Impotensi Ekonomi dan Kultur Serapan Pandemi

Founder Ruangan Filsafat
Impotensi Ekonomi dan Kultur Serapan Pandemi 06/11/2023 330 view Ekonomi https://pin.it/7daCkI5

Ekonomi merupakan salah satu roda kehidupan di dalam masyarakat, bahkan ketika terjadi destruksi besar-besaran berlangsung, misalnya Perang Dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua terjadi. Aspek ekonomi tidak dapat ditinggalkan karena perang membutuhkan biaya yang sangat besar dan tidak jarang setiap negara mengalihkan aktivitas ekonominya dapat memproduksi persenjataan dan tidak mengehentikan aktivitas ekonomi. Terlebih lagi masyarakat sipil membutuhkan ekonomi yang terus berputar agar mereka mampu membiayai keperluan hidup mereka di tengah kondisi yang kacau atau stabil.

Hal yang paling mendasar dalam ekonomi adalah nilai—apabila kita merujuk pada konsep ekonomi klasik, dan akan berbeda konsep ketika berbicara dalam konteks ekonomi modern atau neo-klasik—dan hal itu pula yang menjadi ontologis dari ekonomi, di mana Adam Smith, David Ricardo, dan Karl Marx, mereka masing-masing meneruskan dan memperbaiki teori tentang nilai—sama-sama penganut dan mengimplementasikan teori nilai-kerja—sehingga saat ini ketika hendak menggerakkan roda perekonomian, nilai suatu barang menjadi sangat penting dan tidak dapat dilepaskan dari dinamika produksi dan kerja yang dibutuhkan.

Akan tetapi, konsep nilai-kerja tersebut tidak lagi menjadi penentu seberapa penting dan tingkat harga yang akan diatribusikan pada suatu barang, namun semua berdasarkan dengan utilitas atau preferensi dari konsumen, sehingga hal ini mendorong analisa ekonomi yang bertendensi pada konsep psikologis dan neuroeconomy. Apakah kita menyadari bahwa permintaan dan penawaran pada dasarnya ditentukan oleh “mindset” atau “cara berpikir” dari seseorang, dan bukan dari kondisi yang sesungguhnya di lapangan. Akan tetapi, saat ini kita tidak akan menjelaskan bagaimana paradok di dalam pemintaan dan penawaran.

Perekonomian dan Black Swan Theory

Tidak ada seorang pun yang akan menduga bahwa di tahun 2019, wabah Covid-19 menjadi salah satu fenomena Black Swan yang mampu mengguncang sektor ekonomi dengan begitu hebat hingga menimbulkan krisis yang masih terasa hingga saat ini di beberapa negara—hal ini berkaitan dengan kondisi stagflasi—mirisnya setelah kejadian tersebut berlangsung, banyak masyarakat yang masih menyimpan trauma dan dengan sangat ketat membelanjakan uangnya, dengan harapan jika terjadi suatu kondisi yang sama dalam waktu yang dekat, maka mereka memiliki cukup uang dan sumber daya untuk bertahan hidup.

Akan tetapi apakah hal ini adalah langkah yang bijak? Tentu saja tidak. Penghematan yang bersifat ekstrem bukanlah suatu langkah yang bijak jika dipandang dalam aspek ekonomi sirkular. Negara atau masyarakat mengharapkan roda perekonomian dapat berjalan sebagaimana mestinya tanpa adanya hambatan yang berarti, tetapi pada titik tertentu masyarakat yang mengamankan sumber daya mereka dengan konsumsi rendah pada sektor jasa akan menimbulkan permasalah serius pada tahapan perkembangan perekonomian pasca fenomena Black Swan.

Saat ini kita tidak akan berbicara tentang data yang mungkin akan berbeda-beda pada setiap negara, namun saat ini kita perlu melihat bahwa terdapat perubahan kebiasaan masyarakat sebelum dan setelah wabah Covid-19 berlangsung. Preferensi masyarakat atau konsumen berubah dari yang begitu cepat atau dinamis dalam membeli dan menikmati jasa prestige atau reguler yang ada di dalam masyarakat, misalnya jasa ojek online, jasa pijat atau spa, jasa photographer, dan sebagainya. Menjadi masyarakat yang lebih fokus pada pergerakan mandiri dengan mengalihkan preferensi mereka pada kemampuan dan sumber daya yang mereka miliki, di mana hal ini mengorbankan beberapa bidang jasa yang telah disebutkan di muka.

Tidak ada kepastian yang dapat kita dapatkan di tengah-tengah kondisi yang tidak stabil, setiap masyarakat pada dasarnya berusaha untuk menyelamatkan diri mereka masing-masing, dan hal ini tidak sepenuhnya keliru—merupakan hal yang sangat alamiah karena manusia dibekali dengan defense mechanism—untuk dipermasalahkan “jika dan hanya jika” dilakukan dalam waktu yang terbatas atau pada saat krisis baru dimulai karena belum ada kemampuan yang memadai bagi setiap orang untuk mengkoordinasikan sumber daya yang mereka miliki, bahkan jika dipaksakan melalui komando pemerintah.

Ekonomi yang Impoten dan Black Swan Effect

Ekonomi diharuskan berada pada performa tertinggi, kata seseorang yang mungkin begitu optimis, namun perlu kita perhatikan, bahwa tidak selamanya perekonomian akan selalu berada performa yang bagus atau tinggi, tetapi ada masa di mana perekonomian tidak berada pada performanya yang bagus atau tinggi sehingga hal ini menjadi sebuah keharusan bagi setiap orang untuk mengerti dan mengantisipasi keadaan tersebut—impotensi tersebut biasanya terjadi setelah terjangan hebat dari krisis di suatu wilayah—agar tidak kaget karena ada perubahan kebiasaan hidup setelahnya.

Terbukti bahwa hari ini masyarakat kita sudah mulai berubah ke dalam suatu fase baru di dalam masyarakat ekonomi yang dikenal sebagai konsumen pertapa atau masyarakat pertapa—perlu kita luruskan dan menyamakan persepsi bahwa konsumen pertapa atau masyarakat pertapa bukanlah kondisi masyarakat yang melakukan kontemplasi pada waktu tertentu untuk mendapatkan ketenangan batin, namun hal ini terjadi sebagai akibat perubahan preferensi konsumen dari konsumsi jasa-jasa prestige atau reguler tertentu menjadi konsumsi barang yang menyebabkan sebagian sektor atau pihak penyedia jasa menjadi collapse.

Di beberapa negara yang pernah mengalami lockdown parah atau dalam tingkat yang sangat ketat, misalnya di China, Indonesia, Amerika Serikat, atau Inggris. Perubahan keadaan masyarakat hedonis menuju pertapa begitu terasa sehingga banyak sektor jasa yang terpengaruh. Hal ini sangat berbeda di dalam masyarakat yang tidak merasakan lockdown yang begitu ketat sehingga hal ini tidak menjadi suatu kultur baru dan hanya gelombang kecil yang mudah diatasi oleh kebijakan moneter atau fiskal di negara masing-masing.

Masyarakat yang sebelumnya begitu aktif untuk menginap di hotel, menggunakan taksi, makan di restoran mewah, atau berkunjung ke tempat spa. Seketika beralih mengalokasikan dananya pada barang-barang yang menjadi substansi penting di dalam masyarakat, misalnya seseorang yang terbiasa berkendara menggunakan ojek online untuk ke suatu tempat, setelah pandemi Covid-19 terjadi, kondisi tersebut berubah. Di mana orang-orang cenderung menggunakan kendaraannya sendiri untuk “menjaga” keamanan mereka, tidak jarang di antara mereka dengan sengaja membeli sepeda dibandingkan memanfaatkan jasa ojek online untuk berpergian. Di satu sisi untuk melakukan penghematan biaya, di sisi lainnya mereka masih menerapkan kebiasaan hidup sehat ketika pandemi Covid-19 masih berlangsung.

Selain itu, biasanya seseorang pergi ke gym untuk menyewa peralatan angkat beban, namun setelah pandemi Covid-19 terjadi, banyak dari mereka yang membeli peralatan gym sendiri. Kondisi tersebut menyebabkan melemahnya sektor jasa dan melambannya pertumbuhan ekonomi, sehingga hal ini menimbulkan istilah “pertapa” karena secara fundamental masyarakat tidak aktif dan cenderung berkontemplasi pada sektor perdagangan barang yang menimbulkan impotensi ekonomi tingkat lanjut pada negara dengan kultur baru tersebut.

Bagaimana dengan Kita?

Di Indonesia sendiri terdapat tendensi pada masyarakat pertapa atau konsumen pertapa, hal ini masih dapat kita lihat perbandingan pertumbuhan penyedia jasa di tahun 2019, 2020, dan 2023, secara berturut-turut adalah: 10,25%, 4,10%, dan 8,90%. Dalam hal ini, dapat kita lihat bahwa pertumbuhan pada sektor jasa lainnya—tidak termasuk jasa perusahaan—meski masih terdapat peluang keberlanjutan bagi masyarakat untuk tetap berada di dalam fase konsumen pertapa. Pada titik ini, khususnya di Indonesia, sektor jasa masih berupaya untuk berkembang hingga membalikkan keadaan agar sektor jasa kembali diminati, mungkin salah satu motif bagi sebagian masyarakat kita yang dapat mendorong sektor jasa adalah konsep “healing” yang digaungkan oleh beberapa kawula muda, namun—sekali lagi—apakah konsep healing adalah cara yang tepat? Atau justru menjadi celah bagi hedonisme agar kembali merajalela? Mari kita pikirkan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya