Natal, Toleransi dan Demokrasi

Natal, Toleransi dan Demokrasi 26/12/2020 1000 view Agama pixabay.com

Setiap tanggal 25 Desember, umat Khatolik di seluruh dunia merayakan hari raya natal. Hari raya natal, tidak semata menyongsong kelahiran sang Juru Selamat. Melainkan, hemat saya, perayaan natal merupakan perayaan terhadap nilai toleransi.

Toleransi sangat penting di tengah pluralisme kebangsaan, karena dengan itu setiap individu sadar akan keterlibatan individu lain dalam suatu masyarakat majemuk.

Pada tingkat seperti ini, hemat saya, natal merupakan momentum yang tepat untuk menyadari bahwa setiap dari kita harus menyadari keterlibatan identitas lain. Apa yang mau saya katakan ialah bahwa, natal harus dimaknai lebih luas, yakni penghormatan terhadap keberagaman sebagai suatu bangsa.

Karena itu, natal tidak berhenti hanya pada perayaan atas kegembiraan lahirnya sang juru selamat, tidak pula atas fashion, melainkan lebih jauh dari itu, yakni keterlibatan kita untuk memahami orang lain sebagai bagian dari kita.

Di tengah pluralisme kebangsaan yang semakin terkoyak, ditambah menguatnya fenomena politik identitas, keberagaman sebagai suatu bangsa mengalami kemunduran hingga pada titik paling rendah. Keberagaman yang mestinya dipahami sebagai modal sosial (capital social), alih-alih keberagaman justru terperangkap dalam lingkaran yang menjemukkan, dalam arti bahwa, penuh dengan naluri untuk menguasai seraya menundukan identitas lain. Inilah gejala yang justru menyebabkan apa yang oleh Amartya Sen (2005) sebut sebagai pengkotak-kotakan identitas.

Dengan ini tentu tidak menumbuhkan keberagaman yang semakin maju (beradab), melainkan menyebabkan kita mudah disulut emosi. Bahkan lebih jauhnya lagi, kekerasan atas nama identitas semakin subur belakangan ini. Untuk itu, makna perayaan natal, hemat saya, harus melihat pada realitas kultur masyarakat kita saat ini yang tengah terkoyak.

Jika hal ini diabaikan, menurut saya, ke depan tantangan kita akan jauh lebih besar, yakni pada persoalan identitas dan kebaragaman. Sementara kita sudah sepakat, bahwa, Indonesia adalah negara dengan pluralisme kebangsaan yang mesti dirawat.

Momentum Refleksi Diri

Natal selain dimaknai sebagai perayaan atas lahirnya Sang Juru Selamat dan sebagai perayaan atas toleransi. Natal harus juga dimaknai sebagai momentum refleksi diri. Menurut saya, ini sangat penting di tengah kesibukan dan rutinitas kerja kita selama ini, terutama umat Khatolik.

Refleksi di tengah perayaan natal, hemat saya, merupakan momen yang sangat tepat, karena dengan itu kita menemukan kembali diri kita dan hal baru yang tentu dapat menjadi inspirasi untuk hari-hari selanjutnya.

Umat Khatolik, menurut saya, harus memahami dan melihat dengan kritis persoalan hari ini sebagai bagian dari refleksi kritis atas perjalanan umat sebagai bagian dari bangsa. Refleksi kritis di tengah problematika kebangsaan yang semakin akut dan tercerai-berai, menurut saya sangat penting dan diperlukan.

Jika kita amati, sepanjang tahun 2020, persoalan pluralisme kebangsaan mengalami stagnasi yang menyebabkan kita sulit melompat lebih jauh. Bahkan untuk merangkak ke arah itu, kita sulit, karena persoalan pluralisme semakin membebani kita dengan tuntutan dan naluri untuk menguasai dan menundukan yang lain.

Ambil contoh, pembakaran rumah ibadah dan pembunuhan terhadap empat warga di Dusun Lewonu, Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Republika.co.id, 30 November 2020). Ini merupakan kekerasan yang jika kita kritisi dan tinjau lebih jauh, sebetulnya merupakan kekerasan yang berlatar agama.

Saya meyakini bahwa, kekerasan yang dilakukan oleh kelompok teroris tersebut, merupakan kekerasan yang tidak terlepas dari latar belakang identitas agama. Hal ini tentu merupakan ancaman paling besar terhadap pluralisme bangsa yang selama ini kita rawat dan perjuangkan bersama di atas Pancasila.

Di sinilah menurut saya, refleksi kritis umat sangat penting dalam rangka membangun nilai-nilai pluralisme yang berpijak pada penghormatan terhadap keberagaman dan identitas lain. Sehingga dengan ini, kita setidaknya mampu menangkal kekerasan-kekerasan yang berbasis identitas agama dan ras yang semakin kencang belakangan ini.

Dengan refleksi kritis di tengah perayaan natal, menurut saya, kita semakin menyadari akan arti penting keterlibatan kita di tengah kebaragaman bangsa. Karena menurut saya, jalan satu-satunya untuk menangkal kekerasan berlatar identitas, ialah dengan refleksi kritis sembari ikut terlibat dalam kehidupan keseharian dengan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila.

Kemenangan Demokrasi

Kemenangan demokrasi, menurut saya, berarti kemenangan akan pengakuan terhadap keberagaman dan nilai-nilai akan identitas yang lain. Lebih dari itu, pengakuan terhadap identitas keberagaman harus dimaknai sebagai tanggung jawab yang melekat pada setiap individu untuk mengakui seraya menghormati eksistensi yang lain sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Ini merupakan kemenangan demokrasi yang paling nyata, yang mesti, menurut saya, hari ini harus diperjuangkan dalam rangka membangun tatanan bangsa yang semakin beradab.

Harus diakui bahwa, kemenangan demokrasi tidak semata pada urusan-urusan keterlibatan warga negara dalam pembangunan, tidak hanya pada urusan demokrasi elektoral (Pemilu dan Pilkada). Melainkan lebih subtantif dari itu, yakni kemenangan bagi keberagaman bangsa yang diatasnya nilai-nilai solidaritas dan toleransi dirawat dan diperjuangkan.

Karena itu, dengan mengacu pada kemenangan demokrasi atas pengakuan, penghormatan, dan sikap tanggung jawab dalam merawat keberagaman, kita telah membangun suatu bangsa yang jauh lebih beradab. Tidak hanya untuk demokrasi itu sendiri, melainkan pada usaha untuk memperjuangkan keadilan bagi harkat dan martabat kemanusiaan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya