Menepis Susutnya Empati Publik Bagi Kelompok Rentan

Pegiat HAM
Menepis Susutnya Empati Publik Bagi Kelompok Rentan 22/07/2022 522 view Hukum pribadi

Relawan, donatur dan pegiat gerakan sosial di Yogyakarta membuat Rilis Media bertajuk, “Menggugat Transparansi dan Akuntabilitas Perkumpulan Simponi dalam Penyelenggaraan Dapur Umum Buruh Gendong Perempuan Yogyakarta” pada tanggal 18 Juli 2022. Rilis media tersebut mengejutkan berbagai pihak, baik yang pernah tergabung langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas Dapur Umum Buruh Gendong Perempuan (DU-BGP) Yogyakarta.

Seperti yang disebutkan dalam rilis medianya, DU-BGP Yogyakarta adalah gerakan kolektif yang bertujuan untuk membantu menyediakan sarapan dan/ atau makan siang bagi kelompok ekonomi rentan yang terdampak pandemi. Kelompok yang disasar adalah buruh gendong perempuan di empat pasar, yaitu Beringhajo, Giwangan, Kranggan dan Gamping.

Karena selama pandemi, aktivitas bongkar muat di pasar-pasar besar Yogyakarta menyusut yang membuat potensi pendapatan para buruh gendong perempuan berkurang secara signifikan. Namun mereka tidak memiliki pilihan lain selain tetap berangkat bekerja dan menerima situasi sulit tersebut. Dalam situasi inilah aktivisme publik dalam meringankan beban pengeluaran mereka sangat dibutuhkan

Jumlah paket makanan yang didistribusikan oleh gerakan DU-BGP mencapai puluhan ribu paket. Paket tersebut berasal dari donasi publik dalam jumlah yang amat besar.

Kini, seperti yang diberitakan rilisan media di atas, penyelenggaraan DU-BGP menyisakan pekerjaan rumah, khususnya dalam hal transparansi dan akuntabilitas.

Melongok kembali ke belakang, di awal pandemi, gerakan solidaritas dalam bentuk dapur umum menjadi garda terdepan dalam mengatasi kesulitan pangan mengikuti kebijakan Work From Home untuk menekan meluasnya pandemi Covid-19. Tidak dapat dipungkiri, kelompok miskin perkotaan menjadi kelompok paling rentan dalam pandemi ini. Karena sebagian besar pekerja informal yang tidak memiliki penghasilan tetap dan berada pada level upah rendah, bahkan dalam beberapa kasus di bawah standar upah minimum. Jadi bisa dibayangkan situasi yang mereka hadapi pada saat pandemi.

Patut disyukuri bahwa empati kolektif masih ada dan terwujud dalam bentuk donasi publik. Sebagai pengelola donasi publik, DU-BGP dan badan sejenis memiliki kewajiban moral dan hukum untuk memberi laporan pertanggungjawaban.

Bagaimanapun, empati kolektif yang telah terhimpun dan lahir secara spontan adalah wajah kemanusiaan kita. Dan laporan pertanggungjawaban dapat mencegah tercederainya wajah kemanusiaan tersebut.

Terlebih, gerakan sosial berbasis pengumpulan donasi publik, atau biasa disebut crowdfunding memiliki sejumlah persoalan. Pertama, di Indonesia belum tersedia perangkat hukum yang jelas untuk mengantisipasi sengketa dan persoalan pertanggungjawaban yang mungkin terjadi. Kedua, belum ada regulasi yang secara tegas mengatur entitas yang dapat menyelenggarakan crowdfunding, dan perlindungan terhadap donatur.

Kasus “Cak Budi”, misalnya, dapat dijadikan cermin akan banyaknya celah persoalan yang mungkin terjadi di sekitaran model gerakan crowdfunding tersebut.

Dalam kasus DU-BGP Yogyakarta ini, kolektif relawan, donatur dan pegiat gerakan Yogyakarta bersepakat untuk mengajukannya sebagai sengketa informasi publik, melalui Komisi Informasi Daerah (KID) DI Yogyakarta. KID DIY telah menyetujui dan akan menyelenggarakan Sidang Ajudikasi Nonlitigasi I, berupa Agenda Pemeriksaan Awal Perkara Sengketa Informasi Publik, dengan Register Nomor 010/VII/KIDDIY-PS/2022.

Upaya ini patut diapresiasi sesuai prinsip transparansi dan akuntabilitas, tapi yang juga tidak boleh dikesampingkan adalah kelompok rentan sebagai sasaran penerima manfaat. Dalam kondisi darurat, gerak cepat dalam segala kondisi bencana memang sangat diperlukan. Namun keterlibatan pihak pendamping dan kelompok sasaran juga penting, Dalam kasus DU-BGP Yogyakarta adalah Yayasan Annisa Swasti sebagai pendamping dan buruh gendong itu sendiri. Terlebih, sumber yang penulis miliki menginformasikan bahwa sudah terdapat tiga pasar yang membatalkan pengiriman paket bantuan makanan karena bergulirnya kasus tersebut.

Sebuah pelajaran yang dapat diambil, kelompok rentan memang menjadi kelompok paling rentan dalam situasi bencana. Dan kerentanan tersebut menjadi semakin rentan dengan ketiadaan transparansi dalam pengelolaan donasi publik.

Kita tidak pernah tahu kapan musibah akan datang dan sedapat mungkin mencegahnya. Tapi ketika musibah itu sungguh-sungguh terjadi, empati kemanusiaan kita menjadi dasar yang kuat untuk bertahan. Empati akan menggerakkan manusia saling membantu untuk keluar dari persoalan bersama yang sedang dihadapi.

Semoga sengketa dalam pengelolaan ini tidak menyurutkan empati kolektif. Dan semoga pandemi segera berakhir, bersih tuntas dari virus covid-19. Amin.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya