Mengkaji Demonstrasi dalam Tinjauan Etika Islam: Antara Aspirasi dan Tanggung Jawab

Mahasiswa di UIN Raden Mas Said Surakarta
Mengkaji Demonstrasi dalam Tinjauan Etika Islam: Antara Aspirasi dan Tanggung Jawab 01/10/2025 54 view Agama share.google/UNrBVMheeKSO5A0ke

Demonstrasi, sebagai sebuah bentuk penyampaian aspirasi, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika sosial dan politik di berbagai negara. Sering kali, demonstrasi menjadi jalan terakhir ketika saluran dialog formal tidak membuahkan hasil, menjadi ruang bagi suara-suara rakyat yang merasa terpinggirkan.

Dalam perspektif Islam, demonstrasi bukanlah hal yang dilarang secara mutlak. Sebaliknya, ia dapat dilihat sebagai manifestasi dari salah satu prinsip dasar agama, yaitu amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Prinsip ini menuntut setiap Muslim untuk tidak berdiam diri di hadapan ketidakadilan atau penyimpangan. Namun, Islam memberikan tuntunan yang sangat jelas mengenai etika dan adab dalam pelaksanaannya, memastikan bahwa tujuan mulia tersebut tidak ternodai oleh cara-cara yang merusak.

Landasan Syariat: Amar Ma'ruf Nahi Munkar sebagai Fondasi

Konsep amar ma'ruf nahi munkar adalah fondasi utama yang membenarkan adanya kritik atau koreksi terhadap penguasa atau sistem yang dianggap menyimpang. Al-Qur'an secara eksplisit menyebutkan pentingnya keberadaan sekelompok orang yang mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, sebagaimana firman Allah dalam Surah Ali Imran ayat 104, yang artinya, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

Ayat tersebut memberikan legitimasi teologis bagi setiap upaya kolektif untuk melakukan perbaikan sosial. Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda, “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” Hadis ini memberikan hierarki dalam bertindak, mulai dari tindakan fisik (dengan tangan), lisan, hingga batiniah. Dalam konteks modern, khususnya demonstrasi damai, aksi ini bisa menjadi salah satu bentuk pengaplikasian hadis tersebut, yakni dengan menggunakan "lisan" secara kolektif untuk menyuarakan kebenaran. Ini adalah suara bersama yang kuat, yang mampu menjangkau telinga penguasa dan publik secara luas.

Namun, hal ini tidak berarti umat Islam bebas bertindak semaunya. Sejarah Islam memberikan contoh berharga dari Nabi Musa dan Harun yang diperintahkan untuk menghadapi Firaun, seorang penguasa zalim dan sombong. Meskipun demikian, Allah SWT memerintahkan keduanya untuk berbicara dengan lemah lembut (qaulan layyinan), “Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya ia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” Kisah ini menjadi pelajaran abadi bahwa cara penyampaian yang baik lebih diutamakan, bahkan ketika berhadapan dengan kezaliman yang paling ekstrem. Lemah lembut bukan berarti pasif, melainkan sebuah strategi yang mengedepankan dialog, nalar, dan akhlak mulia, demi mencapai tujuan yang efektif tanpa menimbulkan kerusakan.

Etika Demonstrasi yang Sesuai dengan Tuntunan Islam

Agar demonstrasi tidak menyimpang dari nilai-nilai Islam, ada beberapa etika yang wajib dipatuhi, yang menggarisbawahi pentingnya tanggung jawab dan akhlak. Pertama,  niat dan tujuan yang jelas. Setiap aksi harus dilandasi niat yang tulus untuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan umat, bukan untuk kepentingan pribadi, golongan, atau sekadar euforia massa. Tuntutan yang disuarakan harus jelas, rasional, dan berdasarkan fakta, bukan spekulasi atau hasutan. Tujuan yang mulia harus dimulai dengan niat yang bersih.

Kedua, menghindari kerusakan dan kekerasan. Ini adalah poin krusial. Islam sangat melarang tindakan fasad atau perusakan. Merusak fasilitas umum, kendaraan pribadi, atau bahkan properti pemerintah yang seharusnya dijaga adalah tindakan yang haram. Demonstrasi harus berlangsung damai (silmiyah) dan jauh dari anarkisme. Setiap tindakan kekerasan, baik fisik maupun verbal, tidak memiliki tempat dalam etika demonstrasi Islam. Kekerasan hanya akan mencederai tujuan mulia dan merusak citra perjuangan itu sendiri.

Ketiga, menjaga lisan dan ucapan. Demonstran harus menjaga lisan dari ucapan yang kotor, provokatif, fitnah, atau memecah belah. Teriakan takbir atau kalimat-kalimat suci tidak boleh digunakan untuk membenarkan kebencian atau anarkisme. Pesan yang disampaikan haruslah santun, meskipun isinya tegas dan mengkritik.

Keempat, menghormati hak orang lain. Aksi demonstrasi tidak boleh sampai mengganggu hak-hak orang lain yang tidak terlibat, seperti memblokir total akses jalan umum yang menyebabkan penderitaan bagi pasien darurat atau mengganggu ketenangan warga. Aksi demonstrasi harus tetap menghormati aturan sosial dan hukum yang berlaku, selama tidak bertentangan dengan syariat. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan keadilan tidak boleh mengorbankan keadilan itu sendiri.

Kelima. kooperatif dengan aparat keamanan. Aparat keamanan, dalam kapasitasnya sebagai penegak ketertiban, harus dihormati. Demonstran tidak boleh melakukan perlawanan fisik yang dapat menimbulkan korban. Selama demonstrasi berlangsung, etika dialog dan komunikasi harus tetap dijaga dengan baik.

Pada akhirnya, demonstrasi dalam Islam adalah sebuah alat untuk menyuarakan kebenaran dan menuntut perbaikan. Namun, alat tersebut harus digunakan dengan penuh tanggung jawab dan sesuai dengan tuntunan syariat. Demonstrasi yang beretika, yang bebas dari kerusakan, kekerasan, dan provokasi, akan menghasilkan dampak positif yang jauh lebih besar daripada demonstrasi yang anarkis. Ia tidak hanya akan mencapai tujuannya, tetapi juga akan menunjukkan keindahan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi kedamaian, keadilan, dan akhlak mulia dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam menyampaikan aspirasi politik dan sosial.

Melalui pendekatan yang damai dan beradab, demonstrasi dapat menjadi sarana yang efektif untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan beradab, bukan malah menghancurkannya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya