Mencegah Pasar Tanah di Pariwisata Super Premium

Menetapkan Labuan Bajo sebagai pariwisata super premium merupakan sebuah kabar gembira bagi perkembangan kemajuan pariwisata di Manggarai Barat. Hal ini tentu akan menjadi peluang besar bagi penggerak pembagunan pariwisata untuk semakin mempersiapkan Labuan Bajo sebagai tempat wisata prioritas.
Tentunya sebagai pariwisata super premium, orientasi pembangunan akan dipusatkan di Manggarai Barat. Keberhasilan dan kesuksesan dalam pembangunan tentu akan menjadi pintu utama dalam menarik banyaknya jumlah wisatawan yang akan mengunjungi Labuan bajo (Manggarai Barat).
Pembangunan pariwisata merupakan suatu hal yang sangat diharapkan untuk kemajuan pariwisata di Manggarai Barat. Tujuan utamanya adalah untuk kesejahteraan hidup masyarakat lokal. Akan tetapi di balik geliatnya pembangunan pariwisata super premium, satu hal yang harus menjadi perhatian bersama adalah maraknya praktik jual beli tanah kepada pihak nasional maupun asing. Hal ini tentu diperhatikan karena tanah merupakan bagian terpenting dari kehidupan masyarakat.
Tanah adalah aset berharga bagi keberlangsungan hidup masyarakat. Dalam konteks pembangunan pariwisata, tanah tidak seharusnya dijual begitu saja kepada pihak lain. Menjual tanah bukanlah satu-satunya solusi untuk mendapatkan keuntungan.
Pasar Tanah
Total investasi untuk pariwisata di Labuan Bajo adalah 16 triliun (Floresa, 16/03/17). Dana ini diperoleh dari APBN dan pihak swasta dengan besaran masing-masing 8 triliun. Dengan demikian, yang terlibat dalam pembangunan pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat bukan hanya pemerintah (negara) tetapi juga pihak swasta (investor).
Para investor ini tentu bukan hanya berasal dari tingkat lokal dan nasional tapi juga dari tingkat internasional. Kehadiran para investor tentu dengan tujuan untuk membangun pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat, seperti pembangunan hotel, dermaga, dan lainnya. Pembangunan ini juga tentu membutuhkan faktor pendukung yakni lahan (tanah).
Tanah adalah faktor primer dalam pembangunan infrakstruktur apa pun. Tanpa tanah tidak mungkin pembangunan akan berjalan dengan baik. Orang bisa membangun hanya apabila faktor pertama dan utama seperti tanah ada dan tersedia. Praktik jual beli tanah juga pasti akan menghiasi panorama pembangunan pariwisata di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.
Orang beramai-ramai menjual tanah dengan patokan harga tertentu kepada masyarakat lokal, nasional, atau pun asing. Dan hal inilah yang akan diincar para investor tentunya.
Filosof Karl Marx melihat bahwa komoditi (tanah) selain memiliki sifat kegunaan atau used value juga mengandung sifat exchange value, yakni sifat untuk dijual belikan (Mansour Fakih: 2009, 101). Sifat exchange value inilah yang akan membuat pasar tanah semakin terbuka lebar.
Ketika harga tanah melambung tinggi, tanah akan dijual kepada pihak lain dalam suatu transaksi jual-beli. Tanah akan dijual kepada orang lain sesuai dengan besaran dan luas areal yang diminta. Yang diharapkan dari penjualan tanah adalah keuntungan. Jual-beli tanah ini bisa dilakukan oleh individu atau kelompok kepada orang asing atau pun lokal.
Land Grabbing
Dwi Wulaan Pujiriyani, dkk, dalam bukunya ‘Landgrabbing. Bibliografi Beranotasi” mengatakan bahwa praktik pembelian tanah secara pribadi adalah salah satu pemicu land grabbing (perampasan tanah). Hal ini terjadi karena ketika tanah sudah menjadi milik pribadi melalui transaksi jual beli, tanah tersebut akan dialihkan kembali kepada orang lain (perusahaan) melalui sebuah kesepakatan.
Praktik jual beli tanah di Manggarai Barat juga tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya land grabbing. Potensi Manggarai Barat sebagai daerah pariwisata apalagi dengan terpilihya sebagai pariwisata super premium oleh Presiden Jokowi akan menimbulkan permintaan yang tinggi atas tanah.
Tanah-tanah di pesisir pantai yang dianggap kosong dan tidak subur untuk lahan pertanian dijual kepada orang lain dengan patokan harga tertentu sesuai dengan luas arealnya masing-masing. Akibatnya masyarakat kehilangan masa depan bagi generasinya yang akan datang.
Melihat potensi Manggarai Barat sebagai daerah pariwisata, banyak pengusaha asing maupun lokal yang akan melirik dan membeli tanah di Manggai Barat untuk membuka usaha pariwisata. Praktik jual beli tanah yang pada akhirnya mengarah pada land grabbing akan berakibat pada penguasaan sumber daya alam lainnya, seperti air, pemandangan, udara segar, dan lainnya yang berada di lingkup lahan pembangunan.
Dengan dikuasainya tanah, segala sumber daya yang ada dalam lingkup tanah (lahan) akan menjadi milik perusahaan pariwisata. Sumber daya alam akan diprivatisasi dan masyarakat akan semakin dimarjinalkan. Konsekuensinya, hak masyarakat atas sumber daya tersebut akan dibatasi dan dicaplok oleh kepemilikan perusahaan atau perorangan.
Dalam konteks ini pariwisata bukan lagi membawa wajah perubahan bagi masyarakat, melainkan membawa wajah ideologi kapitalisme dalam rupa privatisasi dan pencaplokan sumber daya alam. Sumber daya alam bukan lagi milik rakyat melainkan menjadi milik perusahaan atau para investor.
Permasalahan ini tentu bukanlah hal yang diharapakan oleh semua pihak dalam pembangunan pariwisata di Manggarai Barat. Tanah memang penting dalam membangun pariwisata. Akan tetapi, dalam konteks pembangunan pariwisata masyarakat mesti menyadari bahwa tanah tidak harus dijual kepada investor atau orang lain. Apabila tanah dijual maka yang akan merasakan keuntungan bukan masyarakat melainkan perusahaan atau investor.
Oleh karena itu untuk mengatasi praktik penjualan tanah yang masif di Labuan bajo, maka hal yang harus diperhatikan bersama adalah, pertama, pemerintah mesti memberikan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan kepada masyarakat.
Memiliki mental wirausaha adalah modal utama untuk bisa bersaing dengan para pengusaha dalam sektor pariwisata. Persaingan ini tentu harus diimbangi dengan pengetahuan dan keterampilan dalam berwirausaha. Oleh karena itu, untuk menumbuhkembangkan mental wirausaha, pemerintah mesti mempersiapkan masyarakat lewat pendidikan dan pelatihan kewirausahaan.
Yang kedua, pemerintah juga mesti mampu bekerja sama dengan LSM dan Gereja. Oleh karena itu, Gereja dan LSM juga mesti mampu mendorong masyarakat untuk memiliki jiwa usaha, memiliki keterampilan, dan juga mendorong mereka untuk menggunakan aset (tanah) yang mereka miliki secara produktif.
Ketiga, apabila masyarakat telah sadar dan tahu berwirausaha, maka masyarakat mesti menyadari bahwa tanah bukan lagi komoditi yang harus dijual melainkan sebagai suatu modal investasi dalam pariwisata.
Tanah mesti dilihat sebagai suatu aset yang bisa mendatangkan keuntungan bagi masyarakat tanpa harus menjualnya. Keuntungan itu bisa dilakukan lewat kerja sama (kontrak) dengan para investor atau melalui suatu lembaga koperasi, misalnya tanah tersebut bisa dimanfaatkan untuk membangun sesuatu yang bisa mendatangkan keuntungan bersama.
Keempat, masyarakat mesti mampu membangun dialog yang baik dengan pengusaha (investor) dalam mengembangkan sektor pariwisata terutama yang berkaitan dengan lahan pembangunan. Hanya dengan dialog masyarakat akan mampu berpartisipasi dalam pembangunan pariwisata. Dialog tersebut haruslah berujung pada kerja sama yang saling menguntungkan.
Lahan atau tanah yang digunakan untuk pembangunan pariwisata hanya akan membawa keuntungan bagi masyarakat apabila masyarakat berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Hal ini berarti masyarakat juga mesti dilibatkan dalam pembangunan pariwisata.
Masyarakat hanya akan mampu berdiri dan merasakan kesejahteraan dari pariwisata apabila mereka tidak hanya menjadi penonton atas tanahnya sendiri (long ata lonto, lonto ata long) dan juga menjadi pelaku aktif dalam pariwisata. Oleh karena itu, mari kita dukung pembangunan pariwisata di Manggarai Barat, tanpa harus menjual tanah.
Artikel Lainnya
-
225613/03/2020
-
73619/02/2024
-
234311/12/2019
-
Ibnu Sina dan Lupa Sejarah: Menjadi Tuhan di Dunia Filsafat?
4815/12/2024 -
Jokowi Sang “Maestro” Politik: Mulai Ditinggalkan
39629/08/2024 -
Kesadaran Berlaku Kasih Sayang; Deradikalisasi Agama Perspektif Usul FIkih
93605/03/2021