Refleksi Liga Korupsi Indonesia Dari Tahun ke Tahun, Apakah Kita Sedang Berkompetisi?

Refleksi Liga Korupsi Indonesia Dari Tahun ke Tahun, Apakah Kita Sedang Berkompetisi? 20/06/2025 712 view Politik Pinterest

Setiap tahun, Indonesia selalu memiliki “highlight” yang sama : kasus korupsi baru yang mencuat ke permukaan. Dari kasus timah yang nilainya fantastis, hingga suap menyuap di berbagai Kementerian, seolah-olah kita sedang menonton liga sepak bola yang tak pernah berakhir. Bedanya, ini bukan kompetisi yang membanggakan.

Jika kita melihat data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam beberapa tahun terakhir, angka penanganan kasus korupsi memang menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Tahun 2019, KPK menangani 271 perkara. Tahun 2020 sebanyak 169 perkara, dan di tahun 2021 menurun menjadi 57 perkara. Meski angka penanganan menurun, bukan brarti praktik korupsinya ikut menurun. Yang terjadi justru sebaliknya. Ada kekhawatiran bahwa penurunan ini disebabkan oleh melemahnya kewenangan KPK setelah revisi UU KPK.

Dari kasus megakorupsi seperti Century, Hambalang, hingga yang terbaru seperti kasus korupsi timah di Bangka Belitung dan berbagai daerah, pola yang sama terus berulang. Para pelaku seolah tidak belajar dari pengalaman pendahulunya yang sudah “masuk bui”. Malah terkesan ada semacam estafet korupsi yang diturunkan dari generasi ke generasi birokrat.

Yang lebih memprihatinkan, korupsi kini tidak hanya terjadi di level pusat, tetapi merambah hingga ke daerah-daerah. Kepala daerah yang terjerat kasus korupsi sudah bukan lagi berita yang mengejutkan. Bahkan, ada yang sampai dijuluki “Bupati langganan KPK” karena wilayahnya berkali-kali berganti pemimpin akibat kasus korupsi.

Penelitian dari berbagai lembaga survey menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya soal moralitas individu, tetapi juga sistem yang memungkinkan praktik tersebut terjadi. Budaya “ABS” (Asal Bapak Senang), sistem birokrasi yang berbelit-belit, dan lemahnya pengawasan menjadi faktor-faktor yang melanggengkan praktik korupsi di Indonesia.

Transparency International dalam Corruption Perceptions Index 2022 menempatkan Indonesia di peringkat 110 dari 180 negara. Skor kita stagnan di angka 34 (dari skala 0-100, di mana 0 sangat korup dan 100 sangat bersih). Ini menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia masih jalan di tempat.

Ironisnya, di Tengah gencarnya kampanye anti-korupsi, kasus-kasus baru terus bermunculan. Seolah-olah ada “liga korupsi” tersendiri di mana para pelaku berlomba-lomba siapa yang bisa meraup keuntungan paling besar dari jabatan yang diamanahkan rakyat kepada mereka.

Salah satu keresahan yang paling mencolok adalah bagaimana korupsi seolah sudah menjadi “tradisi” yang diturunkan dari satu generasi birokrat ke generasi berikutnya. Bukan tradisi dalam arti positif, tenu saja, tetapi pola pikir dan perilaku yang mengakar dalam sistem pemerintahan kita.

Bayangkan saja, seorang pegawai negeri sipil muda yang baru masuk kerja. Dia melihat atasannya hidup mewah dengan gaji yang sama dengannya. Lalu dia tahu bahwa “kemewahan” itu bukan datang dari gaji, melainkan dari “sumber lain” yang tidak bisa disebutkan secara terbuka. Perlahan-lahan, pemikiran “kalua mau hidup enak, ya harus pintar-pintar cari tambahan” mulai merasuki benaknya.

Yang lebih miris lagi, korupsi bahkan sudah sampai ke level pendidikan. Kasus suap dalam penerimaan mahasiswa baru, mark-up anggaran sekolah, atau bahkan jual beli nilai sudah bukan rahasia umum lagi. Bagaimana kitab bisa berharap generasi muda tumbuh dengan nilai-nilai integritas jika sejak kecil mereka sudah terpapar praktik-praktik koruptif?

Belum lagi soal hukuman yang diberikan kepada koruptor. Meski sudah ada revisi UU Tipikor yang memperberat sanksi, tetapi dalam praktiknya masih banyak koruptor yang mendapat hukuman ringan. Bahkan ada yang bisa keluar penjara lebih cepat karena remisi atau pembebasan bersyarat. Ini mengirimkan pesan yang salah yaitu korupsi itu tidak terlalu riskan, karena hukumannya pun tidak seberat kejahatan lain.

Pada akhirnya, kita dihadapkan pada pertanyaan besar : apakah kita memang sedang berkompetisi dalam hal korupsi? Data dan fakta menunjukkan bahwa Indonesia masih jauh dari kata bersih. Upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan selama puluhan tahun belum menunjukkan hasil yang signifikan.

Mungkin sudah saatnya kita mengubah pendekatan. Alih-alih hanya fokus pada penindakan setelah korupsi terungkap, lebih baik kita fokus pada pencegahan. Pendidikan anti-korupsi sejak dini, reformasi birokrasi secara menyeluruh, dan yang terpenting adalah mengubah budaya dan mindset Masyarakat bahwa korupsi itu bukan hal yang wajar.

Karena jika kita terus membiarkan “liga korupsi” ini berjalan, maka yang kalah bukan hanya negara, tetapi juga masa depan anak cucu kita. Dan pertanyaannya berubah menjadi “Apakah kita mau terus jadi penonton pasif dalam liga yang memalukan ini? Atau mulai turun tangan untuk mengubah permainan?”

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya