Merawat Keberagaman

Merawat Keberagaman 08/12/2021 1151 view Lainnya Popmama.com

Fakta diskriminasi tiga siswa di Tarakan karena perbedaan keyakinan mengarahkan pandangan kita pada orang-orang di sekitar korban. Selama tiga tahun pelajaran, tiga orang siswa penganut kepercayaan Saksi Yehuwa, sekte dalam agama Kristen, tidak naik kelas karena perbedaan kepercayaan (vice.com, 23/11/2021).

Kasus ini dipandang sebagai puncak gunung es yang diyakini bahwa selama ini banyak masalah serupa yang tidak dilaporkan (bbc.com, 24/11/2021). Di sini, aroma kepasifan akan diskriminasi menyeruak.

Pihak yang mengetahui masalah seperti ini tidak melaporkannya ke pihak berwenang. Sikap toleransi dalam bentuk penerimaan mereka akan yang berbeda tidak diiringi dengan upaya perhatian dan perlindungan. Maka, ketika diskriminasi terjadi, orang-orang bersikap pasif.

Masalah ini mengajak kita untuk memikirkan ulang toleransi sebagai opsi solutif untuk merawat keberagaman di Indonesia. Kita tidak bisa hanya mengandalkan toleransi untuk merawat keberagaman.

Ia hanya berkontribusi pada upaya menerima dan menghargai yang berbeda. Ia hanya sampai pada titik itu saja. Indonesia membutuhkan opsi solutif yang melampaui toleransi untuk merawat keberagaman. Artinya, kita membutukan sikap yang memberikan perhatian dan melindungi yang berbeda.

Hemat penulis, sikap acceptance sangat diperlukan untuk konteks keberagaman Indonesia. Sikap ini penting untuk menjaga keberagaman sebagai sebuah kekayaan. Ia melampaui toleransi sebagai sikap menghormati dan menghargai keberbedaan liyan.

Secara etimologis, kata toleransi berasal dari kata bahasa Inggris, tolerance. Kata ini mengacu pada kata Latin, tolerare, yang berarti menahan diri dan sabar. Berdasarkan hal ini, toleranasi dapat dimaknai sebagai kemampuan setiap orang untuk bersabar dan menahan diri terhadap hal-hal yang tidak sejalan (Media Indenesia, 15/10/2021).

Toleransi juga bisa dipahami sebagai tindakan memahami dan menerima keberagaman yang melekat pada setiap entitas lainnya. Maka, toleransi selalu menyangkut saling menghargai dan menghormati, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik.

Berkaitan dengan agama, toleransi dapat dipahami sebagai sikap saling menghargai agama yang berbeda dan membiarkan orang lain mengamalkan agamanya meski tidak sependapat. Dalam sikap toleransi, agama yang satu tidak bisa dijadikan sebagai standar untuk menilai agama yang lain.

Pada titik ini, toleransi menjadi langkah solutif untuk menyatukan keberagaman yang ada di Indonesia. Semua perbedaan disatukan dengan saling menerima dan menghargai perbedaan. Keberadaan yang lain diakui sebagai bagian dari realitas kehidupan.

Toleransi tampak seperti pendekatan koeksistensi. Dalam keberagaman, koeksistensi menekankan bahwa semua kelompok mempunyai posisi yang sama untuk hidup dalam masyarakat (Nobert Djegalus, 2011: 102). Semua kelompok intinya hidup berdampingan dengan satu dan yang lain. Namun, tetap ada sebuah jarak antara kita dan mereka. Jarak inilah yang menjadikan kita dan mereka berbeda.

Namun, sikap toleransi tidak bergerak lebih jauh dari penghargaan akan yang lain. Seperti pendekatan koeksistensi, kelompok yang satu tidak mempunyai hubungan yang lebih dalam dan intens dengan kelompok yang lain, sebagai kesadaran untuk membangun kerukunan. Perbedaan antara kita dan mereka tetap ada, dan tidak bisa dipisahkan dari relasi dengan yang lain.

Dari pemahaman ini, muncul dua implikasi serius berkaitan dengan keberagaman. Pertama, kehadiran liyan dan kita hanya hidup berdampingan tetapi tidak bergandengan. Artinya, kehadiran yang berbeda dianggap lebih sebagai bagian dari realitas kehidupan manusia yang beragam. Liyan tetap dianggap berada di samping atau diluar bagian dari kelompok kita.

Hal ini memicu kepasifan kita dalam menanggapi kehadiran yang berbeda. Ketika kelompok minoritas Ahmadiyah didiskriminasi, sebagian besar dari kita bersikap pasif karena masalah mereka dianggap bukan masalah kita. Masalah Ahmadiah yang diskriminasi adalah masalah kelompok Ahmadiyah, kelompok pelaku, dan negara. Agama yang lain berpangku tangan dengan masalah ini.

Fakta kepasifan mayoritas melihat diskrimasi untuk minoritas adalah bukti bahwa liyan tidak lebih dan tidak kurang sebagai orang yang berada di seberang. Mayoritas mengakui bahwa minoritas warga negara memiliki perbedaan dengan mereka, tetapi tidak ada upaya perlindungan dari mereka. Dasarnya jelas bahwa kita berdampingan tetapi tidak saling bergandeng.

Di sini, tidak ada tanggung jawab untuk melindungi yang berbeda. Daya impertif untuk melindungi yang berbeda tidak ditemukan. Semua kelompok melindungi diri masing-masing dari bahaya yang mengacam eksistensinya.

Kedua, khusus untuk agama, kemungkinan benturan ekspresi antara kelompok sangat besar (Budi Hadirman, 2019). Di hadapan kepentingan masing-masing agama dalam berekspresi, agama yang satu akan berusaha untuk membela agamanya. Bahkan, kepentingan masing-masing agama saling sikut menyikut. Hal yang terjadi selepas itu adalah kekalahan minoritas di hadapan mayoritas yang mempunyai hegemoni yang besar.

Masalah bom bunuh demi membela agama tidak selamanya harus dipandang dari sisi kita. Bagi pelaku, aksi bom bunuh diri adalah ekspresi keagamaannya, walaupun berbenturan dengan agama lain.

Ia akan berada pada tegangan antara mengikuti ajaran agamanya untuk berjihad atau menghormati yang berbeda (Budi Hadirman, 2019). Karena ketiadaan kesadaran bahwa yang lain adalah bagian dari dirinya, pelaku cenderung untuk berjiihad sebagai eskpresi keagamaannya.

Pada titik ini, kita membutuhkan sesuatu yang bergerak lebih jauh dari toleransi. Opsi yang paling tepat untuk itu adalah sikap acceptance, sikap menerima dan menjadikan yang lain sebagai bagain dari kita.

Tuntutan untuk ikut melindungi kelompok yang berbeda adalah sebuah kemendesakan untuk membangun kerukunan hidup berbangsa dan bernegara. keberagaman juga mengandung potensi menghancurkan bila tidak dirawat. Bila dikelola denga baik, keberagaman adalah modal untuk membangun negara Indonesia menjadi lebih baik.

Sikap acceptance adalah opsi solutif yang melampaui sikap toleransi dalam merawat keberagaman. Penekanan sikap acceptance pada upaya melihat dan menyadari bahwa yang berbeda di luar diri saya adalah bagian dari hidup saya (Donny Kleden, 2021). Dia adalah aku yang lain, yang berada di luar aku. Maka, penderitaan yang dialami oleh dia adalah penderitaan saya.

Sikap acceptance berusaha menerima dan menjadi bagian dari yang berbeda. Masyarakat tidak terbagi dalam kelompok kita dan kelompok mereka. Semuanya bersatu sebagai bagian dari satu masyarakat. Untuk konteks Indonesia, sikap acceptance menciptakan suatu perasaan bahwa hanya ada satu identitas yaitu identitas ke-Indonesia-an.

Acceptance memiliki perbedaan dengan toleransi. Toleransi tetap melihat perbedaan sebagai bagian dari kehidupan dalam masyarakat. Sedangkan acceptance bergerak melampaui itu dengan menggangap bahwa yang lain itu sebagai bagian dari aku yang tidak dapat dipisahkan, sehingga perbedaan itu tidak ada.

Sikap acceptance berkaitan erat dengan pendekatan proeksistensi. Dalam pendekatan ini, kelompok masyarakat yang satu tidak hanya dituntut untuk menghormati yang lain, tetapi bergerak lebih dari itu, yakni memberikan perhatian yang serius untuk yang berbeda dengan mereka. Tuntutan dari pendekatan proeksistensi adalah keberadaan dan kehidupan bersama, bukan sekedar hidup berdampingan secara damai (Nobert Djegalus, 2011: 107).

Sikap acceptance ini akan sangat membantu mengembangkan daya tanggung jawab atas sesama yang berbeda dan terintimidasi dalam kehidupan negara Indonesia. Perhatian yang serius dari kelompok yang yang satu kepada yang lain bukan hanya akan menciptakan kedamaian, tetapi juga rasa persaudaraan yang semakin erat. Masalah mereka adalah masalah kita, masalah bersama.

Di sini, tercipta sebuah ikatan emosional antara pihak mereka dan kita, sehingga meruntuhkan semua perbedaan. Ikatan emosional itu tidak bersifat primordial atau berdasarkan kesamaan rasa, suku, agama. Sebaliknya, yang tercipta adalah kesatuan emosi sebagai bagian dari Indonesia.

Diskriminasi di Tarakan tidak akan terus terjadi bila kita mengenakan sikap acceptance dalam menghadapi yang berbeda. Ikatan dengan mereka yang berbeda akan memicu kita untuk segera mengambil langkah pencegahan, dengan kesadaran bahwa mereka bagian dari kita.

Khusus untuk agama, kesatuan emosional dalam sikap acceptance akan menghindari benturan ekspresi antara agama. Kepentingan masing-masing agama akan disesuaikan dengan kepentingan agama yang lain. Sebab, hal yang paling didahulukan adalah keberasamaan. Jadi, ekspresi keagaman akan disesuaikan untuk menjamin kehidupan bersama dalam masyarakat.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya