GMNI dan Kematian Ideologi di Era Kepentingan
Sudah terlalu lama GMNI hidup dalam luka yang dibuatnya sendiri. Kongres telah lewat, suara sudah diteriakkan, panji merah telah dikibarkan berkali-kali. Namun yang lahir bukan persatuan, melainkan perpecahan yang semakin menajam. Kini bukan lagi dualisme, tetapi tigalisme. Sebuah ironi bagi organisasi yang lahir dari semangat nasionalisme dan cita-cita marhaenisme yang mengajarkan persatuan, keberanian, dan kesetiaan kepada rakyat kecil.
Di banyak kota, yang terlihat bukan lagi barisan kader yang berjuang di jalan, tetapi barisan orang-orang yang saling mengklaim keabsahan. GMNI hari ini lebih sibuk menentukan siapa yang sah, daripada apa yang benar. Forum-forum ideologis berubah menjadi gelanggang legitimasi. Organisasi yang dulu menjadi kawah pembentukan karakter pemimpin bangsa kini justru menjadi laboratorium perpecahan yang disponsori oleh ambisi kecil.
Dalam dunia akademik, fragmentasi seperti ini sering dibaca sebagai gejala dari disorientasi ideologis. Peneliti gerakan mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Wijayanto, menyebut bahwa organisasi mahasiswa di Indonesia sering terjebak dalam “fragmentasi egosentris” yang kehilangan konteks praksisnya. GMNI hari ini menjadi contoh paling jelas dari tesis tersebut. Ia tidak lagi menjadi ruang pembentukan gagasan, melainkan arena untuk mempertahankan pengaruh.
Padahal, sejak awal, GMNI bukan sekadar organisasi mahasiswa. Ia adalah ruang ideologis yang lahir untuk memanusiakan manusia, untuk menegakkan nasionalisme yang berjiwa sosial sebagaimana diajarkan Sukarno. Namun kini, di banyak tempat, ideologi hanya tinggal slogan. Marhaenisme berhenti di spanduk dan pidato pembukaan kongres. Tidak ada lagi refleksi yang jujur tentang keberpihakan kepada kaum kecil, tidak ada lagi pergulatan intelektual yang menyalakan kesadaran. Yang tersisa hanyalah lomba mengutip Bung Karno tanpa memahami rohnya.
Di sisi lain, Dr. Muhammad AS Hikam dalam kajiannya tentang gerakan mahasiswa pernah mengingatkan, bahwa ketika organisasi kehilangan kohesi ideologis, ia akan kehilangan daya kritis terhadap kekuasaan. Gerakan yang semula lahir sebagai penantang akhirnya menjadi pelengkap kekuasaan. Ia tidak lagi menjadi kekuatan moral, tetapi sekadar alat reproduksi elite politik. GMNI kini tampak berjalan ke arah itu. Ketika idealisme digantikan oleh kalkulasi kekuasaan, organisasi kehilangan jiwanya.
Krisis di tubuh GMNI sesungguhnya bukan soal struktur atau kongres yang gagal, melainkan soal watak. Ini adalah krisis integritas dan kejujuran ideologis. Para kader sibuk mencari pengakuan, sementara para alumni sibuk membangun pengaruh. Mereka yang seharusnya menjadi penuntun justru menjadi patron yang memperdalam jurang perpecahan. Mereka lupa bahwa kekuasaan di tubuh organisasi mahasiswa tidak pernah dimaksudkan untuk dipertahankan, tetapi untuk dijalankan sebagai amanat ideologi.
Rekonsiliasi dalam kondisi seperti ini bukan sekadar penting, tetapi mendesak. Ia harus dimulai dari kesadaran moral bahwa GMNI bukan milik satu kubu atau satu kepengurusan, melainkan milik seluruh kader yang masih percaya bahwa nasionalisme tidak boleh dipakai untuk membenarkan perpecahan. Rekonsiliasi tidak bisa lahir dari meja rapat yang dingin, tetapi dari hati yang rela menanggalkan ego.
GMNI butuh lebih dari sekadar kongres penyatuan. Ia membutuhkan pemurnian nilai. Ia perlu menatap ulang akar marhaenisme bukan sebagai doktrin politik, melainkan sebagai etika kemanusiaan. Marhaenisme mengajarkan kemandirian, kebersamaan, dan pengabdian pada rakyat. Nilai-nilai itu kini nyaris lenyap di tengah arus ambisi personal dan perburuan posisi.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, GMNI akan menjadi nama tanpa makna. Ia akan hidup sebagai lambang yang hampa, seperti bendera yang masih berkibar tetapi kehilangan angin perjuangan yang membuatnya bergerak. Lambang merahnya akan tetap terlihat, tetapi darah ideologinya sudah lama kering.
Kita harus berani bertanya dengan kejujuran yang paling pahit: siapa sebenarnya yang membunuh GMNI? Apakah para pengurus yang menjadikan kongres sebagai ladang gengsi? Apakah para alumni yang menjadikan perpecahan sebagai alat kontrol politik? Ataukah kita semua, kader yang diam, yang memilih aman, dan perlahan terbiasa dengan kebusukan yang dibiarkan tumbuh di rumah sendiri?
Jika jawabannya adalah “kita semua”, maka tidak ada lagi tempat untuk pembenaran. GMNI sedang sekarat, bukan karena serangan dari luar, tetapi karena tikaman dari dalam. Bukan karena ideologi yang usang, tetapi karena kader yang kehilangan rasa malu.
Sudah terlalu lama kita membiarkan organisasi ini menjadi cermin dari kebodohan kolektif kita. Kita mengutip Bung Karno, tetapi meneladani perilaku politikus yang kita kritik. Kita bicara tentang nasionalisme, tetapi gagal menunjukkan kasih kepada sesama kader. Kita berteriak tentang rakyat, tetapi sibuk menghitung siapa yang lebih sah di depan hukum organisasi.
Rekonsiliasi bukan lagi agenda struktural. Ia adalah pertaruhan moral. Sebab tanpa rekonsiliasi, GMNI tidak hanya kehilangan arah, tetapi juga kehilangan alasan untuk terus hidup. Dan bila hari itu tiba, maka tak ada yang bisa disalahkan selain kita sendiri, generasi yang membiarkan cita-cita marhaenisme mati di tangan anak-anaknya sendiri.
Karena sesungguhnya, yang membunuh GMNI bukan lawan ideologis, bukan perbedaan pandangan, bukan sejarah yang keras. Yang membunuh GMNI adalah kader-kader yang lupa bahwa merah itu bukan warna ambisi, melainkan warna darah yang dikorbankan untuk persatuan.
Artikel Lainnya
-
63106/11/2023
-
36204/02/2025
-
105011/01/2021
-
Dinasti Politik dan Realitas Demokrasi
168126/07/2020 -
Supriyani dan Tragedi Dunia Pendidikan Kita
37201/11/2024 -
Relevansi Pemikiran Leo Strauss terhadap Menjamurnya Partai Politik di Indonesia
68618/06/2024
