Mafia Peradilan: Penyakit Lama yang Terus Mengakar

Tatanan dunia hukum di Indonesia menghadapi tantangan besar akibat praktik mafia peradilan yang merusak supremasi hukum dan keadilan. Mafia peradilan, yang menjangkau berbagai tingkat proses hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan, mengaburkan keadilan dengan negosiasi uang dan intervensi yang merugikan masyarakat, terutama kalangan menengah yang berjuang mendapatkan keadilan sejati.
Mimpi supremasi hukum—di mana hukum berdiri di atas segalanya tanpa pandang bulu dan menegakkan keadilan secara adil dan independen—akan terwujud jika mafia peradilan dapat diberantas. Supremasi hukum bukan sekadar aturan tertulis, melainkan penegakan hukum yang tegas dan tanpa diskriminasi, yang melindungi hak setiap warga negara dari intervensi kekuasaan.
Menurut teori keadilan John Rawls, keadilan harus menjadi prinsip dasar dalam susunan institusi sosial dan politik, termasuk hukum, dengan memastikan kesetaraan kesempatan dan perlindungan bagi mereka yang kurang beruntung. Penerapan prinsip ini dalam penegakan hukum berarti tidak ada ruang bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dalam peradilan.
Meski harga yang harus dibayar untuk membangun tatanan hukum yang bersih dan taat hukum cukup mahal, hal ini penting demi menciptakan bangsa yang berlandaskan pada hukum yang adil dan menjunjung tinggi keadilan sosial. Dengan reformasi hukum yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat, serta penerapan teori heuristika hukum yang memandu hakim dalam membuat keputusan yang adil dan konsisten, cita-cita supremasi hukum dan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat dapat terwujud.
Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi supremasi hukum, mafia peradilan seharusnya tak mendapat ruang. Namun, realitas yang terjadi justru menunjukkan sebaliknya. Di Indonesia, praktik mafia peradilan masih menjadi bagian dari wajah buram sistem hukum kita. Keadilan kerap kali hanya bisa dibeli. Proses hukum tidak lagi berjalan berdasarkan kebenaran, tetapi berdasarkan kekuatan: kekuatan uang, kuasa, atau kedekatan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa hukum tidak sedang berpihak pada kebenaran, melainkan kepada mereka yang memiliki akses terhadap kekuasaan. Maka, perubahan tatanan dunia hukum yang bersih dari mafia peradilan bukan hanya mendesak, tapi wajib dilakukan jika bangsa ini ingin bangkit sebagai negara hukum yang sesungguhnya.
Mafia peradilan bukan hanya tindakan individu, tetapi bagian dari sistem yang sudah lama rusak. Penyuapan jaksa, intervensi terhadap putusan hakim, kriminalisasi oleh oknum aparat penegak hukum, hingga jual beli perkara menjadi praktik yang tak lagi asing di telinga publik.
Hal ini membuat hukum kehilangan fungsinya sebagai alat keadilan. Seperti yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, “Hukum seharusnya melayani manusia, bukan sebaliknya.” Namun, kenyataannya, hukum malah menindas manusia, terutama mereka dari kalangan lemah yang tidak memiliki akses untuk "membeli" keadilan.
Kasus mafia peradilan di Indonesia telah berlangsung dari masa ke masa dengan berbagai modus yang merusak tatanan hukum dan keadilan. Praktik ini melibatkan berbagai unsur penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga hakim di pengadilan tingkat pertama sampai Mahkamah Agung (MA). Modus operandi mafia peradilan biasanya berupa transaksi jual-beli putusan, pemerasan, penyuapan, pengaturan majelis hakim, hingga pemalsuan vonis.
Sejarah mafia peradilan mulai mencuat sejak era Orde Baru, ketika lembaga hukum berada di bawah hegemoni kekuasaan dan masyarakat sipil tak berdaya. Kasus-kasus besar yang terungkap mencakup penyuapan dalam perkara BLBI, pengaturan kasus Gayus Tambunan, dan berbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi hingga aparat rendah.
Kasus terkini yang menjadi sorotan adalah penangkapan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang menerima suap dalam perkara pembunuhan, serta mantan pejabat MA Zarof Ricar yang menyimpan uang tunai Rp 920 miliar dan emas batangan hasil pengurusan perkara selama satu dekade. Baru-baru ini, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga ditangkap atas dugaan suap Rp 60 miliar terkait kasus korupsi ekspor CPO, yang melibatkan perusahaan besar. Bahkan hakim agung pun tidak luput dari kasus suap dan gratifikasi.
Fenomena mafia peradilan ini menyebabkan inkonsistensi putusan dan melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Transparency International Indonesia menyoroti bahwa praktik korupsi di MA sangat sistemik dan melibatkan jaringan luas, sehingga menghambat penegakan hukum yang adil dan transparan.
