Supriyani dan Tragedi Dunia Pendidikan Kita

PNS BKKBN
Supriyani dan Tragedi Dunia Pendidikan Kita 01/11/2024 325 view Pendidikan cnnindonesia.com

Masih segar dalam ingatan saya, ketika dulu saya duduk di kelas 2 Sekolah Dasar, pantat saya dipukul oleh guru saya dengan menggunakan penggaris kayu. Lumayan sakit dan berbekas merah di pantat saya.

Guru saya melayangkan pukulan tersebut, karena saya dan teman sebangku saya tidak memperhatikan dan mengobrol sendiri ketika guru kami sedang menjelaskan pelajaran matematika waktu itu.

Ketika pulang sekolah, kejadian tersebut saya ceritkan kepada orang tua saya, bukannya mendapat pembelaan, saya justru semakin dimarahi oleh orang tua saya. Di mata orang tua saya, saya tetap dianggap salah karena tidak memperhatikan atau menyepelekan apa yang dijelaskan oleh guru saya.

Pun, demikian ketika saya duduk di kelas 2 Sekolah Menengah Pertama. Pernah rambut saya dipotong oleh guru saya bagian sebelah kiri. Alasan guru saya memotong rambuat saya karena rambut saya gondrong maka harus dirapikan dengan cara dipotong atau dipendekkan.

Sama seperti pengalaman saya waktu Sekolah Dasar dulu, ketika saya mengadu kepada orang tua saya, saya pun tidak memperoleh pembelaan, justru segera disuruh ke tukang potong rambut untuk merapikan sisa-sisa rambut saya yang belum rapi akibat hukuman yang bersifat mendidik dari guru saya tersebut.

Pengalaman yang saya alami yang terjadi sudah beberapa dekade yang lalu, sungguh berbeda dengan kejadian yang dialami ibu guru Supriyani hari-hari ini. Guru Supriyani adalah seorang guru honorer di SDN 4 Baito, Konawe Sealatan, Sulawesi Tenggara. Ia di vonis pengadilan karena sebuah pengaduan jangkal yang diajukan oleh salah satu orang tua siswanya. Bu guru Supriyadi dituduh menghukum siswanya tersebut dengan menggunakan gagang sapu hingga muridnya terluka. Namun demikian terjadi kejanggalan karena luka yang ditimbulkan adalah luka melepuh.

Kasus yang dialami Bu Guru Supriyani bukanlah cerita satu-satunya. Pada tahun 2013 juga pernah terjadi kasus serupa, di mana seorang guru yang bernama Aop Saopudin yang berasal dari salah satu SMA di Majalengka Jawa Barat pernah memperoleh hukuman percobaan karena terbukti memotong rambut seorang siswanya karena rambut tersebut sudah gondrong saat Pak Guru Aop Saopudin tersebut sedang melakukan razia di sekolahnya.

Beruntung, putusan pada guru Aop Saopudin tersebut dianulir oleh Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2014. MA membebaskan Guru Aop Saopudin karena sebagai guru, Aop memiliki tugas mendisipinkan siswanya yang rambutnya sudah gondrong.

Putusan MA itu berbunyi bahwa apa yang dilakukan sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan tindak pidana, dan terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan/tindakannya tersebut karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi murid yang baik dan berdisiplin.

Kita berharap bahwa kasus yang menimpa Ibu Guru Supriyani akan berakhir sama dengan kasus yang menimpa pada Guru Aop Saopudin beberapa tahun lalu, di mana Bu Guru tidak dianggap melakukan pidana dan bebaskan tanpa syarat. Terlebih, Bu Guru Supriyani merasa sama sekali tak pernah memukuli siswanya dengan gagang sapu seperti yang dituduhkan kepadanya.

Terlepas dari apa yang terjadi pada Pak Guru Aop Saupodin dan Bu Guru Supriyani, sebetulnya, Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga tertinggi peradilan di negeri ini sudah mengeluarkan yuriprudensi soal itu. Yurisprudensi MA No 1554 K/PID/2013 menyebut guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa.

Peraturan Pemerintah (PP) No 74/2008 sebagai aturan turunan dari Undang-Undang No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, sejatinya jug sudah menegaskan perlindungan terhadap profesi guru.

Pada pasal 39 ayat 1 PP tersebut berbunyi bahwa guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agaa, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya.

Ditambahkan lagi pada ayat 2 bahwa sanksi tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan perundang-undangan.

Tak berhenti sampai di situ, dalam pasal 41 juga menegaskan guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakukan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, ataupun pihak lain.

Sebagai negara hukum, kita tentunya berharap bahwa hukum ditegakkan seadil-adilnya tanpa pandang bulu. Jangan sampai menegakkan hukum tetapi melanggar hukum. Ada baiknya sebagai orang tua sebelum melaporkan setiap kejadian yang diterima anaknya di sekolah atas aduan dari si anak, orang tua benar-benar mempelajari secara detail fakta-fakta yang terjadi di sekolah.

Adapun para penegak hukum, sebaiknya memproses setiap laporan sebaik-baiknya. Jangan sampai karena satu dan lain hal seorang guru yang tidak bersalah justru dijatuhi hukuman pidana. Semoga Bu Guru Supriyadi dapat keadilan yang seadil-adilnya dan dapat kembali ke ruang kelas untuk mendidik dan mengajar murid-muridnya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya