Immanuel Kant dan Bangsa(l) Arab: Membaca Seksualitas dalam Kacamata Filsafat Moral

Mungkin terdengar aneh: apa hubungan seorang filsuf Jerman abad ke-18, Immanuel Kant, dengan kehidupan intim di dunia Arab modern, yang dibedah dalam buku provokatif Sex and the Citadel: Intimate Life in a Changing Arab World karya Shereen El Feki? Kant, sang bapak etika deontologis, hidup ratusan tahun sebelum El Feki menulis bukunya. Ia tak pernah berkunjung ke Timur Tengah apalagi mengulas budaya seksualnya. Namun, menariknya, pemikiran Kantian menawarkan lensa yang tajam untuk menganalisis tema-tema kompleks yang diangkat oleh El Feki.
Meskipun Kant tak pernah langsung membahas buku ini, prinsip-prinsip etika universalnya bisa menjadi alat yang ampuh untuk memahami dinamika moral dan kebebasan dalam masyarakat yang sedang terguncang tsunami.
Buku Shereen El Feki adalah sebuah laporan jurnalistik mendalam tentang kehidupan seksual di dunia Arab. El Feki membawa kita ke berbagai sudut—dari perawan yang hamil diam-diam hingga ibu rumah tangga yang frustrasi, dari seks di luar nikah hingga pertanyaan seputar homoseksualitas, serta bagaimana hijab dan pakaian memengaruhi ekspresi seksualitas. Intinya, ia menyoroti ketegangan lingkaran tradisi, agama, dan modernitas.
Bagaimana Kant “Membaca” Sex and The Citadel
Jika Immanuel Kant bisa membaca buku Shereen El Feki, Sex and the Citadel, ia tidak akan terpaku pada detail budaya atau kebiasaan spesifik yang unik bagi dunia Arab. Sebagai seorang filsuf yang berfokus pada prinsip-prinsip moral universal yang didasarkan pada akal budi, Kant akan segera mencari dimensi-dimensi etis dan kebebasan di balik setiap kisah yang diceritakan El Feki. Baginya, buku ini adalah sebuah studi kasus tentang bagaimana manusia di suatu konteks budaya berjuang untuk merealisasikan otonomi, martabat, dan moralitas mereka, atau justru gagal.
Pilar etika Kant yang paling ikonik adalah imperatif kategoris yang menyatakan bahwa manusia harus selalu diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sekadar sarana. Dalam konteks seksualitas, ini adalah titik krusial. "Apakah seseorang diperlakukan sebagai pribadi utuh atau hanya objek?" Kant sangat skeptis terhadap seksualitas di luar pernikahan, karena ia khawatir hal itu cenderung mengobjektivasi individu, mengubah mereka menjadi "sarana" untuk kepuasan fisik atau biologis semata. Dalam pernikahan, Kant melihat adanya potensi "penguasaan timbal balik" atas seluruh diri (bukan hanya tubuh) yang dapat mengatasi objektivikasi ini.
Ketika El Feki menyoroti pernikahan yang didasarkan pada keuntungan finansial, status sosial, atau perjodohan tanpa cinta dan penghormatan timbal balik, Kant melihat ini sebagai pelanggaran terhadap martabat. Individu-individu tersebut (seringkali perempuan) diperlakukan sebagai sarana untuk tujuan orang lain, bukan sebagai tujuan pada diri sendiri.
Untuk praktik-praktik seperti seks pranikah, homoseksualitas, atau seks komersial yang disinggung El Feki, Kant memiliki pandangan yang konservatif berdasarkan argumennya bahwa seksualitas idealnya hanya ada dalam pernikahan heteroseksual yang saling memiliki. Namun, terlepas dari penilaian awal itu, fokus utamanya akan tetap pada apakah ada objektivikasi dan apakah persetujuan telah diberikan secara otonom dan sadar, dengan penghormatan terhadap martabat setiap individu yang terlibat dalam hal itu.
Kant adalah seorang yang sangat membenci hipokrisi. Ia akan menyoroti ketidaksesuaian antara nilai-nilai yang diakui secara publik (misalnya, kesucian) dengan praktik-praktik pribadi yang bertentangan (misalnya, seks rahasia, diskriminasi)."Apakah ada konsistensi antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan?" Kisah tentang “gadis” yang hamil, atau standar ganda untuk pria dan wanita dalam hal seksualitas, akan dilihat Kant sebagai pelanggaran terhadap konsistensi akal budi dan perihal integritas moral.
Rasionalitas vs Prejudis
Kant adalah pembela gigih Pencerahan (Aufklärung), yang ia definisikan sebagai "keluarnya manusia dari keadaan tidak dewasa yang disebabkan oleh dirinya sendiri." Ini adalah seruan untuk berani menggunakan akal budi sendiri (Sapere Aude!). Ketika kepala Kant diakuisisi Sex and the Citadel, dalam misi mencari di mana akal budi berperan, dan di mana ia terhalang oleh prejudis (prasangka) dan dogmatisme. El Feki menggambarkan bagaimana interpretasi agama sering kali membentuk—dan terkadang membatasi—kehidupan seksual. Kant tidak langsung menghakimi agama itu sendiri, tetapi ia akan sangat kritis terhadap interpretasi agama yang menghambat kebebasan dan otonomi rasional. Bagi Kant, agama sejati adalah "agama akal budi" (religion within the bounds of bare reason), di mana prinsip-prinsip moral universal yang dapat diakses oleh akal budi setiap orang harus menjadi inti, bukan dogma atau tradisi yang tidak bisa diuji secara rasional dan hanya menjadi endapan iman irasional seseorang.
Kristalisasi agama yang tidak berdasar dan tidak wajar adalah kesengsaraan manusia menurut Kant, jika tidak diimbangi dengan akal dan budi luhur. Kant cenderung menggunakan prinsip universalitasnya. Jika ada norma yang menghukum perempuan secara berat atas perilaku seksual tertentu sementara pria tidak, Kant melihat ini sebagai kontradiksi moral yang tidak dapat diuniversalkan. Akal budi akan menuntut kesetaraan dan keadilan, terlepas dari jenis kelamin pelaku yang telah melakukan segala sesuatu.
Pemisahan Ranah Moral dan Hukum
Kant membedakan antara moralitas (kewajiban internal) dan legalitas (kepatuhan pada hukum eksternal). Meskipun hukum tidak dapat memaksa moralitas, ia harus menciptakan kondisi di mana individu dapat bertindak secara moral. Dalam konteks Sex and the Citadel, Kant dalam pemikirannya cenderung menguji, apakah hukum-hukum yang mengatur seksualitas dan hubungan (misalnya, hukum perkawinan, perzinahan, atau hak-hak perempuan) benar-benar mencerminkan prinsip keadilan universal dan memungkinkan otonomi individu, ataukah justru memaksakan moralitas tertentu dengan cara yang menindas. Dalam masyarakat yang digambarkan El Feki, seringkali ada ketidakseimbangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, yang memengaruhi ekspresi seksualitas. Kant akan menyoroti bagaimana ketidakadilan struktural ini menghambat kemampuan individu untuk bertindak secara otonom dan diperlakukan sebagai tujuan. Ia akan berargumen bahwa negara atau masyarakat memiliki kewajiban moral untuk menciptakan kondisi di mana semua warganya, tanpa memandang jenis kelamin, memiliki kesempatan yang sama untuk merealisasikan otonomi mereka dalam segala aspek kehidupan, termasuk yang intim.
Hukum, menurut Kant, tidak berhak mencoba mendikte niat seseorang, karena niat berada dalam ranah kebebasan batin. Hukum hanya boleh mengatur perilaku eksternal untuk menjaga keteraturan. Ketika El Feki menggambarkan masyarakat di mana hukum atau norma sosial yang sangat kuat berusaha mengendalikan setiap aspek kehidupan intim—mulai dari pilihan pasangan, cara berpakaian, hingga ekspresi keinginan pribadi—Kant melihat ini sebagai pelanggaran serius terhadap kebebasan moral individu. Bagi Kant, tujuan utama hukum adalah menciptakan ruang bagi kebebasan eksternal setiap individu agar mereka dapat hidup berdampingan. Dalam ruang kebebasan eksternal inilah individu kemudian dapat melatih kebebasan moral internal mereka, membuat pilihan yang didasarkan pada akal budi. Jika buku El Feki menunjukkan bahwa masyarakat memiliki hukum yang terlalu represif dan membatasi pilihan individu dalam hal seksualitas dan hubungan (misalnya, melarang pacaran atau mengekang ekspresi diri), Kant melihat ini sebagai kegagalan sistem hukum. Alih-alih menciptakan kondisi di mana individu dapat memilih dan bertindak secara moral, hukum-hukum semacam itu justru menekan kebebasan esensial mereka.
Hipokrisi dan Kontradiksi Moral
Bagi Kant, hipokrisi bukanlah sekadar ketidakkonsistenan biasa. Ini adalah pelanggaran serius terhadap akal budi praktis karena melibatkan kebohongan—bukan hanya kepada orang lain, tetapi juga kepada diri sendiri mengenai prinsip-prinsip moral yang diyakini. Jika seseorang mengakui sebuah prinsip moral secara publik yang dalam konteks buku adalah kesucian atau kesetaraan gender, tetapi kemudian bertindak dengan cara yang melanggarnya secara pribadi, ia telah menciptakan kontradiksi dalam kehendaknya sendiri. Kant percaya bahwa maksim tindakan harus dapat diuniversalkan tanpa kontradiksi. Jika sebuah maksim menghasilkan kontradiksi ketika diterapkan secara universal, maka maksim itu tidak bermoral.
Kant adalah seorang filsuf Pencerahan sejati, yang gigih menyerukan "Sapere Aude!" — beranilah berpikir sendiri! Baginya, kemajuan sejati terletak pada kemampuan individu untuk menggunakan akal budi mereka secara mandiri, bukan sekadar mengikuti tradisi, dogma, atau otoritas tanpa pertanyaan.
Artikel Lainnya
-
21521/07/2024
-
262519/04/2020
-
31201/02/2024
-
Refleksi Liga Korupsi Indonesia Dari Tahun ke Tahun, Apakah Kita Sedang Berkompetisi?
71320/06/2025 -
Urgensi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
225716/12/2020 -
Imajinasi Kolektif dan ‘Ketahanan Pangan Dewi Sri’
169022/03/2021