Upaya pemberantasan mafia peradilan masih menghadapi kendala, termasuk keterbatasan wewenang satgas dan resistensi dari dalam institusi penegak hukum sendiri. Kasus-kasus yang terungkap sejatinya hanya puncak gunung es dari praktik korupsi yang mengakar kuat di sistem peradilan Indonesia.
Dengan demikian, mafia peradilan dari masa ke masa menunjukkan pola yang konsisten dalam merusak supremasi hukum dan keadilan, menuntut reformasi menyeluruh dan pengawasan ketat agar hukum benar-benar menjadi panglima dan keadilan dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat.
Dari perspektif teori hukum, perubahan harus menyentuh aspek moral, prosedural, dan struktural. Teori Hukum Alam menekankan bahwa hukum harus berpijak pada nilai keadilan dan moralitas. Mafia peradilan jelas melanggar nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu, reformasi hukum harus dimulai dengan membangun integritas dan etika para penegak hukum.
Pendekatan teori Positivisme Hukum juga mengajarkan bahwa hukum adalah apa yang ditetapkan oleh lembaga yang sah. Namun, ketika lembaga itu sendiri disusupi oleh mafia, maka keabsahan hukum kehilangan maknanya. Penegakan hukum harus dilakukan secara konsisten dan transparan.
Selain kedua teori diatas teori kritis melihat hukum sebagai alat kekuasaan. Di sinilah akar masalah mafia peradilan. Hukum dijadikan instrumen politik dan ekonomi oleh segelintir elite. Maka, perubahan harus menyasar pembongkaran struktur kuasa yang korup dan memperkuat pengawasan dari masyarakat sipil.
Digitalisasi Sistem Peradilan
Menurut penulis, salah satu langkah menuju supremasi hukum adalah mendorong untuk meciptakan digitalisasi sistem peradilan. hal ini untuk memperkecil peluang manipulasi dan meningkatkan transparansi proses hukum. Digitalisasi, seperti penerapan e-court dan e-litigation, memungkinkan pendaftaran perkara, pembayaran biaya, dan pelaksanaan sidang dilakukan secara elektronik, sehingga mengurangi interaksi fisik yang rawan korupsi dan kolusi. Sistem digital juga menyediakan catatan elektronik yang akurat dan mudah diaudit, memperkuat transparansi serta akuntabilitas dalam pengambilan keputusan hukum.
Selain itu, digitalisasi memudahkan akses masyarakat, terutama kelompok rentan dan yang berada di daerah terpencil, untuk mendapatkan layanan hukum tanpa harus menanggung biaya dan risiko perjalanan jauh. Informasi hukum dan putusan pengadilan yang dipublikasikan secara online juga meningkatkan keterbukaan dan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Dengan demikian, digitalisasi bukan hanya meningkatkan efisiensi dan keadilan, tetapi juga menjadi alat efektif dalam memberantas mafia peradilan dan praktik korupsi, sehingga mewujudkan supremasi hukum yang sesungguhnya. Mahkamah Konstitusi dan lembaga peradilan lainnya di Indonesia pun telah mengadopsi teknologi digital untuk mendukung visi peradilan modern dan terpercaya.
Disisi lain, mewujudkan tatanan hukum yang bebas dari mafia peradilan bukanlah perkara mudah. Ia menuntut keberanian politik, pembenahan sistem, dan transformasi budaya hukum secara menyeluruh. Namun, perubahan ini adalah harga yang layak dibayar demi terciptanya keadilan substantif bagi seluruh warga negara.
Supremasi hukum bukan sekadar slogan konstitusional. Ia adalah cita-cita yang hanya akan hidup bila hukum ditegakkan tanpa pandang bulu dan keadilan tidak lagi bisa diperjualbelikan. Perjuangan ini panjang, tapi setiap langkah ke arah perubahan adalah investasi bagi masa depan bangsa yang adil, bersih, dan bermartabat.
Singkatnya, perubahan tatanan dunia hukum yang bebas dari mafia peradilan adalah kunci untuk mewujudkan negara hukum yang sesungguhnya, di mana hukum menjadi panglima dan keadilan dapat dinikmati oleh semua, tanpa terkecuali.
Artikel Lainnya
-
141722/02/2020
-
141301/06/2021
-
197423/05/2020
-
Pilkada Sudah Dekat: Antara Filantropis dan Pansos
49911/03/2024 -
Pencerahan Spiritual: Etika Islam Al Ghazali Dalam Kehidupan Modern
58904/06/2024 -
Pembajakan Buku dan Rendahnya Kesadaran Menghargai Hak Cipta
263902/03/2020