Internet, Pandemi, dan Generasi Muda

Internet, Pandemi, dan Generasi Muda 21/07/2020 1210 view Pendidikan Pexels.com

Pandemi covid-19 tengah melumpuhkan dunia. Manusia sebagai makhluk yang rentan, diminta banyak beraktifitas di rumah. Kalaupun keluar, protokol kesehatan wajib dipatuhi dengan seksama.

Saat ini, meskipun sudah mulai diterapkan new normal, bekerja dari rumah masih pilihan utama. Situasi ini membuat banyak orang berinteraksi melalui internet.

Kebiasaan baru ini acap kali membuat banyak orang jatuh dalam kejenuhan. Internet yang di dalamnya berisi beragam bentuk media sosial kadang menjadi tempat pelampiasan, meskipun tidak selalu. Misalnya, aneka video tik-tok membanjir di sosial media. Mayoritas penggunanya anak muda, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa anak kecil dan orang tua pun ikut juga

Saya tidak mau menghakimi bahwa ini kurang tepat ataupun salah, karena bisa jadi itu hanya sarana merilekskan diri setelah lama bekerja di rumah.

Misalkan saja, jika para tiktokers (pengguna tik-tok) ini sekedar menyegarkan pikiran, itu sah-sah saja, asalkan sopan dan tidak berlebihan. Sebaliknya, jika tik-tok menjadi tempat penghabisan waktu sepanjang hari, entah untuk dipuji, dikenal, atau diberi like, ini berbahaya.

Bayangkan saja, apa yang akan terjadi jika generasi muda bangsa ini sukanya main tik-tok saja atau berselancar di dunia maya sampai tak kenal batas? Padahal, sebagai orang yang lebih bertanggung jawab atas masa depan mereka sendiri, mereka harus mulai memikirkan apa yang harus dilakukan pasca krisis covid-19 ini atau di era new normal sekarang ini.

Mimpi

World’s Most Literate Nations Ranked, melalui risetnya yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, menempatkan Indonesia di posisi ke-60, dari 61 negara, dalam hal minat baca. Menurut data itu, minat baca rakyat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya dari 1.000 penduduk Indonesia, hanya satu yang rajin membaca.

Situasi ini tentu amat menggemaskan. Bagaimana tidak, iming-iming bonus demografi dan generasi emas Indonesia di tahun 2045, bisa saja hanya mimpi di siang bolong. Lebih lanjut, bila benar banyak generasi muda yang di masa-masa ini menghabiskan lebih banyak waktu di depan screen laptop ataupun gawai, entah untuk tik-tok atau media sosial lainnya berjam-jam, tentu bisa dibayangkan jadi apa Indonesia nantinya. Mimpi generasi emas bisa gagal terealisasi.

Dunia Buku

Ketika bersekolah di Surabaya dan tinggal bersama KH. Tjokroaminoto, mantan Presiden pertama kita Soekarno, lebih memilih menghabiskan banyak waktu di perpustakaan, ketimbang bermain dengan teman-temannya. Ia membaca karya-karya besar dari tokoh-tokoh seperti Jean Jaures, Jean Jacques Rousseau Abraham Lincoln, dan sebagainya.

Ia mengisahkan bahwa dengan membaca ia merasa bertemu, bertukar pikiran, dan berdialog langsung dengan tokoh-tokoh tersebut (Cindy Adams: 2017). Ketika di penjara di Ende maupun Suka Miskin pun demikian. Ia menghabiskan waktunya dengan buku. Melacak ide dan membangun perspektif progresif membangun bangsa nantinya.

Bila kita lacak lebih jauh lagi, para founding fathers kita umumnya kutu buku. Salah satu yang terkenal adalah Hatta. Hatta sendiri pun pernah berkata, “Aku rela dipenjara, asalkan dengan buku. Karena dengan buku aku bebas.” Di penjara Hatta tetap berselancar di dunia buku.

Pengapnya bui, terbatasnya komunikasi, dan situasi hidup yang ekstrim tidak membuat ia rebahan ataupun tidur saja. Di sana ia merenung, membaca, membangun dan memupuk keutamaan dan merancang pemikiran-pemikiran brilian yang akan diperjuangkan setelah masa tahanan selesai.

Jika di masa muda dan di bui founding fathers kita demikian, bagaimanakah dengan kita, generasi muda?

Saya tidak mau mengatakan bahwa semua generasi muda Indonesia ini tidak ada yang menjanjikan. Karena bagaimanapun juga ada sebagian anak muda yang sudah luar biasa, seperti beberapa penulis ini misalnya, Mario F. Lawi, Dea Anugrah, Faisal Oddang, dan masih banyak lagi. Artinya di tengah keprihatinan rendahnya minat baca di Indonesia, masih ada anak muda yang memberi secercah terang untuk masa depan intelektualitas bangsa ini.

Namun, menyerahkan tanggung jawab sebesar itu pada pundak hanya 1 dari 1.000 orang itu tidak seimbang. Berat sekali dan tidak mungkin. Butuh banyak orang-orang muda yang brilian dan hebat. Jika tidak, sekali lagi generasi emas 2045 hanya ilusi indah saja.

Bijak di Waktu Senggang

Masa-masa karantina atau New Normal ini di mana masih banyak hal dikerjakan dari rumah, kiranya senggangnya waktu bisa dimanfaatkan dengan bijak entah dengan membaca, menulis, atau hal-hal yang mengembangkan kautamaan lain. Jangan sampai cap bahwa kita generasi rebahan itu benar. Oleh Karena itu, mari buktikan cap sebagai “generasi rebahan” itu salah besar!

Bisa kita renungkan sendiri, akan jadi apa bangsa kita, jika sebagai generasi penerus bangsa waktu kita habis dikuras nafsu berselancar di dunia maya, main tik-tok, mengemis like dan pujian sementara. Kita perlu segera bertransformasi. Jika tidak, akan ada banyak kesulitan hidup yang melumpuhkan kita di kemudian hari. Ingat itu tanggung jawab kita!

R. A. Kartini pernah berkata, “Jangan mengeluhkan hal-hal buruk datang dalam hidupmu. Tuhan tidak pernah memberikannya, kamulah yang membiarkannya datang.”

Semoga kisah dan inspirasi kedua founding fathers kita di atas menggerakkan kita untuk mengisi waktu muda kita, termasuk di masa pandemi ini dengan baik.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya