Catcalling; Pelecehan Seksual yang Dianggap Wajar oleh Sebagian Masyarakat

Siulan dan komentar atas penampilan fisik seseorang acap kali terdengar di ruang publik. Walaupun tergolong tindakan menjijikkan, nyatanya catcalling masih dianggap lumrah bagi sebagian masyarakat.
Catcalling merupakan bentuk pelecehan seksual verbal yang mengarah pada perkataan dengan unsur sensual. Catcalling terkadang dapat diikuti kode seperti bibir bawah yang digigit dan kedipan mata. Tindakan ini termasuk pelecehan seksual lantaran dalam aksinya merendahkan harga diri orang. Semua orang akan merasa risih apabila di tempat umum mendapatkan godaan maupun lontaran kata-kata yang tak senonoh.
Biasanya korban menjadi risih dikarenakan merasa tidak nyaman dan malu lantaran menjadi pusat perhatian oleh orang yang tidak dikenal. Tak hanya itu, lontaran kata yang tidak sepantasnya diucapkan oleh orang asing juga menjadi pemicu ketidaknyamanan korban . Selain risih korban juga merasakan takut, ketakutan muncul lantaran dipicu oleh perasaan terancam akan mendapatkan perlakuan yang lebih buruk setelah pelaku melakukan godaan verbal. Korban bahkan dapat merasakan tekanan psikisnya hingga berakibat trauma pada lokasi terjadinya catcalling yang telah menimpanya.
Sebenarnya catcalling dan pelecehan seksual di ruang publik tak hanya menimpa perempuan saja, namun laki-laki juga bisa menjadi korban. Jumlah korban laki-laki cenderung sedikit daripada perempuan, serta pemberitaan media yang selalu menampilkan korban pelecehan seksual perempuan mempengaruhi pandangan masyarakat.
Berdasarkan survei pelecehan seksual di ruang publik, tiga dari lima perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik, sementara itu satu dari sepuluh laki-laki pernah mengalami hal serupa. Survei ini diluncurkan oleh change.org dengan Hollaback Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (JFDG) pada akhir 2018 dengan 62 ribu responden dari berbagai kota di Indonesia.
Dalam survei tersebut juga menyebutkan bahwa 60 persen pelecehan seksual yang dialami di ruang publik bersifat verbal seperti siulan, suara kecupan, komentar mengenai bentuk tubuh, dan komentar sensual. Pelecehan seksual berupa siulan menempati posisi pertama dengan 17 persen, diikuti dengan komentar tubuh 12 persen, sedangkan aksi main mata menempati urutan ke empat dengan 9 persen, dan komentar seksis menempati urutan lima dengan 7 persen.
Catcalling terkadang menjadi bentuk tingkatan maskulinitas laki-laki. Mereka yang berani melakukannya dianggap gentle di tempat tongkrongan. Keadaan sosial ini menjadikan laki-laki tak ragu melontarkan kalimat-kalimat rendahan kepada perempuan yang melewatinya. Seseorang yang telah melakukannya akan mendapatkan rasa puas dan sanjungan dari lingkungan sosialnya sedangkan mereka yang tidak melakukannya dianggap tak punya nyali.
Tindakan ini dilakukan kelompok masyarakat bisa jadi lantaran dorongan sistem patriarki, di mana sistem ini lebih mengedepankan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan dan mendominasi ketimbang perempuan. Sistem sosial ini juga menimbulkan ketidaksetaraan gender dan muncul anggapan perempuan sebagai objek. Rasa mendominasi tersebut menjadi landasan bagi pelaku untuk bebas melakukan diskriminasinya.
Selain itu, tindakan yang tak pantas ini masih banyak dijumpai lantaran dianggap sebagai hal wajar di masyarakat. Mirisnya, ada yang masih beranggapan catcalling hanya gurauan semata atau sekumpulan orang yang mencari hiburan dengan menyapa orang di tempat umum. Mindset tindakan pelecehan seksual hanya dilakukan apabila terjadi kontak fisik menjadikan fenomena ini dianggap hal remeh.
Tak hanya itu, pendidikan seksual rendah juga berimbas pada kurang sadarnya masyarakat akan pelecehan seksual verbal. Rendahnya pendidikan seksual menimbulkan bias di masyarakat apakah catcalling hanya sebatas bercanda semata atau telah tergolong tindakan pelecehan seksual. Masyarakat juga tidak paham akan batas-batas yang seharusnya tidak boleh diucapkan kepada orang lain. Masyarakat yang acuh akan pelecehan seksual di ruang publik mencapai 40 persen, bahkan 8 persen malah menyalahkan korban seperti yang tertera pada survei change.org ini.
Anggapan remeh dan ketidaktahuan tentang fenomena ini berakibat negatif pada tatanan sosial. Tingkat kepekaan masyarakat terhadap catcalling dan pelecehan verbal di tempat umum rendah, sehingga berakibat pada tanggapan masyarakat yang tergolong acuh apabila menemui kejahatan tersebut. Kondisi ini menjadikan ketidaknyamanan bagi masyarakat jika sedang berada di ruang publik.
Sebenarnya ada cara untuk meminimalisir menjadi korban pelecehan seksual di ruang publik. Usahakan tidak berjalan sendirian saat di ruang publik, hal ini dikarenakan pelaku memiliki keberanian lebih saat melancarkan aksinya. Untuk itu, bila Anda terpaksa melakukan aktivitas sendiri, cobalah untuk mencari ruang publik yang ramai. Kondisi ramai akan meminimalisir para pelaku catcalling untuk berbuat melebihi batas. Juga adanya orang di sekitar akan merespon dengan memberikan Anda bantuan jika terjadi sesuatu.
Artikel Lainnya
-
48110/12/2023
-
123408/03/2021
-
7206/12/2024
-
Perempuan dan Revolusi Industri Keempat
158118/10/2019 -
Kesadaran Berlaku Kasih Sayang; Deradikalisasi Agama Perspektif Usul FIkih
93605/03/2021 -
Fenomena Kotak Kosong Dampak Populisme di Indonesia
25918/08/2024