Hari Kesaktian Pancasila: Kuasa Kalender & Diskursus Hari Besar Nasional

Mahasiswa
Hari Kesaktian Pancasila: Kuasa Kalender & Diskursus Hari Besar Nasional 01/10/2020 1514 view Politik commons.wikimedia.org

Pada tanggal 1 oktober ini, Indonesia merayakan hari kesaktian Pancasila. Setiap tahunnya, tanggal tersebut ditandai dan dirayakan secara berulang-ulang oleh masyarakat. Masyarakat Indonesia kerap menjalani hari besar nasional sebagai sesuatu yang lazim dan memang begitu adanya (taken for granted). Tapi, pernahkah kita bertanya mengapa dan untuk apa hal itu diperingati? Kerapkali hari besar dialami tanpa dipertanyakan bahkan dikritisi mengapa tiap-tiap dari kita perlu untuk merayakannya. Sebetulnya, hari besar nasional perlu dilihat sebagai suatu penanda dari peristiwa sejarah yang di dalamnya memuat diskursus atas rezim yang berkuasa. Mengapa demikian?

Sebelum jauh ke situ, dalam mengurai diskursus sebagai sebuah hubungan kekuasaan, tidak bisa tidak menyebut nama dari Michel Foucault. Kita tahu bahwa selama ini Foucault begitu menyoroti hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan, kendati tidak secara ekpslisit dijelaskan dalam karya-karyanya, dan bagaimana kedua hal tersebut beroperasi sebagai mekanisme pendisiplinan tubuh dan kontrol sosial melalui institusi-institusi kemasyarakatan. Dalam perkembangan awal, terdapat satu teorinya yang menempatkan pemikiran Foucault menjadi begitu berpengaruh dalam teori sosial: sejarah pengetahuan (archeology of knowledge).

Tema sentral sejarah pengetahuan berupaya menyelami hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Di buku Madness and civilization (1967), ia menelusuri dari periode renaisans, di mana konsepsi akan kegilaan belum didefinisikan di masyarakat sebab rasio dan kegilaan belum dipisahkan. Orang yang ‘nyeleneh’ cenderung dikategorikan berbeda daripada gila. Memasuki abad 18an, hadirnya keilmuan psikiatri mulai memisahkan orang yang dianggap ‘beda’ ini di masyarakat sebagai tubuh yang patologis. Pengetahuan ini lantas dilembagakan (dan terlembaga) dalam institusi medis sehingga menjadi kebenaran.

Perlu diketahui bahwa kekuasaan yang dibayangkan Foucault berbeda dengan konsep kekuasaan berdaulat di mana ia dapat dimiliki oleh segelintir kelompok atau aktor individu, sebagaimana umumnya dipahami selama ini. Kekuasaan bukan merupakan institusi atau struktur, melainkan dalam konsepsi Foucault kekuasaan sebagai istilah yang dipakai untuk menggambarkan situasi strategis kompleks dalam masyarakat (Mudhoffir, 2013).

Kekuasaan mesti dipahami sebagai sesuatu yang menyebar (omnipresents) seperti jaringan. Alih-alih memandang kekuasaan sebagai properti dan hak istimewa berdaulat yang dapat digenggam sekelompok masyarakat, kekuasan dalam hal ini lebih sebagai konsep yang bersifat relasional. Pengertian mengenai kekuasaan sehingga bergeser dari pertanyaan “bagaimana kekuasaan digunakan” menjadi ke “bagaimana kekuasaan beroperasi dan dengan cara apa hal itu dioperasikan”.

Bagi Foucault, kekuasaan itu dilihatnya beroperasi melalui pengetahuan. Dalam sejarah pengetahuan, ia menegaskan hal ini dengan menelusuri bagaimana suatu bentuk pengetahuan (konsep/pernyataan) bisa memiliki sifat yang otoritatif di masyarakat. Menurutnya, struktur pengetahuan yang otoritatif ini mempengaruhi bagaimana praktik-praktik sosial seseorang mulai dari cara berpikir hingga bertindak, di mana hal ini disebut oleh Foucault sebagai rezim pengetahuan.

Pada praktiknya kekuasaan membangun suatu bentuk pengetahuan yang direpresentasikan ke dalam suatu sistem bahasa yang disebut diskursus (discourse). Pengetahuan sehingga merupakan bentuk kekuasaan yang beroperasi secara produktif: Ia memproduksi kenyataan, wilayah obyek, serta rezim kebenaran, yang kemudian menormalisasi individu-individu dalam masyarakat (Foucault, 1977). Oleh karena beroperasi melalui pengetahuan, secara implisit Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan tidak beroperasi secara koersif dan menindas, melainkan sebagai sesuatu yang positif dan subtil melalui alam bawah sadar. Oleh karena itu, mengacu pada konsepsi Foucault, perayaan hari besar nasional dapat dilihat sebagai bagian dari diskursus yang memproduksi sebuah pemahaman bersama (common sense) di masyarakat.

Kembali menyoal diskursus hari besar nasional, sebagai komunitas yang terbayangkan, negara-bangsa (nation-state) memerlukan peringatan bersama dalam membingkai imaji dan cita-cita kolektif pada warga negaranya (Anderson, 2008). Tiap negara-bangsa memiliki hari besar nasional yang disusun dalam kalendernya masing-masing sebagai upaya pembingkaian cita-cita tersebut. Melalui kalender yang berbeda-beda, terbangun pengetahuan dan pengalaman sosial yang berbeda. Sebagaimana menurut McCrone dan McPherson dalam buku National Days: Constructing and Mobilising National Identity (2009), penandaan di dalam kalender menjadi sistem pengetahuan tertentu yang ditanamkan kepada warga negara, sebetulnya, tidak saja sebagai upaya memahami identitas diri mereka, tetapi juga untuk menuntun dan mengarahkan bagaimana anggota setiap negara-bangsa seharusnya bersikap dan bertindak.

Melalui kalender, hal-hal mencakup ingatan, aktivitas, dan tubuh dilatih serta dinormalisasi secara rutin tiap tahunnya oleh institusi negara; terinternalisasi secara sukarela sebagai kenangan dan pengalaman kolektif yang (seolah-olah saja) alamiah. Kalender artinya menjadi instrumen penting dari proyek nation-building yang mendefinisikan dan membentuk identitas suatu bangsa dalam tubuh-tubuh warga negaranya. Dengan demikian, kalender mengarahkan kita tentang apa yang perlu dirayakan dan tidak perlu dirayakan sekaligus menuntun kita tentang apa yang mesti diingat dan dilupakan.

Di beberapa hal, hari besar nasional justru memuat pemelintiran dan menegasikan diskursus sejarah penting lainnya. Hari kesaktian Pancasila ini menjadi contoh bagaimana ia memuat kepentingan dari rezim yang berkuasa. Secara genealogis, kemunculan hari kesaktian pancasila tidak bisa dilepaskan konteksnya dari peristiwa '65. Ia sesungguhnya tidak semata diperingati sebagai sesuatu yang terlepas dari konteks historis-politis, melainkan sebuah upaya untuk melebarkan diskursus atas kemenangan negara terhadap pengkhianatan PKI. Hari kesaktian pancasila meneguhkan kuasa dari rezim orde baru.

Dengan demikian, hari besar nasional yang ditandai dalam kalender sebetulnya merupakan bentuk dari diskursus atas rezim yang berkuasa, dimana efeknya mewujud sebagai praktik yang dirayakan berulang setiap tahunnya oleh masyarakat. Pada gilirannya masyarakat, sebagai tubuh-tubuh yang menjadi lokus beroperasinya kekuasaan, dengan sukarela melatih dan mendisiplinkan dirinya sendiri tanpa perlu mempertanyakannya sebenarnya untuk apa (dan siapa) hal itu dirayakan. Sebab, kalender telah memproduksi pengetahuan tentang apa itu yang normal bagi masyarakatnya: menjadi rezim kebenaran.

Sumber:
Anderson, B. (2008). Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang. Jogja: INSISTPress & Pustaka Pelajar
Foucault, M. (1977). Discipline and Punish. New York: Vintage Books
McCrone, D., & McPherson, G. (2009). National Days: Constructing and Mobilising National Identity. New York: Palgrave Macmillan.
Mudhoffir, A. M. (2013). Teori Kekuasaan Michel Foucault: Tantangan bagi Sosiologi Politik. MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol 18 (1): pp 75-100

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya