Kritik Terhadap Kapitalisme Baru dalam Paradigma Kritik Ideologi

Orang yang terjebak
Kritik Terhadap Kapitalisme Baru dalam Paradigma Kritik Ideologi 29/01/2023 382 view Politik cendekia.news

Kemajuan teknologi serta bebasnya pasar dagang di seluruh dunia telah membuat setiap negara kehilangan batas-batas kebudayaan. Hal ini pada akhirnya terjadi akulturasi yang melahirkan budaya-budaya baru yang kita kenal sekarang. Misalnya budaya memakai pakaian ala kebarat-baratan yang dikenal dengan istilah jamet. Budaya toxic (bicara kotor) di antara kaum muda. Sampai budaya membuat orang terkenal lewat video atau yang lebih dikenal sebagai budaya viral. Budaya viral atau viralisme yang muncul di era ini tidak terlepas dari pengaruh poskolonial dan posmodernisme yang muncul di abad kedua puluh.

Keadaan yang seperti ini memunculkan pertanyaan apakah salah jika kita mengikuti tren zaman? Apakah salah jika kita memiliki kebudayaan baru yang lebih bagus dari budaya kita? Dan apakah salah mengikuti perkembangan zaman?

Pada dasarnya mengikuti tren dan perkembangan zaman memang tidak ada salahnya. Tidak ada salahnya juga memiliki kebudayaan baru. Namun hal itu menjadi salah ketika semua kegiatan mengikuti perkembangan dan budaya baru tersebut mendominasi kebudayaan serta pola pikir bangsa.

Kita sebagai bangsa timur memiliki kebudayaan untuk bersikap sopan santun dalam berkata-kata. Namun karena mengikuti zaman dan tren budaya tersebut menjadi hilang karena dominasi budaya baru yang mereka sebut sebagai toxic (berkata-kata kasar). Kita juga memiliki budaya untuk menghargai dan memberi apresiasi terhadap orang-orang yang berprestasi. Akan tetapi budaya ini juga perlahan menghilang karena budaya viralisme kebodohan. Memang tidak ada salahnya memviralkan sesuatu yang membuat kita merasa senang. Namun kita juga melupakan fakta bahwa internet yang kita gunakan itu bukan hanya sebagai tempat bersenang-senang tetapi juga sebagai tempat mencari ilmu dan wawasan.

Budaya viralisme kebodohan yang saya nyatakan tadi telah mendominasi bahkan mengeleminasi budaya apresiasi yang kita miliki. Orang-orang lebih senang membagikan kebodohan-kebodohan orang lain ketimbang membagikan dan mendukung prestasi orang yang mengharumkan nama bangsa. Kita lebih senang melihat orang yang lebih bodoh dari kita dan mentertawakannya ketimbang melihat orang yang lebih pintar dari kita mengharumkan nama bangsa.

Keadaan ini muncul karena mentalitas kita yang tidak siap dalam menghadapi kemajuan zaman. Selain itu kapitalisme yang semakin merajalela menyebabkan batas-batas antar negara dalam semua aspek kehidupan menjadi hilang. Hal ini dapat terjadi karena munculnya media sosial yang senantiasa menjadi sebuah pasar international tempat bertemunya semua arus informasi dari seluruh dunia. Dan terjadilah sebuah ironi yang saya sebut sebagai ironi kebodohan. Dimana orang bodoh berkumpul bersama orang bodoh. Dan orang pintar berkumpul bersama orang pintar. Jurang jarak pun tidak hanya terjadi di antara orang miskin dan kaya lagi. Melainkan di antara orang pintar dan orang bodoh. Inilah yang disebut sebagai era baru kapitalisme. Atau yang lebih tepatnya era kapitalisme baru. Sekarang dominasi kapitalisme tidak hanya mendominasi ekonomi dan ideologi. Lebih dari itu kapitalisme juga mendominasi budaya dan informasi.

Kapitalisme baru juga mempengaruhi kaum muda yang menjadi generasi penerus suatu bangsa. Kapitalisme baru dengan segala tipu dayanya dan dominasinya lewat media sosial telah mematikan jiwa-jiwa percaya diri dan kreatifitasnya. Hal ini menyebabkan banyak kaum muda di era milenial ini menjadi pribadi yang menjadi generasi minderan dan toxic. Pembullyan terjadi dimana-mana, budaya toxic menyebar lebih cepat, semua karena kapitalisme baru yang saya katakan tadi. Apakah ini salah generasi muda era milenial? Mengapa mereka tidak menjadi seperti generasi sebelum mereka? Tidak ada yang salah dari generasi muda diera milenial. Yang salah dan menyebabkan semua ini adalah kapitalisme baru yang menghancurkan mereka dari dalam dan luar diri mereka.

Kapitalisme baru telah membunuh satu generasi bangsa kita dengan bermacam-macam cara, salah satunya budaya viralisme. Memang tidak semuanya generasi era milenial telah rusak namun sebagian besar telah kehilangan jati dirinya sebagai generasi penerus bangsa. Tidak ada yang bisa kita lakukan kepada gelas keramik yang sudah retak, memang tidak pecah. Akan tetapi ia juga sama halnya dengan gelas keramik yang sudah pecah, sama-sama tidak dapat menampung air. Begitulah analogi generasi era milenial memang tidak rusak semua. Namun sekali lagi sama saja.

Oleh karena itu, jalan satu-satunya supaya generasi kita bisa selamat dari kehancuran adalah membendung bahkan melawan kapitalisme baru. Kita sebagai generasi bangsa harus bersama-sama melawan reifikasi, dominasi dan hegemoni kapitalisme baru ini. Bagaimana caranya? Carannya adalah dengan memperkuat kecintaan kita terhadap Pancasila. Misalnya menggunakan produk-produk dalam negeri dan memperbanyak literasi. Hal ini dapat membantu kita menghentikan dominasi kapitalisme baru dengan memperkuat kualitas diri.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya