Gempuran Bahasa Jaksel dan Kondisi Dilematis Mahasiswa di Kelas

Fenomena Bahasa Jaksel atau bahasa campursari Indonesia - Inggris sudah lama menjamur. Beberapa tahun belakangan, dengan kehadiran ruang tak terbatas media sosial, bahasa Jaksel makin populer.
Umum masyarakat menamainya Bahasa Jaksel, atau bahasa yang lazim digunakan oleh orang-orang muda di sekitar Jakarta Selatan. Bahasa gado-gado tersebut dipakai sebagai bahasa komunukasi di lingkungan pergaulan, yang kemudian terekam dalam media sosial. Atau juga sengaja dibagikan di media sosial.
Penggunaan bahasa Jaksel ini makin meluas. Ruang media sosial yang sangat terbuka seperti sekarang mudah menyebarkan gaya Bahasa Jaksel ke barbagai pelosok Indonesia. Pihak khalayak menyambut baik. Kehadiran para influenser yang ikutan menggunakan bahasa Jaksel ini makin familiar di ruang-ruang sosial.
Kepupuleran Bahasa Jaksel ini lama-kelamaan tidak lagi sebatas gaya bicara. Secara psikologis, ia lalu jadi penanda dan identitas. Bahkan, ia ditempatkan sebagai alat ukur status sosial. Mengingat Jaksel alias Jakarta Selatan adalah sisi Jakarta yang secara historis jadi simbol “masyarakat elit” Jakarta, maka bahasa Jaksel adalah cermin dari status sosial tersebut.
Karena itu, dalam hemat saya, Bahasa Jaksel kini bergerak melampaui kata-kata. Ia bukan hanya sebatas “penggunaan bahasa Inggris yang semena-mena”. Namun, ia adalah panggung untuk pementasan diri. Ia adalah alat ukur kelas sosial. Kurang lebih asumsinya adalah kalau bisa Bahasa Jaksel, berarti kamu adalah orang kaya. Justifikasi ini merujuk pada sejarah pertumbuhan penduduk Jakarta Selatan.
Mahasiswa di Kelas
Gaung Bahasa Jaksel yang berseliweran di media sosial nyatanya sampai juga ke ruang kuliah. Gaya komunikasi mahasiswa di ruang kelas tak sedikit yang ikut melibatkan gaya bicara Jaksel ini. Pun, dalam mengerjakan tugas, sebagian mahasiswa banyak menemui jalan buntu karena kebingungan. Alur penulisannya langsung terbaca kalau ia bingung antara menyusun struktur berpikir yang lurus-logis dan tuntutan memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Sebagai dosen, saya sering menemukan kebingungan mahasiswa seperti ini. Ide yang coba mereka tuangkan, terasa lompat-lompat dan tak berarturan. Bahasa yang dipakai juga terasa dipaksakan. Belum lagi, penggunaan kata yang tidak sesuai dengan konteks.
Faktor penyebab kebingungan mahasiswa tersebut, menurut saya, salah satunya dipengaruhi oleh gaya komunikasi “luar kelas” yang penuh dengan macam-macam gaya. Mereka lebih gemar mengikuti kebiasaan yang tersaji di media sosial. Panggilan untuk selalu mengacu pada yang sedang viral menyisakan masalah besar dalam berbahasa, terutama ketika diminta untuk menguraikan gagasan atau argumentasinya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Bulan Bahasa Binus
Universitas Bina Nusatara atau yang umum dikenal Universitas Binus, tempat saya bekerja sekarang, mencoba untuk memotivasi mahasiswanya supaya akrab dengan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Di lingkungan akademis, Bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah dan standar nasional perlu diarusutamakan.
Salah satu wujud konkretnya adalah menggelar pemilihan Duta Bahasa Binus 2025. Kegiatan ini berlangsung kurang lebih dua bulan. Sejak Desember 2024 lalu, Universitas Binus menggelar seleksi di tingkat lokal kampus. Saat ini, Universitas Binus ada di Jakarta, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, dan Malang. Seleksi awal Duta Bahasa Binus diawali dari kampus yang ada di berbagai daerah itu; kecuali Medan, yang baru mulai aktif tahun 2024.
Kecapakan utama yang dituntut bagi mereka yang mau ikut dalam seleksi Duta Bahasa Binus adalah kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka mengikuti proses seleksi, mulai dari cara berbahasa, menyusun pokok-pokok pikiran dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, hingga niat ke depan untuk terlibat aktif dalam mempromosikan Bahasa Indonesia di kalangan orang muda seusianya.
Usai tahap semifinal di tiap daerah, mereka yang lolos ke tahap final berangkat ke Binus pusat di Jakarta untuk mengikuti seleksi final. Dalam acara puncak dua minggu lalu itu, dipilihlah pemenang pertama, kedua, dan ketiga Duta Bahasa Binus 2025. Tak sampai di sini, para pemenang tersebut akan ditempa lagi guna mengikuti kompetisi lanjut di tingkat provinsi dan nasional.
Saya melihat, ini sebuah proses yang baik untuk tetap menemukan pribadi-pribadi yang tetap mencintai dan menggunakan Bahasa Indonesia sesuai dengan standar yang sangat diharapkan. Terutama di lingkungan kampus.
Tak Ada yang Salah
Lantas, apakah dengan demikian saya sedang melarang penggunaan bahasa Jaksel? Tentu saja tidak. Bahasa Jaksel dan segala gemanya yang berseliweran tak terkendali di media sosial adalah sebuah keniscayaan. Ia tentu saja lebih digemari karena jadi salah satu ekspresi status sosial, mudah digandrungi karena viral, dan harus digunakan biar tak tersisih dari pergaulan.
Kita semua tak mungkin melarikan diri dari fakta ini. Oleh sebab itu, yang hendak saya tegaskan di sini adalah bagaimana, kapan, dan di mana Bahasa Jaksel dan Bahasa Indonesia standar perlu dan dapat digunakan. Bagaimana, kapan, dan di mana kita dapat menggunakan Bahasa Jaksel. Pun, bagaimana, kapan, dan di mana kita harus menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Sebagai mahasiswa, juga generasi muda, harus bisa menjaga kesimbangan keduanya. Di lingkungan sosial-maya, Bahasa Jaksel bisa digunakan secara bebas. Namun, di lingkungan kampus atau di ruang-ruang kelas, Bahasa Indonesia yang baik dan benar wajib dipakai. Ini akan mempermudah kita semua untuk tidak meninggalkan Bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa.
Artikel Lainnya
-
25316/02/2025
-
100416/12/2023
-
180030/10/2020
-
Menakar Kualitas Wajah Pendidikan Di Tengah Gelombang Pandemi NCoV-19
144507/06/2020 -
100621/08/2021
-
Implikasi Persaingan Ekonomi Terhadap Kualitas Pendidikan di Korea Selatan
65121/07/2024