Imajinasi Kolektif dan ‘Ketahanan Pangan Dewi Sri’

Pekerja Seni
Imajinasi Kolektif dan ‘Ketahanan Pangan Dewi Sri’ 22/03/2021 1597 view Opini Mingguan Pixahive.com

Dalam catatan sejarah, Indonesia memang pernah jaya dalam hal beras. Tahun 1984, Food and Agriculture Organization (FAO) menganugerahi Indonesia medali emas bergambar timbul Presiden Soeharto di satu sisi dan gambar petani menanam padi di sisi lain. Itulah anugerah Swasembada Beras. Pada sisi bergambar petani terdapat tulisan “From Rice Importer to Self Sufficiency”.

Medali itu bukan berarti Indonesia bebas dari impor beras sama sekali. Swasembada versi Orde Baru lebih menekankan pada stabilitas harga dengan “mengamankan” stok beras. Di tahun yang sama dengan pemberian penghargaan itu, Indonesia masih mengimpor 414 ribu ton beras.

Stabilitas harga dan stok beras selalu jadi alasan pemerintah untuk mengimpor beras. Tahun ini, salah satu alasan pemerintah untuk mengimpor beras adalah karena iron stock beras Bulog yang harusnya 1-1,5 juta ton diprediksi tidak akan terpenuhi bila hanya mengandalkan hasil panen dalam negeri. Bukan karena petani gagal panen, namun karena gabah petani tidak bisa dibeli Bulog.

Sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk Gabah atau Beras, Bulog hanya membeli Gabah Kering Panen (GKP) dengan kadar air maksimum 25% dan Gabah Kering Giling (GKG) dengan kadar air maksimum 4%. Tahun ini, Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi mengatakan bahwa dikarenakan curah hujan yang tinggi, kandungan air pada gabah-gabah petani naik di atas batas maksimum yang telah ditetapkan.

Karena gabah basah, Bulog tidak bisa beli gabah petani dalam negeri. Di sisi lain, iron stock itu wajib adanya. Karena gabah dalam negeri tidak bisa diserap dengan maksimal, Mendag memprediksi iron stock beras Bulog tidak akan tercapai bila hanya mengandalkan hasil panen dalam negeri. Di lain pihak, gabah basah perlu penanganan khusus agar tetap bisa menjadi beras dengan kualitas yang bagus. Artinya, ada ongkos tambahan. Dan artinya lagi, harga beras akan naik. Untuk mengatasi semua hal itu, impor beras adalah solusi.

Berasnya belum diimpor. MoU belum diteken resmi. Tapi kisruhnya sudah sampai membuat harga gabah betulan anjlok di pasaran. Meski Mendag beralasan bahwa anjloknya harga gabah bukan lantraran isu impor beras melainkan kualitas gabah yang tidak sesuai ketentuan sehingga tidak bisa dibeli Bulog. Namun, asumsi bahwa isu impor ini juga berdampak pada turunnya harga gabah tidak bisa dikesampingkan.

Soal lempar-lempar isu dan wacana sehingga memantik polemik sampai-sampai perubahan harga, bukanah soal baru di Indonesia. Boleh jadi, hal ini jamak dalam sistem ekonomi pasar di seluruh dunia. Wacana impor beras, berdasarkan pengalaman ke belakang, memang berdampak pada harga di pasar domestik. Salah satu cuitan seorang Elon Musk saja bisa memengaruhi harga BitCoin naik berkali-kali lipat.

Betapa spekulasi dan kepercayaan orang-orang menentukan harga suatu komoditas. Yuval Noah Harari, sejarahwan dan pemikir asal Israel, menyebut hal ini sebagai realitas intersubjektif. Suatu realitas yang menjadi realitas dan dapat berfungsi sejauh sejumlah besar orang meyakininya sebagai realitas. Dasarnya kepercayaan akan imaji kolektif. Sistem ekonomi, termasuk di dalamnya nilai uang dan harga-harga, pada dasarnya dibangun di atas hal tersebut.

Imajinasi kolektif tidak hanya menjadi “iman” ekonomi modern. Orang-orang di kampung adat yang hidup dengan cara dan pola pikir tradisional pun hidup dengan “iman” yang sama. Dalam hal padi dan ketahanan pangan, di beberapa budaya tani Nusantara, masyarakat mengenal dan meyakini imajinasi kolektif bernama Dewi Sri.

Dewi Sri adalah Dewi Padi. Ia “hidup” dalam kebudayaan masyarakat petani sebagai simbol dewi kesuburan. Dalam mitos masyarakat Sunda, Dewi Sri disebut Nyi Pohaci. Ia adalah dewi kayangan yang meleburkan jasadnya menjadi padi dan berbagai tanaman di bumi. Karenanya tanah subur dan menumbuhkan berbagai tanaman sumber pangan. Padi yang utama.

Oleh karena dalam padi bersemayam Sri Pohaci, maka menanam, mengurus, dan memanen padi adalah ibadah. Bertani bukan hanya demi memenuhi isi perut tapi juga punya dimensi spiritual. Makanya, di banyak kebudayaan tani, menanam, mengurus, dan memperlakukan padi tidak boleh sembarangan. Dan panen hampir pasti dirayakan sebagai hari besar.

Soal “ketahanan pangan Dewi Sri” orang-orang di kampung adat, fakta menunjukan mereka tidak pernah kekuarangan pangan. Urang Kanékés (Suku Baduy) di Banten, misalnya. Setiap keluarga di sana memiliki setidaknya satu buah leuit. Leuit adalah bangunan khusus tempat menyimpan gabah padi ladang hasil panen mereka. Belum pernah ada laporan mereka kelaparan atau kekurangan pangan. Berkat desain dan bahan bangunan khusus, gabah mereka bisa bertahan hingga 25 tahun tanpa rusak atau turun mutu.

Kecuali itu, mereka memproduksi (menanam) sendiri segala sumber pangan mereka. Bangsa Sunda, termasuk urang Kanékés, adalah bangsa petani. Bagi mereka, dan bagi banyak suku-bangsa tani lainnya di Nusantara, bertani bukan sekedar demi perut dan ekonomi, tapi juga merupakan ibadah.

Swasembada pangan semacam ini masuk akal karena pada praktiknya mereka memproduksi (menanam) sendiri segala sumber pangan yang mereka butuhkan berdasarkan pengetahuan ekologi tradisional. Mungkinkah hal semacam ini diterapkan dalam skala nasional?

Masyarakat adat hidup secara lokal. Mereka memproduksi pangan terutama sekali untuk komunitas mereka saja. Hal ini dapat dipahami sebab mereka tidak terkoneksi dengan dunia global secara langsung. Mereka bisa saja tidak peduli ketika mereka surplus beras sementara kelompok masyarakat di pulau lain di tanah air justru kekurangan.

Negara tidak bekerja dengan cara lokal semacam itu. Negara harus memastikan di saat pasokan beras di pasar-pasar di Jakarta terpenuhi, hal yang sama juga harus terjadi di seluruh wilayah NKRI. Tanpa terkecuali. Kendati demikian, ada hal yang boleh jadi diadopsi dari ketahanan pangan ala Dewi Sri.

Salah satunya, mengubah cara penyimpanan. Bulog tidak lagi menyimpan beras melainkan gabah. Hal ini dapat membantu mengatasi persoalan klasik beras Bulog yang sering kali mengalami turun mutu karena terlalu lama disimpan di gudang.

Mendag mengatakan, soal ini pula yang turut mendorong pemerintah berniat mengimpor beras. Dari 800.000 ton beras stok Bulog, 270.000-nya, yang merupakan sisa impor beras tahun 2018, telah mengalami penurunan mutu sebab terlalu lama parkir di gudang.

Terkait hal ini, Dirut Bulog sebenarnya telah mewacanakan penyimpanan gabah sejak tahun 2018. Ia menyebut, hal itu terinspirasi dari kebiasaan kakeknya yang kerap meyimpan gabah alih-alih beras karena lebih tahan lama tanpa terjadi penurunan mutu. Secara infrastruktur, kebijakan ini cukup realistis.

Gabah yang telah dikeringkan dapat langsung digiling ketika diperlukan. Dengan cara ini beras selalu fresh. Tidak ada lagi beras turun mutu yang membuat iron stock menyusut. Hal yang sering dijadikan dalih oleh pemerintah untuk mengimpor beras. Tapi, kabar stok gabah ini tidak pernah terdengar lagi gaungnya sampai saat ini. Entah mengapa.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya