Ideologi Mati, Kekuasaan Abadi?

Direktur Lengbaga Politik, Hukum dan Demokrasi Indonesia (Lembaga PHD Indonesia)
Ideologi Mati, Kekuasaan Abadi? 15/07/2025 1127 view Politik Ilustrasi (foto/BBC)

“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Kata-kata Bung Karno itu bukan sekadar slogan. Ia adalah peringatan, sekaligus penuntun moral bagi para pewaris cita-cita perjuangan kemerdekaan. Namun, hari ini, kita menyaksikan ironi yang mencolok partai yang mengusung warisan pemikiran Soekarno justru memilih bergandengan tangan dengan kekuatan politik yang selama dua dekade terakhir menjadi antitesis ideologisnya.

PDIP, partai yang lahir dari rahim perlawanan terhadap Orde Baru dan berakar kuat pada ideologi Marhaenisme, kini bersiap untuk bergabung dalam koalisi besar pemerintahan Prabowo Subianto. Sosok yang dulunya dicitrakan sebagai simbol masa lalu yang otoriter, kini justru dianggap sebagai mitra strategis politik masa depan.

Dari sudaut pandang di atas, maka banyak pertanyaan kita saat ini semisal, apakah ini sekadar strategi jangka panjang untuk menjaga relevansi politik di tengah pergeseran kekuasaan, ataukah ini tanda pengkhianatan terhadap ideologi yang selama ini dijadikan identitas perjuangan? Atau kekuasaan telah menjadi tujuan akhir, dan bukan lagi alat perjuangan untuk rakyat kecil? Lalu, siapa yang benar-benar diwakili? Ideologi, atau sekadar kepentingan?

Pemilu 2024 menandai titik balik penting dalam peta politik nasional. Pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berhasil meraih kemenangan telak, sekaligus menandai berakhirnya dominasi politik PDIP yang selama dua periode terakhir menguasai eksekutif melalui Presiden Joko Widodo.

PDIP, yang pada pemilu itu mengusung Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, mengalami kekalahan yang pahit. Tak hanya gagal mempertahankan kursi presiden, partai berlambang banteng itu juga kehilangan banyak suara di parlemen. Kekalahan ini menempatkan PDIP pada posisi dilematis tetap di luar pemerintahan sebagai oposisi atau bergabung dengan kekuasaan untuk tetap relevan.

Beberapa bulan setelah hasil pemilu diumumkan, mulai muncul sinyal-sinyal pendekatan antara PDIP dan pemerintahan Prabowo-Gibran. Isu "rekonsiliasi nasional", "politik tanpa dendam", dan "persatuan elite" menjadi narasi yang digunakan untuk membenarkan potensi masuknya PDIP ke dalam koalisi besar.

Padahal, jika ditilik ke belakang, hubungan antara PDIP dan Prabowo bukan sekadar kompetisi biasa. Sejak 2004, keduanya terlibat rivalitas keras, baik secara ideologis maupun elektoral. Bahkan pada Pilpres 2014 dan 2019, PDIP adalah motor utama yang menolak gagasan Prabowo sebagai pemimpin nasional. Prabowo sendiri pernah dikritik oleh sejumlah tokoh PDIP karena latar belakang militer dan keterlibatannya dalam peristiwa-peristiwa gelap di masa lalu.

Kini, rivalitas itu tampaknya dilupakan. Koalisi besar mulai terbentuk, melibatkan hampir semua partai politik besar di Senayan antara lain: Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PPP, dan kini berpotensi ditambah PDIP. Dalam struktur semacam ini, ruang untuk oposisi nyaris lenyap. Parlemen menjadi homogen, penuh dengan suara-suara yang mendukung pemerintah.

Pertanyaannya kemudian, apakah ini kemajuan dalam demokrasi atau justru ancaman bagi keseimbangan kekuasaan? Ketika hampir semua pihak ingin menjadi bagian dari penguasa, siapa yang akan menjadi penjaga suara rakyat?

Matinya Ideologi

PDIP selama ini dikenal sebagai partai ideologis. Marhaenisme, nasionalisme kerakyatan, hingga semangat anti-oligarki menjadi wajah resmi yang ditampilkan ke publik. Namun, keputusan bergabung ke dalam koalisi besar yang dipimpin oleh Prabowo Subianto menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah semua itu hanya simbol politik?

Bergabungnya PDIP ke dalam koalisi yang mereka lawan habis-habisan dalam dua pemilu terakhir menunjukkan betapa cairnya prinsip dalam politik elektoral Indonesia. Pidato-pidato ideologis yang dahulu membakar semangat massa, kini terasa hampa ketika dipertentangkan dengan realitas kekuasaan.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah implikasi moral dan sejarahnya; Pertama, Prabowo adalah tokoh yang pernah dikritik keras oleh PDIP karena latar belakangnya yang militeristik dan diduga terkait dengan pelanggaran HAM; Kedua, kini, ia justru dirangkul, bahkan dijadikan rekan strategis; dan Ketiga, apa yang tersisa dari identitas ideologis PDIP jika lawan ideologis bisa dengan mudah diubah menjadi mitra?
Jika partai yang mengklaim sebagai penjaga warisan Soekarno pun menyerah pada logika kekuasaan, maka bisa dikatakan “ideologi telah mati” dikorbankan di “altar pragmatism”.

Kekuasaan Abadi

Koalisi besar yang kini terbentuk melibatkan hampir semua kekuatan politik utama di parlemen. Dengan masuknya PDIP, praktis hampir tidak ada oposisi yang signifikan di level nasional. Ini memberi peluang terjadinya "kekuasaan tanpa pengawasan."

Bagi PDIP, masuk ke dalam koalisi besar mungkin dipandang sebagai langkah realistis. Karena mengamankan posisi dalam pemerintahan, Menjaga eksistensi menjelang Pemilu 2029, Mencegah fragmentasi internal partai. Namun, dari sudut pandang publik dan demokrasi, ini menciptakan hegemoni kekuasaan yang nyaris absolut. Jika semua partai besar ada di pemerintahan, siapa yang akan mengkritik?

Kekuasaan tanpa oposisi bisa melahirkan stagnasi, korupsi, dan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. PDIP, dalam hal ini, tampak lebih memilih tempat aman di lingkaran kekuasaan, daripada menjadi suara kritis yang mungkin tidak populer tapi diperlukan.

Dalam pertarungan antara “ideologi dan kekuasaan”, tampaknya kekuasaan menang telak. Bukan karena ia benar, tetapi karena ia lebih menguntungkan. Yang jadi korban, bukan hanya integritas partai, tapi juga kesehatan demokrasi kita.

Hilangnya Oposisi sebagai Pilar Demokrasi

Dalam sistem demokrasi yang sehat, oposisi bukan sekadar pelengkap atau pengganggu kekuasaan. Ia adalah penyeimbang, pengawas, sekaligus penyambung lidah rakyat yang tidak puas dengan arah kebijakan pemerintah. Ketika PDIP partai dengan kursi terbesar di DPR memilih bergabung dalam koalisi pemerintahan, praktis Indonesia kehilangan kekuatan oposisi utama.

Koalisi besar yang terbentuk saat ini bukan hanya gemuk, tapi juga nyaris menutup ruang bagi perbedaan suara di parlemen. Tanpa oposisi yang kuat, tidak ada yang secara konsisten mengawasi anggaran, mengkritisi kebijakan, atau menyuarakan alternatif. Ini adalah kondisi yang rawan bagi penyimpangan kekuasaan dan potensi oligarki politik menguat.

Tanpa oposisi, kekuasaan menjadi terlalu nyaman dan itu kondisi ideal bagi oligarki politik untuk berkembang. Koalisi besar memberi peluang bagi pembagian kursi kekuasaan yang didasarkan pada negosiasi elite, bukan pertimbangan kinerja atau kepentingan rakyat.

PDIP, yang selama ini mengklaim diri sebagai partai kerakyatan dan penentang oligarki, kini justru berisiko menjadi bagian dari struktur kekuasaan yang dikendalikan segelintir elite politik dan ekonomi. Tidak ada yang mengawasi, tidak ada yang melawan dan ini bisa menjadi jalan mulus bagi pelemahan institusi publik secara sistematis.

Mengutamakan rakyat seharusnya tidak hanya menjadi slogan saat kekuasaan dalam genggaman. Bila perbedaan ideologis bisa begitu mudah dijembatani demi posisi dalam pemerintahan, maka publik berhak bertanya, sejak kapan nilai-nilai ideologis menjadi fleksibel, apakah PDIP benar-benar bertransformasi karena evolusi politik, atau sekadar berkompromi demi kekuasaan?

Ketika hampir seluruh partai politik besar memilih bergabung ke dalam kekuasaan, maka tanggung jawab menjaga demokrasi tidak lagi bisa diserahkan pada elite politik semata. Kini saatnya publik, masyarakat sipil, akademisi, media, dan kelompok-kelompok independen untuk mengambil peran yang lebih aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan.

Demokrasi tidak mati ketika partai oposisi hilang. Ia mati ketika rakyat berhenti peduli. Karena itu, Kritis terhadap kekuasaan bukan berarti membenci negara, tapi justru bentuk cinta pada republik ini. Kita perlu memperkuat ruang-ruang diskusi independen, menghidupkan forum warga, dan merawat jurnalisme yang berani bertanya bukan sekadar memuji. Selain itu, penting pula untuk mendorong lahirnya kekuatan politik alternatif yang tidak tersandera kepentingan elite, namun sungguh-sungguh berpihak pada kepentingan publik.

Demokrasi tak akan pernah sempurna, tetapi tanpa kontrol, ia bisa berubah menjadi hanya nama tanpa makna. Jika partai-partai tak lagi punya keberanian untuk berbeda, maka rakyatlah yang harus mengambil alih keberanian itu. 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya