Indonesia, Antara Mitos dan Kutukannya
Jika sebuah pertanyaan singkat diajukan, "Apa persepsimu tentang Indonesia?" Barangkali disertai dengan busungan dada dan dagu yang terangkat, mayoritas dari kita akan dengan sigap dan penuh keyakinan menyatakan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar.
Persis, sebagaimana narasi Pesiden Jokowi dalam setiap pidato kenegaraan di berbagai forum. Menurutnya, bagaimana tidak demikian, jumlah penduduknya terbanyak ke-4 di dunia, bentangan wilayah dan garis pantainya sangat luas, keragaman budaya lebih dari 700 suku dan 1000 bahasa, disertai melimpahnya sumber daya alam.
Negara besar nun kaya, begitulah singkatnya mitos mengenai Indonesia. Sebagaimana Koes Plus secara hiperbola menganalogikannya. Dengan tongkat, batu, kail, dan jala saja, di Indonesia ini, rejeki akan datang dengan sendirinya. Bagaimana tidak bangga kita dibuatnya. Karenanya kita memilih untuk meyakininya.
Tapi tunggu dulu, pernahkah anda menguji keyakinan itu? Benarkah Indonesia adalah negara besar? Ataukah asumsi ini hanyalah perasaan narsisme kita saja sebagai warga negara? Nyatanya, keyakinan tersebut baru bisa teruji hanya jika kita telah meninggalkan Indonesia.
Juli lalu saya melakukan perjalanan akademik ke barat jauh, Belanda. Sebagai mahasiswa dengan beasiswa pas-pasan, perjalanan double transit menjadi pilihan yang musti saya tempuh. Saya transit di Bandara Guangzou dan Beijing Cina. Terbatasnya informasi di internet, menghantarkan saya pada kesimpulan bahwa pengajuan visa tidak diperlukan. Double transit akan memberikan kita temporary visitor visa secara otomatis.
Diluar dugaan, ketika melewati keimigrasian Cina untuk pengajuan temporary visitor visa, saya mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Seorang petugas mengangkat paspor saya tinggi-tinggi sambil berbicara lantang bahwa paspor Indonesia adalah paspor lemah. Dan menurutnya tidak mungkin negaranya akan memberikan visa bagi mereka pemegang paspor hijau, yang saat itu dihentak-hantakkannya ke arah langit.
Sontak semua orang yang berada di bandara Guangzo tengah malam itu mengarahkan perhatiannya pada saya. Apa reaksi saya? punyakah saya pilihan lain selain tetap menjaga sikap sebagai tamu di negeri orang?
Guncangan rasa nasionalisme itu belum selesai. Ternyata saya tidak dibiarkan meninggalkan Cina dengan mudah. Ketika hendak meninggalkan Beijing, lagi-lagi saya tertahan di imigrasi. Paspor saya diminta seorang petugas diikuti dua petugas yang datang kemudian menuju suatu ruangan khusus. Dengan sigap mereka menghadap komputernya masing-masing sambil sesekali diskusi serius, nampak sibuk mencari sesuatu yang penting dari seseorang yang identitasnya tercantum di paspor hijau itu.
Saya relatif tenang karena tahu ending-nya. Informasi penting apa yang hendak diperoleh dari emak-emak hobi masak yang kebetulan nyambi jadi mahasiswa ini?
Tidak ada yang mengkhawatirkan saya tengah malam itu selain jam boarding yang akan segera habis. Setelah hampir 2 jam menunggu sambil terkantuk-kantuk, paspor saya dikembalikan. Seperti dugaan semula, tanpa bicara sepatah kata pun, petugas imigrasi mengembalikan paspor saya seolah-olah seperti teman yang baru saja meminjam catatan kuliah.
Saya cukup kaget mendapatkan perlakuan "istimewa" itu. Bagaimana bisa warna paspor bisa menentukan perlakuan suatu negara terhadap warga negara lainnya. Saya kira saya bukanlah yang pertama, beberapa teman juga pernah mengeluhkan kesulitan mereka mendapatkan visa dari negara lain, terutama UK dan US. Sementara teman-teman sekelas saya di Taiwan, bebas keluar masuk US tanpa visa sekalipun.
Di dalam pesawat yang baru saja take off menuju Belanda, saya termangu lama, hingga pramugari membuyarkan lamunan saya karena hendak memastikan apakah saya sedang baik-baik saja. Setelah keluar dari Indonesia, barulah saya sadari mitos Indonesia sebagai negara besar ternyata tak sebesar yang saya kira.
Jika negara besar itu benar adanya, tentulah Indonesia akan dihargai, disegani, dan memiliki daya tawar yang tinggi dalam pergaulan international.
Lalu benarkah mitos Indonesia negara kaya? Lalu mengapa kekayaan tersebut tidak bisa menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar? Salahkah Koes Plus membuat lagu?
Alih alih menjadi sumber kesejahteraan, kekayaan alam senyatanya menimbulkan berbagai permasalahan pelik. Indonesia telah dikutuk oleh kekayaan alamnya sendiri. Sebagaimana tesis Richard Auty (1993), “negara-negara dengan sumber daya alam (SDA) melimpah cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi yang lambat dibanding negara-negara tanpa sda”.
Tesis ini menemui fakta empirisnya. Sebagaimana di Indonesia, kekayaan alam yang menjadi sumber penderitaan bagi masyarakatnya juga tergambar nyata di Afrika Selatan dan negara-negara timur tengah. Sebaliknya, ditengah ketiadaan sumber daya alam Swiss, Belgia, Belanda, Jepang, Taiwan maupun Korea Selatan mampu mengembangkan perekonomian dan daya tawarnya dimata international.
Bagaimana bisa, kekayaan mendatangkan kutukan?
Berlimpahnya sda telah mendatangkan kutukan bagi Indonesia dalam tiga rupa. Pertama, rendahnya daya saing manusia Indonesia. Sebagaimana mitos yang diyakini, SDAseolah menjanjikan kepastian kesejahteraan. Sumber daya manusia kemudian difokuskan untuk mengekstraksinya. SDA seketika dijadikan sandaran kesejahteraan. Sialnya, ketika sda telah habis, selesai pulalah harapan kesejahteraan itu. Meninggalkan manusia-manusia tak berdaya saing di sektor lainnya.
Sebaliknya, menyadari tak memiliki SDA untuk survive, negara dengan ketiadaan SDA mengandalkan kemampuan manusianya untuk menggerakkan motor perekonomian. Industri kreatif ditumbuhkan dan teknologi dikembangkan. Selama warga negaranya dapat terus berfikir dan berkreasi maka sustain pula perekonomiannya.
Rupa kedua dari kutukan SDA adalah kerusakan lingkungan, bencana dan konflik. SDA dan kerusakan lingkungan bagaikan dua sisi mata uang. Lingkungan seringkali dikorbankan untuk memgeluarkan kekayan alam dari perut bumi. Menurut Kompas (2012), 70% kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia merupakan akibat dari operasi tambang. Pertambangan menghasilkan limbah air, tanah dan udara sehingga merusak sumber kehidupan dan kesehatan masyarakat. Lubang bekas galian tambang juga tak sedikit memakan korban. Pun, kesuburan sda hayati, seperti hutan dan perkebunan sawit, berulang kali menghadiahi kebakaran hutan yang menyesakkan dada.
Sda juga selalu menjadi sumber konflik vertikal maupun fragmentasi horizontal di masyarakat sebagaimana yang terjadi di Urut Sewu, Kulon Progo, dan Papua. Di mana suatu daerah ditakdirkan berkelimpahan SDA, disana pula-lah masyarakat di dalamnya juga musti menanggung takdir derita atas kutukan.
Rupa ketiga dari kutukan SDAadalah korupsi. Mitos negara kaya telah melahirkan manusia-manusia serakah yang hendak menikmati kue kekayaan Indonesia untuk kepentingan pribadi. Sadar bahwa SDA pada masanya akan habis, semakin meramaikan perebutan posisi sebagai elit politik. Untung rugi berpolitik terkompensasi melalui akses terhadap SDA.
Ketika telah menjadi elit, maka tiba saatnya berpesta. Melalui suap dan korupsi, ijin eksploitasi SDA ugal-ugalan diberikan, kerusakan lingkungan tidak diperhatikan, pendapatan dari SDA tidak didistribusikan. Kue kekayaan SDA itu dinikmati oleh segelintir orang, dan hanya menyisakan potongan kecil bagi ratusan juta masyarakat Indonesia lainnya.
Kita besar, namun dalam angka, bukan kualitas. Kita bangga dengan sesuatu yang taken for granted (jumlah penduduk, luasan wilayah, dan keragaman budaya), yang sayangnya tidak merepresentasikan capaian-capaian dari manusia Indonesianya. Karenanya ukuran-ukuran ini sudah tidak relevan lagi kita gunakan untuk menarasikan kebesaran Indonesia.
Dari sini, kesadaran itu muncul. Atas besarnya rasa nasionalisme, kita meyakini Indonesia yang kita cintai ini sungguh negara besar adanya. Namun, rendahnya daya saing manusianya, berbagai kerusakan lingkungan dan bencana, meletusnya berbagai konflik, serta korupsi telah menciptakan preseden yang tidak menguntungkan dan citra buruk mengenai Indonesia.
Lemahnya pengaruh dan rendahnya penghargaan bangsa lain bisa jadi sebagai pertanda perlunya kita merubah mind set dalam membangun kebesaran bangsa Indonesia. Sudah saatnya kita melepaskan ketergantungan dan kemapanan pada keberlimpahan SDA yang pada masanya akan habis juga. Kita sudahi mitos dan kutukannya. Waktunya berbenah diri dengan membangun competitiveness bangsa berbasis pada kualitas manusianya sambil terus merawat keragaman dan kebhinekaan. Demi terwujudnya Indonesia Raya.
Artikel Lainnya
-
81623/06/2021
-
196413/03/2022
-
154027/06/2020
-
Virus Corona dan Wajah Kritis Indonesia Kita
167209/03/2020 -
Pendidikan Indonesia Dalam Kritik Ideologi Konservatif dan Liberal
132706/04/2023 -
Menepis Susutnya Empati Publik Bagi Kelompok Rentan
99122/07/2022
