Isu, Panik, dan Krisis Kepercayaan
Tulisan ini mulai diketik pada tanggal 1 September, tepat di hari ulang tahun saya. Setelah menelaah kondisi yang belakangan terjadi—baik keriuhan di media sosial maupun di jalanan—akhirnya uneg-uneg ini saya tuangkan dalam tulisan sederhana.
Banyak orang tidak belajar dari sejarah. Padahal, sejarah bukan sekadar masa lalu untuk dikenang, melainkan pola yang berulang, sebagaimana Nietzsche mengatakan bahwa segala sesuatu bersifat siklus. Ia memberi kita peringatan, bukan hanya agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama, tetapi juga untuk menebak apa yang mungkin akan datang.
Hari ini, di Indonesia ramai dengan tagar “Bubarkan DPR”, “Indonesia Gelap”, hingga “RIP Democracy”, ketiganya bukan lagi asing. Indonesia, negeri yang cantik ini, sedang tidak baik-baik saja. Aspirasi masyarakat yang diabaikan pemerintah berujung pada tewasnya rakyat sipil dalam aksi unjuk rasa. Ditambah, munculnya provokator yang merusak fasilitas umum, mengalihkan kemarahan vertikal terhadap pemerintah menjadi konflik horizontal sesama rakyat—persis seperti peristiwa 1998. Pertanyaannya: mengapa pola ini berulang? Apa agenda di baliknya?
Di sinilah “proxy war” dan “post-truth” bermain. Indonesia adalah negeri yang kaya, baik dari segi sumber daya maupun geopolitik, tapi perang antar negara kini kecil kemungkinannya. Maka sumber daya negeri ini lebih sering direbut dengan cara halus: menyalakan konflik internal agar bangsa ini sibuk mengurus luka sendiri, sementara pihak luar—baik negara super power maupun elit global—menuai keuntungan.
Menurut Encyclopedia Britannica, proxy war adalah perang antarnegara besar yang menggunakan negara kecil sebagai bonekanya. Lebih dekat dengan kita: konflik yang mengobarkan kemarahan rakyat terhadap pemerintah, hingga menimbulkan perang saudara, juga bagian dari proxy war. Contoh nyata ada pada peristiwa Arab Spring, revolusi di Syria dan Afghanistan, hingga 1965 dan 1998 di Indonesia.
Sederhananya, proxy war dapat digambarkan sebagai dua anak besar yang bermusuhan namun tak berkelahi secara langsung, karena sama-sama bisa terluka parah. Alih-alih, mereka malah menyulut dua anak kecil untuk bertarung mewakili mereka, dengan iming-iming hadiah. Anak kecil itu adalah negara-negara seperti kita.
Sejarah telah mencatatnya. Pada perang saudara di Syria, rezim Bashar al-Assad dibantu oleh Rusia sementara pihak oposisi ditopang Turki. Indonesia pada 1965, dengan Soekarno yang condong ke PKI mendapat simpati Soviet dan Tiongkok, sementara Soeharto menyingkirkan PKI dengan dukungan Amerika. Itu bukan sekadar politik dalam negeri, melainkan perpanjangan Perang Dingin. Begitu pula pada tahun 1998, krisis moneter Asia yang dimulai di Thailand dimanfaatkan IMF dan korporasi global. Di Indonesia, kemarahan rakyat melawan Soeharto yang berkuasa tiga dekade diarahkan bukan hanya ke atas, tetapi juga ke samping, dengan etnis Tionghoa dijadikan kambing hitam.
Pelajaran dari sejarah ini jelas: bila masyarakat tidak hati-hati, mudah terprovokasi, maka masyarakat pulalah yang menanggung kerugiannya.
Kini, tanda-tanda itu muncul lagi. Kebijakan tunjangan pejabat yang tidak masuk akal, UU yang lahir mendadak, aspirasi rakyat yang ditutup, hingga rusaknya aksi damai oleh oknum. Aspirasi vertikal dilencengkan jadi benturan horizontal antara aparat dan sipil. Adakah yang merasa bahwa taktik halus sedang dimainkan di sini?
Malangnya, saat ini melihat situasi dengan jernih semakin sulit karena kita hidup di era post-truth. Emosi mengalahkan fakta. Bukan hal baru sebenarnya—sejak abad pertengahan para raja dan pemimpin agama sudah memainkan emosi rakyat lewat mitos dan simbol. Bedanya, dulu informasi menyebar lambat; kini cukup satu postingan di media sosial dengan satu tagar, dan dalam semalam saja informasi bisa tersebar masif.
Banyak pihak menyuarakan pendapat bukan dengan data mentah, baik itu media, pemerintah, hingga influencer. Terkhusus para influencer, kebanyakan hanya menyuarakan asumsi yang mereka percayai. Akibatnya fakta menjadi kabur, hasilnya publik mengambil keputusan bukan dari apa yang benar, tapi dari siapa yang mereka sukai.
Bias informasi ini berbahaya. Pemerintah, elit, influencer, bahkan pakar yang memihak, semua bisa membuat masyarakat bingung pada apa yang sebenarnya mereka inginkan.
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Pertama, jadilah masyarakat yang kritis. Jangan mudah percaya, karena sejauh sejarah mencatat, tidak ada kebaikan yang benar-benar gratis—selalu ada motif di baliknya. Kedua, berusahalah untuk tidak terjebak dalam dua kubu ekstrem: pasrah pada keadaan atau bereaksi buta. Mulailah berdialog dalam komunitas kecil yang jujur melihat realitas lapangan, meski suaranya kerap tenggelam. Ketiga, jauhi manipulasi siapa pun yang punya banyak pengikut. Mungkin ini terdengar menakut-nakuti, namun sebagai masyarakat kita harus tahu bahwa perpaduan marah, takut, dan nasionalisme bisa jadi senjata berbahaya bila dimainkan di waktu salah.
Sekarang situasi semakin chaos. Tapi belum terlambat untuk menyuarakan yang benar, bukan sekadar jadi pengikut buta. Jika tagar bisa menyebar opini dalam semalam, gunakan itu sebagai senjata balik: isi tagar dengan kisah nyata rakyat, pengalaman pribadi, suara hati masyarakat bawah. Algoritma tidak peduli siapa yang bicara, hanya seberapa banyak yang bicara. Dengan begitu, “the real people’s voice” bisa terdengar, membedakan suara hati rakyat dari slogan buatan mereka yang hanya ingin naik pamor.
Artikel Lainnya
-
372812/11/2022
-
33230/11/2024
-
2461216/11/2023
-
Karugrag dan Tentang Seimbang di atas Gelombang
297429/06/2021 -
Adakah Madah Requiem Bagi Lia Eden?
151312/04/2021 -
Presiden (harus) Menghormati Rakyat
188014/10/2019
