Demokrasi, KLB Partai Demokrat dan Pelajaran Ke Depan
Beberapa hari belakangan ini, jika diamati, percakapan publik mulai hangat berkenaan dengan partai politik. Bagaimana tidak? Tentu semua tahu, konflik internal Partai Demokrat adalah yang teranyar di media sosial dan ruang publik hari ini. Kepemimpinan Agus Harimurti Yodhoyono (AHY) sebagai Ketua Partai Demokrat dikudeta oleh beberapa kader partai yang tidak puas dengan model kepemimpinan AHY.
Buntut dari ketidakpuasan tersebut berujung pada kegiatan Kongres Luar Biasa (KLB) oleh beberapa kader partai Demokrat yang digelar di Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumaat (5/3), dengan memutuskan Moeldoko sebagai ketua umum Partai Demokrat yang baru menggantikan AHY (Media Indonesia, 5/3/2021).
Ada banyak tudingan yang dilancarkan bahwa kegiatan KLB tersebut adalah illegal, tidak sesuai dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat. Oleh karena itu, penyelesaian konflik internal partai Demokrat minimal bisa diselesaikan secepat mungkin agar tidak dibesar-besarkan mengingat Pilpres 2024 sudah semakin dekat.
Lantas, apa jalan terbaik yang perlu ditempuh oleh kader partai untuk menyelesaikan persoalan ini? Bagaimana kita menyikapi konflik semacam ini dengan situasi demokrasi di Indonesia? Mengapa persoalan internal partai terus menguat pasca reformasi?
Jika merujuk pada logika dan mekanisme hukum, konflik internal partai seharusnya diselesaikan melalui Mahkamah Partai. Namun, jika belum ditemukan titik terang penyelesaian masalah, maka pengadilan adalah jalan terakhir yang ditempuh guna menyelesaikan persoalan ini agar tidak berlarut-larut.
Remuknya Demokrasi Partai
Jika membaca konflik internal partai Demokrat, KLB di Deli Serdang, Sumatera Utara, setidaknya menggambarkan dinamika dan watak demokrasi partai yang terus menguat pasca reformasi. Banyak pihak menilai, KLB yang diselenggarakan tersebut secara tidak langsung bisa menyeret demokrasi pada jurang otoriterianisme dalam tubuh partai.
Sebab, jika semua partai politik di Indonesia mengambil langkah-langkah semacam itu tanpa melalui regulasi dan mekanisme partai, bisa menyebabkan partai politik kita rentan terpecah. Hal ini tentu bisa melahirkan watak pragmatisme dan oportunisme di dalam partai politik itu sendiri. Bahkan, yang paling mungkin dari situasi semacam ini munculnya partai-partai yang berwatak oligarkis.
Dalam buku, Faksi dan Konflik Internal Partai Politik di Indonesia Era Reformasi, Aisah Putri Budiatri et.al (2018) mengatakan bahwa secara teoritis, terbentuknya faksi di internal partai dipengaruhi oleh dua faktor, internal dan eksternal. Faktor internal meliputi, nilai dan ideologi, kompleksitas sosiologis, struktur organisasi partai dan pola kepemimpinan elite partai. Faktor eksternal, meliputi, sistem kepartaian, sistem pemilu, pilihan koalisi dan kekuasaan, regulasi dan mekanisme penyelesaian konflik
Jika diamati konflik di internal partai Demokrat sekarang ini, kita menemukan dua faksi yang berbeda. Pertama faksi yang tetap mendukung AHY sebagai ketua partai dan kedua adalah faksi yang tidak puas dengan kepemimpinan yang ada sehingga mengambil langkah KLB dengan memilih Moeldoko sebagai ketua partai yang baru.
Faktor internal adalah yang paling mungkin menyebabkan mengapa faksi di internal Demokrat itu terjadi. Menurut saya, menguatnya faksi tersebut disebabkan oleh lemahnya nilai dan ideologi kader partai, yang menyebabkan kader partai bisa ‘seenaknya’ melangkahi AD/ART partai. Sementara pada sisi lain, saya melihat bahwa, struktur organisasi dan pola kepemimpinan elit yang menyebabkan mengapa KLB itu ada. Banyak tudingan yang mengatakan bahwa hal ini dipengaruhi karena kentalnya watak dinasti di dalam partai Demokrat.
Karena itu, konflik internal partai Demokrat, menurut saya menggambarkan dinamika partai politik yang tidak sehat. Sebab, jika kader-kader partai memiliki pandangan ideologis yang kuat, memiliki komitmen yang sama merawat partai dan sisi lain muncul rasa ketidakpuasan kader terhadap struktur partai dan kepemimpinan partai, menurut saya, kader partai bisa menyelesaikan konflik internal sesuai dengan regulasi dan mekanisme partai yang ada. Di sinilah sebenarnya dibutuhkan kerjasama dan kolaborasi di antara kader partai dalam rangka membangun dan membentuk wawasan partai yang visioner. Jika konflik seperti ini tidak segera disikapi oleh kader partai, saya meyakini, hal ini besar kemungkinan menyebabkan remuknya demokrasi partai.
Pelajaran Ke Depan
Konflik di internal partai Demokrat hari ini bukan hal baru bagi dinamika partai politik di Indonesia. Sebab, sejarah mencatat, ada begitu banyak kasus serupa yang pernah terjadi pada partai yang lain, seperti partai PDI-P, Golkar, PPP dan PKB. Namun, menurut saya, semua itu mesti disikapi secara dingin oleh kader partai, agar stabilitas dan demokrasi partai tetap terjaga dengan baik.
Ada yang sebenarnya menarik kalau kita mempertanyakan mengapa pasca reformasi partai politik rentan mengalami konflik internal dan bahkan stigma terhadap partai hanya sebagai kendaraan dalam Pemilu dan Pilkada justru menguat akhir-akhir ini. Dalam buku, Mengungkap Politik Kartel : Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, Kuskridho Ambardi (2009) memperlihatkan satu fenomena penting dari sistem partai politik di Indonesia, bahwa menurutnya, pasca reformasi partai politik di Indonesia justru terjebak dan terjerat ke dalam lingkaran politik kartel yang tujuannya hanya perburuan rente (rent seeking).
Ambardi juga mencatat bahwa, hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti sumber keuangan partai yang belum jelas, kaderisasi partai yang lemah, memudarnya kompetisi di antara partai pasca Pemilu dan Pilkada (Kuskridho Ambardi, 2009). Sehingga tidak mengherankan apabila kompetisi antar partai bersifat pragmatis, monoton, kurang menawarkan program perubahan dan berwatak oligarkis.
Oleh karena itu, konflik internal partai demokrat menurut saya harus menjadi pelajaran politik ke depan. Penataan dan tata kelolah partai, mulai dari perekrutan kader, penguatan ideologi partai, komunikasi di antara kader, kepemimpinan dan struktur partai serta regulasi dan mekanisme pengambilan keputusan partai harus diperjelas.
Sebab jika ini dibiarkan dan tanpa ada penyelesaian, konflik serupa juga akan terjadi pada partai yang lain. Sehingga terkesan partai politik di Indonesia hanya sibuk mengurus masalah internal. Sementara kerja bagi penguatan civil society yang kritis dan kerja-kerja demokrasi lainnya menjadi tanggung jawab partai.
Artikel Lainnya
-
3506/11/2024
-
134012/04/2021
-
95613/03/2022
-
Intaian Kapitalisme Bencana di Balik Lockdown
168623/03/2020 -
Gagap Investasi Saham di Kalangan Muda: Gelora di atas Literasi
67201/07/2021 -
Pamuk: Semua Orang Benar Sebagian
165225/12/2019