.

Sabar tuan.. jangan terburu-buru mengambil kesimpulan.

Saya sedang tak ingin mengatakan bahwa WNI eks ISIS yang minta pulang itu sedang bermuslihat. Cerita mereka tentang pergi ke Suriah karena tertipu, terbujuk ekonomi atau paksaan adalah bohong. Sama bohongnya ketika mereka bilang hidup di Suriah adalah seperti neraka. Dan yang benar adalah mereka sedang menggeser daerah operasi ke Asia Tenggara. Terlebih ketika ISIS kalah perang.

Tidak, saya sama sekali tidak ingin mengatakan itu. Tapi kita juga tak bisa memastikan bahwa narasi yang saya sampaikan ini salah.

Yang bisa dipastikan hanyalah satu. Sangat amat sulit untuk memverifikasi, informasi mana yang benar.

Apakah betul mereka terpaksa? Apakah betul mereka tak sadar sama sekali dibawa ke Suriah, seolah-olah tertidur di kamar rumah dan ketika terbangun sudah di Suriah? Dan apakah betul mereka adalah warga sipil yang menderita di Suriah?

Dan bagaimana pula cara membuktikan bahwa cerita mereka untuk pulang adalah karena kapok, bukan bagian dari startegi besar ISIS pindah ke Indonesia?

Tak ada yang bisa memastikan itu semua. Artinya, terkait hal ini, tidak ada kepastian. Abu-abu.

Di saat bersamaan, kemampuan negeri ini dalam mengelola terorisme (sering diistilahkan radikalisme, meski kurang tepat) juga masih mengecewakan. Deradikalisasi masih parsial dan dimonopoli oleh negara.

Deradikalisasi hanya menyasar tersangka dan narapidana teroris (Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019). Deradikalisasi tidak bisa masuk pada pencegahan. Artinya, deradikalisasi baru bekerja bila seseorang sudah selesai dan terbukti bersalah berencana atau melakukan tindak kekerasan.

Logika itu berimplikasi pada monopoli negara terhadap program deradikalisasi. Deradikalisasi hanya dilakukan oleh TNI dan POLRI. Ormas-ormas Islam, seumpama NU dan Muhammadiyah tak punya porsi cukup.

Perangkat hukum tak bisa banyak bicara pada pencegahan terorisme. Didominasi pula oleh cara-cara militerisme. Padahal, terorisme erat kaitannya dengan ideologi. Barang yang amat halus, tak kelihatan. Tapi mengendalikan perilaku dan kehidupan masyarakat.

Saya tak mengatakan bahwa program deradikalisasi itu buruk dan gagal. Karena kenyataannya ada beberapa mantan napiter yang kembali ke jalan yang benar. Bahkan membantu negara melakukan deradikalisasi. Tapi, kenyataan bahwa deradikalisasi tak seideal yang direncanakan, juga tak bisa ditepis. Terlebih lulusan deradikalisasi sekalipun ternyata mengakhiri hidupnya sebagai bomber.

Ruille Zeke dan Ulfa adalah peserta program deradikalisasi. Mereka mengikuti program itu dengan baik, bahkan mengesankan pendidik. Selepas lulus mereka menjadi bomber di Filipina. Sebuah gereja meledak pada 27 Januari 2019.

Ketika kemampuan program deradikalisasi tak sempurna, tak mencakup pencegahan, pun lulusannya tak menjamin beralih ideologi, maka logis bila masyarakat merasa terancam perihal rencana pemulangan WNI eks ISIS. Ingatan akan Mukhlas, Amrozi, Ali Imron, dan Imam Samudra yang eks kombatan Mujahidin Afghanistan bersama tragedi Bom Bali 1 dan 2 begitu saja hadir.

Tuan-tuan pembaca. Yang ingin saya sampaikan tak lah rumit. Bagaimana nanti kehidupan bermasyarakat di negeri ini, bila WNI eks ISIS dipulangkan. Sementara kita tak bisa memastikan nurani mereka, jujur ataukah berbohong. Kemampuan deradikalisasi negara pun belum ideal. Tak mencakup pencegahan. Pun yang telah lulus program radikalisasi tak menjamin "sembuh". Sedangkan sejarah kelam sudah pula menunggu. Bahwa ada kaitan antara eks kombatan dengan aksi terorisme.

Maka, WNI eks ISIS sebaiknya tak dipulangkan. Mereka hanya boleh dipulangkan jika sudah ada metode handal yang bisa memverifikasi keterangan mereka, bohong ataukah jujur. Dan program deradikalisasi sudah benar-benar kuat.

Tanpa dua syarat itu, tuan. Jangan pernah memulangkan mereka. Karena itu akan menjadi kebijakan yang fatal.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya