Dinasti Politik dan Realitas Demokrasi

Mahasiswa
Dinasti Politik dan Realitas Demokrasi 26/07/2020 1618 view Opini Mingguan pixabay.com

Realitas politik tanah air belakangan ini tidak terlepas dari argumen Hobbes (1588-1679) tentang hasrat pada kekuasaan. “Manusia selalu diburu oleh hasratnya untuk memiliki dan menaklukkan sehingga naluri manusia mendorong seseorang untuk berkompetisi atau berperang. Keadaan inilah yang kemudian memaksa manusia untuk mencari kehidupan alternatif yang lebih baik di mana kehidupan manusia mengekang nafsunya”.

Nafsu akan kekuasan dalam suatu bangsa akan berimbas pada cacatnya sistem domokrasi, misalnya tumbuh sistem dinasti politik. Data dari Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) menunjukkan bahwa pada tahun 2013 ada 56 daerah yang terindikasi dikuasai dinasti politik. Angka ini naik menjadi 61 daerah, atau 11 persen, dari total daerah pada 2015. Dinasti politik memunculkan kekhawatiran adanya ketidaksetaraan dalam penyebaran kekuatan politik dan berdampak pada rusaknya iklim demokrasi (http://rembers.net/upaya-jokowi-membangun-dinasti-politik/ diakses pada 25 Juli 2020). Fakta ini menunjukkan bahwa praktik politik dinasti akan terus berlangsung di dalam negara yang menganut sistem demokrasi.

Akhir-akhir ini, diskursus tentang politik dinasti ini menjadi sebuah trending topik di kalangan masyarakat. Diskursus ini terjadi karena Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo dan menantu Jokowi, Bobby Nasution bakal mencalonkan diri sebagai wali kota Surakarta, Jawa Tengah dan di Medan, Sumatera Utara. Keputusan ini menjadi duduk soal terjadinya pro dan kontra dari pelbagai kalangan masyarakat karena dianggap apabila mereka memenangkan kontestasi politik kali ini, maka akan terjadi sistem dinasti politik.

Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan darah. Politik dinasti sebagai proses regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan elit politik yang bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara menempatkan keluarga atau kerabatnya dalam bidang pemerintahan.

Politik dinasti terkadang dapat menimbulkan adanya keinginan dalam diri atau keluarga untuk memegang kekuasaan, adanya kelompok yang terorganisir karena kesepakatan dan kebersamaan dalam kelompok sehingga terbentuklah penguasa kelompok, adanya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk menggabungkan modal dengan kekuatan politisi. Adanya praktik seperti ini menyebabkan pro dan kontra dari pelbagai pihak. Ada pihak yang menganggap baik karena kestabilan politik tetap terjaga dan sebagian pula menganggap politik dinasti ini hanyalah alat untuk melanggengkan kekuasaan oleh pejabat. Lebih miris lagi, politik dinasti ini mempersempit kesempatan bagi orang lain untuk berpartisipasi dalam lembaga perpolitikan.

Ambivalensi antara politik dinasti dan sistem demokrasi melekat dalam wajah masyarakat saat ini. Politik dinasti menampilkan wajah ganda yang bertolak belakang dari nilai-nilai yang kemanusiaan yang demokratis. Sisi kelam sistem politik dinasti ini terkait dengan pemakaian alat kekuasaan yang masih bercirikan sistem kekeluargaan. Politik ini memainkan peran utama dalam pemerintahan tingkat atas sementara rakyat hanya memilih untuk bermain di belakang. Politik dinasti ini menghilangkan kesetaraan yang menjadi nilai terpenting dalam berdemokrasi, sehingga sebagian orang digerakkan oleh kepentingan-kepentingan kekuasaan demi mencapai tujuan-tujuan politis yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.

Sebagai Negara Demokrasi Indonesia berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila yang diyakini sebagai falsafah Negara Indonesia. Perlu dipahami bahwa demokrasi di latar belakangi oleh tiga karakter: Pertama, pembagian kekuasaan ala trias politika yakni, eksekutif, yudikatif, legislatif. Ketiga ciri tersebut dapat dimaksudkan agar tidak terjadi berat sebelah dalam sistem pemerintahan dan terjadi keseimbangan dalam lembaga pemerintah.

Kedua, demokrasi dicirikan dengan suksesi kepemimpinan yang terbuka, hal ini dapat diimplementasikan lewat mekanisme pemilihan yang adil, jujur dan terbuka.

Ketiga, rakyatlah pemegang kedaulatan, bukan pemerintah apalagi politisi. Tiga pilar demokrasi sebagai dasar, penopang untuk menciptakan sistem politik yang fair.

Demokrasi dalam sejarahnya lahir sebagai kritik keras terhadap oligarki dan monarki yang penuh bias dari ketidakadilan. Menjadi ironis apabila demokrasi yang bertumpu pada terbukanya akses pada semua orang (rakyat) justru dikuasai oleh sistem politik yang berciri kekerabatan. Ketiga pilar demokrasi ini berada dalam situasi yang sangat memprihatinkan, hal ini dikarenakan semakin maraknya sistem politik dinasti. Demokrasi menjadi pincang, akibat kekuasaan yang masih dimiliki oleh orang-orang sekerabat. Perlu diakui bahwa politik dinasti merupakan manifestasi dari absennya etika politik.

Franz Magnis Suseno dalam bukunya, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern menjelaskan bahwa fungsi etika politik terbatas pada upaya menyediakan seperangkat teori untuk mempertanyakan dan menjelaskan kekuasaan politik secara bertanggung jawab. Dalam hal ini, seorang pemimpin seharusnya mutlak untuk memahami pemahaman tentang etika politik, sehingga implementasi dari kekuasaan ini dapat diaktualisasikan dalam kehidupan yang adil, damai dan sejahtera.

Seorang pemimpin seharusnya mempunyai pemahaman yang kompleks tentang etika politik. Pemahaman tentang etika politik menjadi dasar bagi seorang pemimpin untuk memahami intensi dari sebuah arti politik itu sendiri. Politik bukanlah alat untuk meraih kekuasaan, politik sebagai sebuah tindakan untuk mewujudnyatakan kebaikan bersama (bonnum commune).
Sikap Kita

Politik dinasti telah telah tumbuh begitu “subur”, menutup ruang demokratisasi. Peradaban demokrasi yang kian lama dibangun kini diperhambat dengan tumbuhnya politik dinasti yang terjadi di berbagai wilayah. Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) semakin “subur” tumbuh beriringan dengan maraknya sistem politik dinasti.

Sistem demokrasi tidak lagi transparan, masyarakat hanya berpasrah, membungkam mulut rapat-rapat menyaksikan seni permainan yang dimainkan oleh para penguasa.

Hemat saya, pertama: politik dinasti membahayakan sistem pemerintahan yang menganut paham demokrasi. Dinasti bukanlah politik yang harus diterapkan jika hanya menguntungkan sebelah pihak.

Kedua: perlunya meningkatkan literasi politik masyarakat agar memilih calon sesuai dengan kompetensinya dan bukan hanya karena popular.

Ketiga: perlunya pendekatan secara historis dan tekstual. Dalam artian bahwa pendekatan yang dilakukan secara historis lebih menekankan suatu periode yang telah berlalu. Masyarakat perlu mempelajari kembali apakah sistem politik yang bercorak dinasti ini dapat berfaedah atau memberikan kontribusi dalam kebaikan bersama dalam hal ini nilai-nilai keadilan, kejujuran selama ini telah diterapkan secara baik dalam hidup bersama.

Pedekatan tekstual merujuk pada bagaimana kita melihat, mempelajari dan menemukan sebuah pemahaman yang benar perihal apa yang salah dan menganjurkan metode-metode perbaikan. Persepsi tentang politik dinasti ini perlu diperbaiki sehingga kembali tercipta nilai-nilai demokratis dalam masyarakat demi mencegah munculnya politik dinasti yang bersifat merusak nilai-nilai demokrasi yang mengutamakan pentingnya kompetisi yang bebas, jujur dan adil.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya